Mohon tunggu...
xxxxx xxxxx
xxxxx xxxxx Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Penulis Paruh Waktu

xx xxxx xxxx

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Regulasi Linieritas Pendidikan Dosen dan Implementasinya

7 April 2021   10:39 Diperbarui: 7 April 2021   20:02 3454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Linieritas pendidikan untuk calon dosen selalu menjadi perbincangan hangat, di kalangan alumni Strata I / Diploma IV  yang hendak menempuh atau telah lulus studi Magister.

Pada 14 Agustus 2014 telah terbit SE Kemenristekdikti perihal penjelasan linieritas ilmu. Dalam praktiknya sering kali muncul beragam pemahaman, dan perbedaan implementasi tentang linieritas ilmu.

Perbedaan implementasi regulasi linieritas pendidikan dosen adalah sebuah bentuk khazanah keilmuan. Dan sebaiknya memang harus terus dipertahankan, meskipun kerap kali mengundang perdebatan panjang. Perguruan tinggi, selaku operator pendidikan tinggi tentu berhak memilih calon-calon dosen, yang sesuai dengan visi dan misi perguruan tinggi. Karena pada hakikatnya, semua bidang ilmu pada titik-titik tertentu bisa saja saling beririsan satu sama lain.

BAN-PT

Perguruan tinggi yang mengajukan pendirian prodi baru, misalnya prodi Ilmu Komunikasi, sudah pasti akan merekrut dosen-dosen dengan bidang studi seragam baik S1 dan S2-nya (contoh : S1 & S2 Ilmu Komunikasi). Karena hal tersebut berpengaruh pada bobot adminitrasitif, dan berdampak pada akreditasi prodi yang akan berdiri. Meskipun dalam praktiknya, para assesor BAN-PT tidak semuanya memiliki pemahaman yang sama, terutama pada saat Re-Akreditasi Program Studi.

Proses Re-akreditasi program studi umumnya untuk mengukur seberapa jauh perkembangan prodi yang telah berdiri tersebut. Kampus bisa saja merekrut dosen dengan latar pendidikan S1 Bisnis & S2 Ilmu Komunikasi, untuk mengajar mata kuliah komunikasi bisnis. Kampus juga bisa merekrut dosen dengan latar pendidikan S1 Ilmu Politik & S2 Ilmu Komunikasi untuk mengajar mata kuliah Komunikasi Politik dan seterusnya. Mengingat luasnya cakupan keilmuan bidang ilmu komunikasi, sangat memungkinkan ber-irisan dengan bidang ilmu lainnya.

Sehingga munculnya opini-opini bahwa jika ingin jadi dosen dengan mudah, wajib hukumnya untuk menyeragamkan pendidikan S1 dan S2-nya. Karena dosen yang tidak seragam studi S1 dan S2-nya sering di nomor duakan dalam pembukaan prodi baru.

Rekrutmen Dosen PTN

PTN rata-rata memiliki 3 (skema) rekrutmen dosen. Yaitu dosen CPNS melalui Badan Kepegawaian Nasional (BKN), dosen tetap non PNS dan dosen tamu/ dosen terbang/ dosen luar biasa. Dalam rekrutment Dosen CPNS, PTN cenderung tidak kompak soal syarat adminitratif bidang studi calon pendaftar.

Saat PTN A mewajibkan latar pendidikan S1 dan S2 seragam, PTN B justru hanya melihat riwayat pendidikan S2-nya saja. Ini tentu menarik perhatian banyak calon pendaftar. PTN A maupun PTN B tentu memiliki argumen yang sah secara adminitratif terhadap keputusan tersebut. PTN A yang mewajibkan latar pendidikan S1 dan S2 seragam, bisa jadi sedang melakukan penguatan pondasi program studi, atau memiliki visi yang membutuhkan banyak dosen CPNS dengan latar pendidikan seragam.

PTN B yang hanya mensyaratkan bidang studi S2, bisa jadi tengah mengembangkan prodinya kearah konsentrasi/ peminatan rumpun ilmu tertentu. Bisa juga karena faktor pendaftar yang minim (lokasi kampus ada di daerah 3T), sehingga PTN B mencoba memudahkan syarat administratif, tanpa melanggar regulasi yang ada.

Optimis dan Realistis Dalam Menempuh Studi Magister

Dari pemaparan sebelumnya, kita bisa sedikit meraba-raba arah kebijakan PTN/ PTS dalam merekrut calon dosen untuk program studinya. Bagi yang calon dosen yang menempuh studi S2-nya tidak sesuai dengan S1 harus tetap optimis, dan mencoba melakukan publikasi-publikasi yang sesuai dengan peminatan saat tesis. Sehingga menciptakan keterkaitan penelitian antara studi S1 dan S2-nya.

Disini saya mencoba mengelompokan mahasiswa magister kedalam 3 (tiga) kelompok :

Pertama adalah kelompok mahasiswa yang memang mempersiapkan diri menjadi dosen. Kelompok mahasiswa ini umumnya realistis, mereka melanjutkan pendidikan S2 sesuai dengan S1-nya. Bahkan bagi alumni magister kampus-kampus top dalam negeri sebelum lulus, sebagian kecil sudah dihubungi oleh kampus-kampus tertentu agar mau menjadi dosen, dan langsung diangkat jadi dosen tetap.

Kedua adalah kelompok mahasiswa yang tujuan awalnya adalah untuk mengembangkan kompetensi diri, kurang "klik" dengan program studi S1-nya, pengembangan jenjang karir, dll. Sehingga memutuskan menempuh pendidikan lintas program studi, bahkan lompat ke fakultas lain.

Misalnya sarjana teknik, yang banyak menempuh S2 di prodi Manajemen (dengan peminatan tesis Manajemen Industri, Manjemen Produksi, dll).  Atau yang sempat populer, mahasiswa dari berbagai program studi ramai-ramai menempuh S2 Ilmu Komunikasi.

Jika hendak menjadi dosen tetap, alumni kelompok kedua ini umumnya harus bekerja ekstra untuk mendapatkan kampus. Akan tetapi, kelompok mahasiswa lintas fakultas ini, jika punya karir non-dosen yang baik, berpeluang besar jadi dosen praktisi (sebagai dosen tamu). Bahkan regulasi terbaru, memungkinkan untuk seorang praktisi memiliki jabatan fungsional seperti dosen pada umumnya.

Ketiga adalah kelompok mahasiswa yang lompat fakultas, tapi masih mempelajari bidang ilmu yang benar-benar identik secara nomenklatur dan mata kuliah yang dipelajari, hanya beda cakupannya saja. Misalnya S1 FKIP Biologi ke S2 FMIPA Biologi, S1 Faperta Agribisnis ke S2 FEB Ekonomi Pembangunan, berlaku sebaliknya. Kelompok ini umumnya bisa lebih diterima, dibanding kelompok kedua.

Faktor lain yang menjadi pertimbangan kampus merekrut dosen, selain kesuaian pendidikan S1 dan S2-nya adalah, faktor domisili calon dosen (jika domisi jauh, dikawatirkan menagjukan pindah homebase). Kesedian calon dosen terhadap gaji yang sering kali minimalis, pandangan politik calon dosen (sejumlah kampus dikelola yayasan yang berafiliasi dengan politisi tertentu), afiliasi dengan ormas keagamaan tertentu (sebagian kampus keislaman mengutamakan kadernya, dll.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun