Mohon tunggu...
Granito Ibrahim
Granito Ibrahim Mohon Tunggu... Desainer Grafis -

Fotografer jalanan dan penulis fiksi yang moody.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Kota Kenangan dan Pengembara Visual

6 Juni 2017   09:55 Diperbarui: 6 Juni 2017   17:00 2461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: dok.pribadi

Di kota kenangan, malam hari adalah segalanya bagi setiap penduduk. Sepanjang jalan lampu-lampu bergaya gotik bertebaran, berjajar dengan kafe, bar dan restoran yang memperdengarkan musik jazz akustik.

Di bangku besi di trotoar, duduk seorang perempuan manis bertopang dagu. Memerhatikan kehidupan malam sambil menunggu sesuatu. Konon, dia adalah seorang model. Bersedia berpose apa saja asal bisa membayar apartemen, makan pagi yang enak dan tentu saja kelengkapan rias yang akhir-akhir ini membumbung tinggi harganya.

“Aku punya tubuh yang bagus, tulang wajah yang berkarater dan kulit yang mulus. Tidak kah kau lihat itu?” kata si model kepada seseorang yang melintas di depannya.

“Hei, sebentar, duduklah di sebelahku, akan kuterangkan silsilahku, bahwa ibuku juga model, ayahku seorang pemotret profesional. Ini karyanya,” tambah si model sambil memperlihatkan lembaran majalah mode yang lusuh.

“Atau jika kau punya waktu lebih, kau bisa ajak aku ke kafe itu. Aku bawa tas portfolio, ada beberapa contoh fotoku yang kupikir kau akan tertarik. Dan lagi aku cukup seksi, nanti kau lihat sendiri, asal ada secangkir kopi di depanku. Dan kita akan berbincang banyak hal di bawah langit bergemintang seperti malam ini. Bagaimana, setuju?”

Yang diajak bicara lewat begitu saja, menoleh pun tidak.

Seratus meter dari si model duduk, dua lelaki menikmati malam dengan minuman alkohol murahan. Yang satu disebut-sebut orang sebagai lelaki pengembara visual.

“Kau diam saja? Maksudku, apakah pemandangan kali ini membosankan?” tanya karib si lelaki pengembara visual.

Lelaki pengembara beranjak dari sudut gelap dekat gerai hot dog yang dipenuhi mahasiswa.  

“Mau ke mana? Mencari pelacur ya?”

Lelaki pengembara tak menjawab sepatah kata pun. Percuma baginya meneruskan omong kosong, dan lagi ada sesuatu menarik hatinya sedari tadi. Itu dia yang kucari, batinnya. Lalu meneruskan langkahnya, memasukkan kedua tanggannya dalam saku mantel berkerah tinggi. Santai saja. Seolah menyimpan rapat-rapat penemuannya. Tak sesiapa pun boleh tahu.

Lelaki pengembara menemukan sosok yang selama ini dia cari-cari dari satu jalan ke jalan, dari kota ke kota. Bila saja dompetnya tebal, setiap negara akan dia kunjungi. Tapi, penemuan macam apa, perjumpaan sedahsyat apa? Seberapa bergetar hatinya dan sejauh mana pikirannya berkelana? Tidak ada yang tahu, tentu saja.

Layaknya para pemotret legendaris, setiap detik ada harganya. Setiap momen harus direkam sekarang, bukan nanti atau esok. Maka, lelaki pengembara visual itu semakin mendekati si model. Dan pada jarak tertentu, kira-kira dua puluh meter, ayunan kakinya berhenti.

“Aku rasa dia cocok mengisi halaman tengah majalah fesyen. Jika aku memotretnya dari samping, profilnya membentuk paduan garis lengkung dan lurus secara harmonis. Foto hitam-putih akan maksimal buat komposisi itu.” Lelaki itu mulai menghitung-hitung, mengira-ngira. Alam kreativitasnya sedang bekerja mendesain gambar, yang barangkali kelak akan dicatat sejarah sebagai foto terbaik sepanjang masa. Senyumnya merekah memikirkan hal itu.

***

“Kapan kau mengajakku ke studio, aku sudah siap.”

“Berapa fee-mu, aku harus tahu dulu.”

“Untuk frame pertama, tak usahlah membicarakan bayaran. Aku masih bisa makan, minum dan sebagainya. Pelajari apa yang kau perlukan dulu. Sesudahnya mari kita berhitung.”

Si model sudah mengira-ngira apa yang akan dibicarakan sekiranya malam itu seorang fotografer menemuinya dan mengajaknya dalam sesi pemotretan. Lalu dia menyalakan rokok, bersamaan dengan butiran salju yang turun. Tanggal berapa sekarang, apakah Natal telah tiba?

Tapi, tidak ada orang tua berjanggut putih, berbaju merah, membagi-bagikan hadiah. Tidak terdengar pula anak-anak menyanyikan lagu kudus. Si model merapatkan kancing bajunya, tampaknya suhu semakin turun.

Sementara si lelaki berhenti sebentar, meraba-raba tas kecil yang dia bawa tersembunyi dari jas musim dingin. Astaga, mana kameraku? Apakah tertinggal di halte bis yang sesak oleh penumpang berkulit hitam? Atau, sekelompok pemuda latin yang barusan berpapasan dengannya mencopet barang berharga satu-satunya itu?

“Aku bukan jongos kamera. Aku tak bergantung peralatan.” Dia berkata sendirian dan hanya bisa didengar oleh kupingnya sendiri, sambil terus mendekati si model. Jarak mereka tinggal tujuh meter.

“Hai, cantik,” sapa si lelaki.

“Aha, datang juga kau rupanya,” balas perempuan model.

Ketika jarak mereka tinggal selangkah, betapa terkejutnya si lelaki melihat wajah si model yang dipenuhi kerut sana-sini. Gincu yang tebal dan tubuhnya mendadak 20kg lebih gemuk dari perkiraannya. Perempuan itu berubah menjadi seorang nenek yang genit, atau terlampau ramah, atau gila, barangkali.

“Oh, maaf.”

“Maaf kenapa?”

“Sepertinya aku salah orang.”

“Ah, kau kah fotografer itu? Bertahun-tahun aku menunggumu. Kapan pemotretan kita mulai? Aku sudah siap, aku sudah siap.”

“Sekali lagi maaf Nek, aku tadi mencari gadis muda, umurnya sekitar 20’an. Dia model yang kucari-cari selama ini. Apakah kau lihat dia pergi, atau menyeberang jalan?”

Si lelaki menyapu tatapannya ke segala penjuru, ke keriuhan teras kafe, siapa tahu gadis model beranjak saat dia mencari-cari kameranya yang hilang. Juga ke ujung jalan, ke jendela kafe yang lain. Begitu cepat gadis itu lenyap.

“Oh, ganteng, tidak ada perempuan muda sejak tadi, bahkan sejak bertahun-tahun yang lalu duduk di sini. Aku lah satu-satunya mahluk yang setia di atas bangku ini. Dan, kelihatannya kau kecewa. Ketajaman matamu, seperti juga mataku, telah drastis berkurang. Usia telah menggerusnya. Duduk lah, barangkali kita bisa bertukar cerita tentang masa muda yang indah.”

Malam semakin malam, meluruhkan sejumlah harapan, melipat kenangan. Lelaki itu mematung seperti boneka salju.

“Aku ingin memotretmu, duduk lah. Bisa juga kau berdiri agak ke depan sedikit,” ujar perempuan tua sambil mengeluarkan sesuatu dari tas usangnya.

Lelaki pengembara masih dikelilingi rasa takjub, bagaimana bisa sosok yang diincarnya raib begitu saja. Ia melihat jam tangannya, mungkin saja malam terlalu larut bagi gadis model, sehingga pergi lekas-lekas tanpa setahunya.

Tatapannya jelas melihat jarum jam menunjuk pukul 11.30 malam, namun ia juga melihat tangan yang asing, tangan yang mirip si nenek, penuh lipatan kulit, berbintik-bintik cokelat. Tangan siapa ini?

“Sudah kubilang, sang waktu lebih berkuasa, dan tidak akan menyisakan lebih banyak lagi buat kita.” Sekalimat yang terontar dari bibir perempuan tua, memaksa lelaki itu merebahkan diri di kursi besi jalanan yang sangat dingin, seperti menusuk-nusuk pahanya.

Sementara di sebuah bar, seorang perempuan muda baru saja memesan wine dan seorang lelaki memesan chivas on the rock di bar yang lain. Keduanya melontarkan pertanyaan yang sama kepada Bartender.

”Apakah engkau melihat orang ini?” ujar keduanya hampir bersamaan, seraya memperlihatkan selembar sobekan majalah.

“Di kota kenangan ini, antara ingatan lama dan realita bercampur baur, seperti kisahan novel,” ujar Bartender.

*****

Granito 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun