Mohon tunggu...
Gratcya Francoice
Gratcya Francoice Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Atma Jaya Yogyakarta

I am a Master of Communication student at Atma Jaya University Yogyakarta. Have an interest and ability in the field of communication.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Work-Life Balance: Tantangan Keseimbangan Hidup dan Kerja Bagi Gen Z

14 Juni 2024   14:42 Diperbarui: 14 Juni 2024   15:05 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Vodafone x Rankin everyone.connected, 2022)

Budaya kerja berlebihan atau 'overwork culture' menjadi fenomena yang semakin mengakar di banyak perusahaan modern. Tuntutan untuk bekerja lebih lama datang dari berbagai faktor, mulai dari tekanan manajerial hingga dinamika pekerjaan berbasis pengetahuan. Generasi Z, sebagai angkatan kerja terbaru, menghadapi tantangan unik dalam mengarungi budaya ini.

Tekanan Waktu dan Beban Kerja yang Meningkat

Saat ini, perhatian terhadap masalah kerja berlebihan dan keseimbangan kehidupan kerja semakin meningkat. Fenomena ini sebagian besar dipicu oleh persepsi terhadap intensifikasi aktivitas kerja yang muncul akibat pengurangan tenaga kerja dalam gelombang restrukturisasi perusahaan. Karyawan yang masih bertahan sering kali harus menghadapi ketidakamanan kerja yang lebih besar dan beban kerja yang semakin berat.

Teknologi informasi yang terus berkembang juga menambah tuntutan pada karyawan, karena memungkinkan pemberi kerja untuk memonitor waktu kerja dengan lebih intensif. Selain itu, teknologi komunikasi seperti email dan telepon seluler membuat karyawan tetap terhubung dengan pekerjaan mereka bahkan di luar kantor, menciptakan fenomena akses '24/7'.

Generasi Z, yang lahir dan tumbuh di era digital, memiliki pandangan dan harapan yang berbeda terhadap dunia kerja. Mereka lebih mengutamakan keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi, serta mencari makna dalam pekerjaan mereka. Namun, budaya kerja berlebihan yang didorong oleh manajer dan dinamika pekerjaan modern dapat bertentangan dengan nilai-nilai ini.

Teknologi, meskipun memudahkan pekerjaan, juga menjadi pedang bermata dua bagi Generasi Z. Akses konstan melalui email dan aplikasi pesan instan sering kali membuat mereka merasa harus selalu terhubung dengan pekerjaan, bahkan di luar jam kerja. Ini mengaburkan batas antara waktu kerja dan waktu pribadi, meningkatkan risiko kelelahan dan stres.

Norma Sosial dan Budaya 'Face Time'

Many organizations operate on the basis of a social norm that presumes that an employee’s presence at work, sometimes referred to as ‘face time’, is indicative of their commitment to the job and their productivity (Perlow 1998).

Banyak organisasi masih beroperasi dengan norma sosial yang menganggap kehadiran fisik di kantor sebagai indikator komitmen dan produktivitas karyawan. Generasi Z, yang sering kali bekerja di lingkungan yang mengedepankan jam kerja panjang sebagai tanda dedikasi, harus bersaing dalam 'competitive presenteeism'. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesehatan fisik dan mental, tetapi juga dapat menghambat kreativitas dan inovasi yang seharusnya menjadi keunggulan mereka. 

Perdebatan tentang ketidakseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi sering kali menyoroti dampak negatif dari waktu kerja yang panjang terhadap kewajiban keluarga atau kegiatan pribadi. Namun, bagi Generasi Z, peran ganda antara pekerjaan dan kehidupan pribadi bisa menjadi sumber kepuasan jika peran tersebut bermanfaat dan memuaskan. 

Sayangnya, tuntutan pekerjaan yang berlebihan dan otonomi kerja yang terbatas sering kali menjadi sumber konflik, terutama ketika teknologi memaksa mereka tetap terhubung dengan pekerjaan setelah jam kerja.

Mendorong Budaya Kerja Berlebihan 

Manajer memainkan peran kunci dalam mendorong karyawan untuk bekerja lebih lama. Berdasarkan penelitian Perlow (1998), manajer melakukan ini dengan beberapa cara:

Pertama, menetapkan tuntutan kerja.  Manajer sering kali mengatur pertemuan dan menetapkan tenggat waktu yang ketat, yang memaksa karyawan untuk menghabiskan lebih banyak waktu di tempat kerja.

Kedua, memantau karyawan. Mereka juga memantau pekerjaan karyawan dengan cermat, termasuk memeriksa hasil kerja dan mengamati langsung kinerja mereka.

Ketiga, menjadi teladan. Manajer sering menunjukkan pola kerja yang mereka harapkan untuk ditiru oleh bawahan mereka, seperti bekerja larut malam atau datang lebih awal ke kantor.

Flexible working

Pengaturan kerja yang fleksibel biasanya menggambarkan berbagai inisiatif seperti waktu kerja fleksibel, jam kerja yang dikurangi, minggu kerja yang dipadatkan, pembagian kerja, dan kerja paruh waktu.   Jadwal kerja yang fleksibel juga dikaitkan dengan komitmen organisasi yang lebih tinggi  dan tingkat keluar-masuk karyawan yang lebih rendah (Batt dan Valcour, 2003).  

Dalam hal ini, jam kerja fleksibel tampaknya memberi sinyal kepada karyawan bahwa organisasi mereka peka terhadap masalah keseimbangan kehidupan kerja dan siap untuk menanggapi kebutuhan karyawan.

Selain itu, pekerja fleksibel mungkin mengalami tekanan untuk bekerja lebih intensif (Kelliher dan Anderson,2010), meskipun belum pasti apakah karyawan yang terlibat dalam pengurangan jam kerja atau kerja jarak jauh cenderung mengalami intensifikasi kerja yang lebih besar dibandingkan pekerja tidak fleksibel.

Working inequity or inclusivity?

Untuk mengurangi potensi ketidakadilan, manajer sumber daya manusia mungkin perlu mengambil peran aktif dalam membentuk kembali praktik sumber daya manusia organisasi (Nord et al. 2002: 236). 

Pertama, menerapkan prosedur formal untuk alokasi tugas agar semua karyawan diperlakukan adil dan mencegah beban berlebih pada karyawan tanpa anak.

Kedua, mengadaptasi pengaturan kerja fleksibel seperti waktu kerja fleksibel dan telecommuting, serta mengubah sistem pelatihan, evaluasi, dan kompensasi untuk menghargai kontribusi karyawan jarak jauh.

Ketiga, merestrukturisasi sistem karier dan promosi untuk mendukung kebijakan keseimbangan kehidupan kerja, memungkinkan cuti untuk pengembangan diri atau pengasuhan keluarga, dan mengurangi tugas yang membutuhkan banyak perjalanan dan kontak klien.

Kesimpulan 

Generasi Z menghadapi tantangan unik dalam menjaga keseimbangan kehidupan kerja di era digital. Dengan tekanan waktu dan beban kerja yang meningkat, serta budaya 'face time' yang masih dominan, mereka harus beradaptasi dan mencari solusi inovatif untuk menjaga kesejahteraan mereka. Pengaturan kerja yang fleksibel dan kebijakan yang inklusif dapat menjadi langkah awal dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan seimbang.

Praktisi sumber daya manusia memiliki peran penting dalam pelaksanaan kebijakan kehidupan kerja yang efektif, terutama dalam memastikan bahwa sistem pelatihan, penilaian, promosi dan penghargaan sesuai dengan tujuan kebijakan, dan bahwa pengguna dan non-pengguna mendapatkan perlakuan yang adil di tempat kerja.

Daftar Pustaka 

Bach, S. (2012). Managing Human Resources (5th ed.). Wiley Professional, Reference & Trade (Wiley K&L). https://bookshelf.vitalsource.com/books/9781118509982

Batt, R. and Valcour, M.P. 2003: Human Resources Practices as Predictors of Work-Family Outcomes and Employee Turnover, Industrial Relations, 42(3), 189–220.

Greenhaus, J.H. and Powell, G.N. (2006). When Work and Family Are Allies: A Theory of Work-Family Enrichment. Academy of Management Review, 31(1), 72–92.

Nord, W.R., Fox, S., Phoenix, A. and Viano, K. (2002). Real-World Reactions to Work-Life Balance Programs: Lessons for Effective Implementation. Organizational Dynamics, 30(3), 223–238.

Perlow, L.A. (1998). Boundary Control: The Social Ordering of Work and Family Time in a High-tech Corporation. Administrative Science Quarterly, 43(2), 328–357.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun