“Hai, cantik,” sapa si lelaki.
“Aha, datang juga kau rupanya,” balas perempuan model.
Ketika jarak mereka tinggal selangkah, betapa terkejutnya si lelaki melihat wajah si model yang dipenuhi kerut sana-sini. Gincu yang tebal dan tubuhnya mendadak 20kg lebih gemuk dari perkiraannya. Perempuan itu berubah menjadi seorang nenek yang genit, atau terlampau ramah, atau gila, barangkali.
“Oh, maaf.”
“Maaf kenapa?”
“Sepertinya aku salah orang.”
“Ah, kau kah fotografer itu? Bertahun-tahun aku menunggumu. Kapan pemotretan kita mulai? Aku sudah siap, aku sudah siap.”
“Sekali lagi maaf Nek, aku tadi mencari gadis muda, umurnya sekitar 20’an. Dia model yang kucari-cari selama ini. Apakah kau lihat dia pergi, atau menyeberang jalan?”
Si lelaki menyapu tatapannya ke segala penjuru, ke keriuhan teras kafe, siapa tahu gadis model beranjak saat dia mencari-cari kameranya yang hilang. Juga ke ujung jalan, ke jendela kafe yang lain. Begitu cepat gadis itu lenyap.
“Oh, ganteng, tidak ada perempuan muda sejak tadi, bahkan sejak bertahun-tahun yang lalu duduk di sini. Aku lah satu-satunya mahluk yang setia di atas bangku ini. Dan, kelihatannya kau kecewa. Ketajaman matamu, seperti juga mataku, telah drastis berkurang. Usia telah menggerusnya. Duduk lah, barangkali kita bisa bertukar cerita tentang masa muda yang indah.”
Malam semakin malam, meluruhkan sejumlah harapan, melipat kenangan. Lelaki itu mematung seperti boneka salju.