Mohon tunggu...
Viride
Viride Mohon Tunggu... Buruh - penulis

Penulis tidak dapat menulis secepat pemerintah membuat perang; karena menulis membutuhkan pemikiran. - Bertolt Brecht (Penulis dari Jerman-Australia)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Editor Oh Editor

7 September 2018   12:04 Diperbarui: 7 September 2018   14:54 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah postingan sebelumnya tentang, "Salahkah aku bila jadi penulis?" Sekarang saya dihadapkan pada pernyataan remeh seorang teman."Menulis itukan gampang, tinggal bikin cerita bla, bla, bla, bla, jadi deh. Lalu kirim ke penerbit, trus diterima, gampang kan? Apa susahnya?" Begitu katanya

"WHAAAATTTTT!!!!"

Saya menaikkan dua alis dengan spontan. Teriakan kaget itu hanya meledak melalui hati, tidak menyangka teman saya akan berpikir segampang itu. Seorang penulis pada dasarnya sedang menulis, bukan sedang mencorat-coret bukunya dengan tulisan :

"Ini ibu Budi."

"Ini bapak Budi."

"Budi dan Wati berteman."

Bla, bla, bla, bla ... Bukaaaaaaannn!!! Oh My God. Pleeaaaseee!! Dengan jari mengepal saya menahan geram, Uugghhh!!

Tapi dengan santai saya menjawab pertanyaannya. "Menulis itu memang gampang, tapi seorang penulis memerlukan editor untuk menilai tulisannya. Kalau setelah menulis langsung diterima seperti yang kau bilang, berarti tidak ada kalimat
"MAAF NASKAH ANDA TIDAK LAYAK TERBIT", setiap orang bisa langsung menghasilkan buku dan cerpen mereka juga langsung memenuhi isi majalah.

Tidak ada penolakan sama sekali dan semua penulis pemula tidak akan depresi karena takut naskahnya ditolak berkali-kali. Hahaha ... itu tidak mungkin, Kami para penulis sangat memerlukan editor untuk menerima atau menolak tulisan kami."

Dari situlah saya berkesimpulan kalau sebagian orang menganggap penulis yang menulis itu gampang dan tidak memerlukan perjuangan. Mereka berpikir setelah seorang penulis berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun mengumpulkan riset dan survey untuk bahan tulisan, kemudian menjilid dan mengirimkan karyanya ke penerbit hingga mendarat di meja editor, lalu semuanya hanya dengan menjentikkan jari? Clik.... taraaaaa... Muncul pemberitahuan lewat telefon atau surat "SELAMAT NASKAH ANDA
DITERIMA!!!"

HA, HA, HA, HA, HA......!! Maaf saya tertawa mengejek.

Itu namanya menunggu bintang jatuh! Saya cukup kasihan dengan pemikiran teman saya itu dan sebagian orang yang berpikir seperti dia. Mereka mengira semua penulis tidak memerlukan perjuangan untuk meraih gelar pengakuan.

Menurut mereka pekerjaan menulis itu hanya kesia-siaan dan membuang waktu, tidak ada manfat dengan jadi penulis.

Mereka juga berkesimpulan kalau seorang penulis hanya tinggal menulis saja, lalu pundi-pundi uang langsung turun dari langit. Huufftt, sungguh pemikiran yang dangkal.

Sebelum sebuah karya diterbitkan, penulis harus menghadapkan tulisannya pada seorang editor terlebih dahulu. Kalau Sang Editor menolak, berarti naskah itu tidak layak terbit dan tidak mungkin terjun ke pasaran.

Lalu siapakah editor ini? Editor dalam sebuah penerbitan buku adalah orang yang menilai naskah yang telah ditulis oleh seorang penulis. Orang yang mendapat kedudukan ini betul-betul harus mumpuni, ahli dan berkemampuan tingkat tinggi dalam menilai, karena tiap karya tulis harus punya nilai jual tinggi.

Kalau seorang editor asal-asalan menerima naskah tanpa menilai dan melihat dari segi bisnis, berarti dalam perumpamaannya ia sedang "menjual makanan" yang jelas-jelas rasanya tidak enak.

Seorang editor sama halnya seperti juri masak. Mereka yang memegang jabatan editor di mejanya adalah orang-orang yang "mencicipi makanan" tiap hari. Kalau naskah tulisan itu bagus, berarti "masakan" itu enak dan bisa dimakan bahkan bisa dijual.

Kalau naskah itu lumayan enak, berarti ada kemungkinan isi naskah bisa direvisi atau diperbaiki, artinya "masakan" itu masih bisa ditambah bumbu sebagai pelengkap nilai sempurna, tapi kalau isi naskahnya saja tidak bagus, berarti "masakan" itu tidak bisa dimakan, menyiksa lidah bahkan siapa pun yang memakannya akan segera memuntahkannya.

Memang benar, saat naskah penulis tidak diterima salah satu penerbit/editor, bisa jadi penulis itu lebih beruntung di penerbit/editor lain, tapi terlepas dari itu semua, siapa pun yang melihat profesi penulis, jangan meremehkan nilai juangnya.

Jangan pula mengabaikan peran seorang editor.
Kadang tiap editor selalu bisa memberikan masukan pada naskah yang ditolak, apa yang kurang dan apa yang harus diperbaiki. Tidak gampang jadi editor, setiap hari mereka selalu menghadapi naskah-naskah yang mengunung, tapi hebatnya, mereka ini sangat professional dalam menilai tiap tulisan yang masuk.

Mereka adalah sekumpulan orang-orang hebat yang tahu apakah suatu naskah layak diterima atau tidak. Mereka juga tahu mana naskah yang berbau bisnis atau tidak. Memang tidak gampang membuat para editor terpersona. Jadi jangan dikira setelah menulis lalu dengan mudahnya sang editor menerima naskah itu dengan serampangan.

Dalam diri seorang penulis diperlukan kerja keras, disiplin, keuletan dan do'a agar saat seorang editor membaca tulisannya, maka editor itu berkata ....

"Akhirnya, setelah menolak puluhan naskah. Naskah inlah yang layak terbit dan punya nilai jual tinggi."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun