[caption caption="Sari Nurani saat pentas tari tradisional di Bangkok Thailand"][/caption]
Usia Sari Nurani baru sekitar empat tahun saat itu. Ia masih belajar di TK tidak jauh dari rumahnya di Mojosongo. Ia melihat guru tarinya sudah begitu sepuh, namun masih bersemangat mengajarkan tari kepadanya.
Pada suatu hari, saat latihan, guru tari itu mendekatinya. Guru itu mengikatkan sampur pada pinggang Sari, seolah-olah hendak mewariskan kepadanya. Sejak saat itulah ia mulai tertarik menekuni tari tradisional.
“Entah kenapa, saya menjadi tertartik. Kasihan, guruku sudah tua tidak ada yang menggantikan,” katanya.
Diakui Sari, keluarganya tidak memiliki latar belakang tari. Keputusannya untuk menekuni tari tradisi murni muncul dari dalam dirinya. Ia seperti terpanggil untuk menjadi pewaris tari dari gurunya yang sepuh itu.
Lambat laun ketertarikan Sari semakin besar. Usai lulus SMP, ia memutuskan untuk masuk Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Solo. Di situlah bakatnya semakin terasah.
Saat masauk sebagai mahasiswa Unnes, bakatnya semakin terakomodasi. Ia menemukan banyak panggung. Selain menerima bimbingan dari dosan-dosennya, Sari bergaul dengan sesama penari.
“Termasuk dengan Ngesti Pandowo. Setelah diperkenalkan dengan mereka oleh Pak Bintang, saya sering diajak mereka pentas di mana-mana,” katanya.
Medio Agustus 2014, Sari kembali mendapat kepercayaan untuk tampil dalam Reception Diplomatic di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Thailand. Di hadapan Dubes RI untuk Thailand dan warga neara Indonesia di sana, Sari membawakan tari Barong Samin Edan, Ngoser, dan Denok Semarangan.
Baginya, membawakan tari tradisi adalah kebanggaan. Selain melestarikan warisan leluhur, Sari merasakan kepuasaan saat berada di panggung.
“Berbeda dengan kontemporer, gerakan seni tradisi relatif lebih lembut. Yang menarik, dalam tradisi selalu ada kisah di baliknya. Sebagai penari, saya punya tugas untuk membawakan kisah itu sehingga bisa dipahami oleh penonton,” katanya.