Mohon tunggu...
Gloria Pitaloka
Gloria Pitaloka Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu Rumah Tangga dan Penulis

Perempuan yang mencintai bumi seperti anak-anaknya sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan Bumi

10 Juni 2023   12:15 Diperbarui: 10 Juni 2023   12:16 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terik mentari kemarau terasa membakar bumi. Angin berembus membawa aroma dedaunan yang meranggas.
Mataku menyapu ladang yang hanya tersisa beberapa batang singkong. Semenjak suamiku sakit, maka tulang punggung berpindah padaku. Aku menghidupi suami dan tiga anak, dengan cara mengolah sawah dan ladang. Namun, sawah yang hanya 400 meter per segi itu kini kering kerontang.

Sawah-sawah kami tidak memiliki air, hanya mengandalkan curah hujan setahun sekali. Sementara kami harus makan tak bisa menunggu setahun sekali. Mennyadari hal itu aku bertekad harus mengubahnya. Tekadku sudah bulat. Mimpiku hanya satu: memiliki sawah yang tergenang air. Kemudian aku menuju tebing.

Gunung itu menyimpan banyak air. Namun, semenjak Gunung Galunggung meletus, semua saluran air tertutup abu, pasir dan batu. Bagaimana caranya supaya air mengalir? Aku harus membuat lubang dan mengalirkan sepanjang empat koma lima kilometer. Jalan satu-satunya hanya dengan cara menerobos dinding batu itu.

Maka, mulai hari ini, berbekal tekad dan; sebilah linggis, seutas tali dan cangkul, aku menuju tebing. Bismilah, demi impian mengairi sawah dan ladang di kampungku, aku harus bisa. Di usia senjaku ini, tak punya siapa-siapa yang bisa dimintai pertolongan. Kalaupun ada, namun, mana mereka percaya. Mungkin dianggapnya hanya ide yang mustahil tercapai. Aku hanya dianggap wanita tua yang gila.

Setelah aku menyelesaikan pekerjaan di rumah, sawah, dan ladang dan juga mencari nafkah dengan cara kuli mencangkul, waktu luang biasanya kumanfaatkan pergi membuat saluran menuju atas tebing. Di sanalah aku mulai mencicil saluran. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi selokan. Pekerjaanku sangat banyak. Setelah pulang dari memapas tebing masih saja harus membuat besek untuk dijual ke pasar.

Setiap hari aku bolak-balik menatah tebing batu tanpa kenal lelah. Namun, karena sebagai perempuan desa sudah terbiasa dengan bekerja keras, otot-ototku lumayan kuat. Kayu gelondongan saja aku anggup pikul. Maka pekerjaan ini pun, kuyakin sanggup melaluinya.

Tidak mudah memang saat harus memanjat tebing. Aku harus berhati-hati agar tak tergelincir. Tali temali kubuat sekedar pijakan dan tumpuan agar aku tak terjatuh lalu meregang nyawa pada jurang di bawah sana.

"Woi, Eroh! Apa yang kau lakukan?" Tanya tetangga setiap kali mereka melihatku memapas bukit seorang diri.

Aku hanya terdiam. Ya percuma kuberi alasan. semenjak mereka menertawakan dan menganggap gila, aku malas berbicara. Biarlah akan kubuktikan. Batu yang keras jika setiap hari ditatah akan jebol jua.

"Mak Eroh, lebih baik kau pulang. Mustahil kau mampu melubanginya."

Aku diam saja biarkan mereka berbicara sampai bosan. Kini 45 hari aku menatah. Hari ini kupandangi dinding tebing.

Sesekali kutengok ke belakang sudah sejauh mana aku mengerjakan. Nyaris tak percaya, saluran panjang itu aku buat seorang diri. Sedikit lagi, aku yakin, sedikit lagi akan tercapai mimpiku.

Namun, semua tak berjalan mulus. Hari ini hari yang teramat berat. Tenagaku nyaris habis. Akan tetapi, sakit badan dan jiwa tak kurasa. Demi mimpi sawah tergenang air yang jernih dan sejuk. Kupaksakan dengan ikhlas.

Dengan badan lemah, kuayunkan linggis perlahan. Trang! Trang! Aku pun limbung, lalu terjatuh. Saat tergeletak, mataku mengabur. Tekadku meluntur. Benarkah keyakinanku? Di balik dinding ini ada air? Aku mulai goyah. Ingin menyerah. Haruskah kuteruskan atau ditinggalkan? Akankah sia-sia pekerjaan ku jika tetap teruskan seperti ejekan-ejekan mereka?

Lagi dan berulang.
Aku limbung, jatuh, lemah. Termenung sesaat. Lalu bangkit kembali. Aku bisa, aku yakin itu!

Mataku kian mengabur. Suara linggis beradu batu seperti harmoni di telingaku. Samar-samar kudengar suara gemericik air. Entah itu halusinasi atau apa, saking keinginanku yang kuat ini.

Tiba-tiba ....

Air deras menyembur dari balik bukit bersama gumpalan tanah dan batu. Membuatku terperenyak dalam gelontoran air. Semakin lama air yang keluar semakin jernih dan deras. Sekelilingku di penuhi air.

"A-air ... Air ...." Aku terbata-bata. Sembari semakin gemetar aku mengayunkan linggis sekuat tenaga, penuh semangat seperti mendapatkan kekuatan dahsyat. Lubang itu pun semakin membesar. Tekanan air makin meningkat. Tubuhku sudah basah kuyup. Namun, terus ku lanjutkan membuat lubang yang besar hingga kemudian desakan air makin besar. Pada akhirnya, tubuhku yang rapuh ini terdesak air dan terdorong ke belakang. Tubuhku terseret keluar saluran yang kubuat sendiri.

"Air! Aiiir! Aiiiirrr!"

"Allahu Akbaaarrr!"

"Ini, iniii... mujijat!Ini Mujijat!"

Aku berteriak-teriak. Aku bersusah payah bangkit. Lalu kutatap nanar air yang mengalir deras, meluber ke segala arah. Tanpa pikir panjang aku bersujud syukur hingga berulang kali, berterima kasih pada sang Maha Pemberi air kehidupan. Air mataku mengalir bersama derasnya air. Terima kasih, Tuhan. Aku gemetar. Namun, tetap kulanjutkan membuat saluran agar air tak mengalir ke mana-mana.

Kini semua orang di desaku tahu jika pekerjaanku berbuah kesuksesan. Dan akhirnya, para petani itu, mereka membantuku tanpa dipinta. Dulu dicaci, kini yang kudengar hanya teriakan memuji. Bahkan mereka kulihat saling berpelukan saking bahagianya.

Setelah ini, apakah pekerjaanku telah selesai? Belum. Aku harus membuat parit menuju sawah. Dan itu sangat jauh.

Sejak hari itu, berita tentangku telah tersebar. Kemudian orang-orang ramai berdatangan melihat saluran air yang dianggap mukjizat itu. Namun sayangnya, sawahku tetap saja kering.

***

Dua setengah tahun kemudian, saluran air itu rampung. Mimpi menjadi kenyataan. Sawahku tergenangi air. Banyak orang mencariku. sekedar berburu berita. Bahkan ada yang mengusulkan memberiku hadiah. Namun, aku tak peduli semua itu.

Aku nyaris tak percaya apabila mengingatnya, membuat parit pada tebing cadas sepanjang 4,5 kilometer dengan lebar 2 meter pada ketinggian 17 meter. Pekerjaan tersebut kulakukan secara terus menerus selama 45 hari. Sungguh, aku tidak memikirkan apapun saat melakukannya. Semata hanya ingin melihat sawah-sawah tergenang air.

Kini, di tanganku ada piala Kalpataru berwarna keemasan. Apakah ini emas? Jika iya bisakah kujual untuk biaya berobat suamiku yang sedang sakit saat ini?

Apakah kehidupanku akan berubah? Aku masih sama, masih tetap kekurangan. Namun, aku bahagia.

Semoga saluran air yang kubuat bermanfaat. Semoga hidup kita mengalir seperti air. Memberi dan menjadi sumber kehidupan tanpa pamrih.

****

Catatan : cerpen ini dipersembahkan untuk para Perempuan Penjaga Bumi. Terima kasih kepada Mak Eroh (1985) dari Tasikmalaya, Sang Penjaga Bumi. Semoga 'warkha' kebaikanmu berkelimpahan. Sayangnya, saluran air karya Mak Eroh kini tidak terawat lagi.

Sbg,18 Juni 2020
Selamat Hari Lingkungan Hidup 5 Juni (sudah terlewati)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun