[caption caption="Foto : Nito & Arako"][/caption]
Matanya sipit seperti anak Jepang, berambut pendek dan agak gelap kulitnya –kebanyakan kena terik matahari. Dia tetanggaku, tempat tinggalnya berjarak sepuluh rumah dari kediamanku. Namanya Arako, nama yang menurutku lebih cocok untuk tokoh komik.
Aku suka memerhatikannya, soalnya orangnya unik, bertingkah layaknya anak laki-laki: memanjat pohon, bermain gundu dan tidak pernah memakai rok. Kata teman-teman, Arako memang tomboi, mungkin ada semacam percampuran kromosom dari dua sifat yang seimbang. Satu-satunya yang menandakan dia cewek adalah kebiasaannya curhat diselinggi air yang kerap menitik dari sudut matanya.
“Kambingku hilang,” katanya di suatu senja.
“Jelas saja, wong nggak pernah diikat.”
“Biasanya tidak begitu, pasti pulang kalau sore.”
“Barangkali kambingmu ingin mengembara.”
“Kamu, tuh, ya. Aku serius malah dibecandain. Huh!”
“Hewan juga ingin kebebasan, seperti kita.”
“Seperti kita?”
“Ya, seperti kita.”
Sejak itu, kami sering membicarakan hal-hal seputar pengembaraan, mendaki bukit misalnya. Atau berkelana dari satu kota ke kota lain. Atau pergi ke luar negeri, keliling dunia. Menengok apa yang ada di dalam lautan, mencicipi makanan di setiap daerah, tinggal di sebuah pulau yang tidak ada penghuninya, misalnya lagi. Setidaknya pembicaraan bukan seputar kambing lagi.
Kalau saja orangtua kami mengetahui rencana itu, pasti mereka kurang setuju. Usia kami masih remaja, baru saja menginjak 17 tahun. Apalagi jika mengetahui keinginan aku dan Arako hendak naik kapal selam untuk menjelajahi kedalaman samudra. Kautahu, ayahku juga dulunya seorang petualang: pernah mengelilingi padang pasir dengan onta, pernah tidur berhari-hari di atas pohon di pedalaman Kalimantan hanya untuk memotret burung langka. Rencana ayah untuk ke Amerika Selatan melihat dan memotret anggrek hitam, punah di tengah jalan. Sebab ibu minta segera dinikahi. Andai saja beliau jadi ke sana, boleh jadi aku telat lahir, atau malah tak jadi lahir.
“Ibra... itu namanya takdir,” ujar Arako, saat aku katakan kisah ayah (dan kisahku).
“Kamu percaya hal itu?”
“Aku baca dari buku dan guru agama juga bicara demikian.”
“Bisa jadi kambingmu pergi sebab suratan takdir.”
“Bukan begitu....”
Seperti yang aku bilang sebelumnya, bagaimana pun dia cewek, matanya lantas mengambang gara-gara diingatkan kepergian kambingnya. Sebenarnya aku suka melihat Arako menjadi sisi lain dari dirinya, sisi sebenar-benarnya dari kepribadiannya. Mungkin lingkungan kami yang membentuknya hingga dia menjadi cewek tomboi. Maklum, teman sepermanian kala itu kebanyakan memang laki-laki. Sebaliknya Arako malah menyebutku cowok feminin.
“Aku baru tahu kalau ada cowok suka bunga.” Dia berkata sambil mengunyah kacang mete.
“Memangnya tidak boleh?”
“Ibra, kamu mirip cewek, wajahmu, kelakuanmu, kesukaanmu....”
“Eh, aku bukan cewek, aku laki-laki betulan.”
“Tak apa, cowok seperti itu. Aku suka, kok.”
“Apa? Suka?”
“Bukan begitu....”
Rasanya aku ingin mengatakan bahwa aku juga menyukainya. Namun mulut ini seperti tersumpal kacang mete sebesar kepalan. Tak bisa aku mebisikkan apa kata hati. Yang keluar cuma bunyi: “Ssssh...”
“Kamu omong apa?” Arako menatapku dalam-dalam.
“Tidak, aku tidak mengatakan apa-apa.”
“Suara apa barusan, dan apa artinya?”
“Tidak tahu. Aku sungguh tidak tahu.”
“Benar kalau begitu, kamu kayak cewek.”
“Dan kamu seperti cowok....”
Apakah kau pernah mengalami, ketika kau ingin menjadi diri sendiri, tak peduli usiamu berapa, tak risau seberapa banyak uangmu, tapi kau ingin berkelana semacam mencari jatidiri? Tapi –sebut saja itu keberanian, yang tiba-tiba menguap ketika di depanmu ada lawan jenis yang membuatmu tak mampu berkata-kata dan berpikir. Aku lebih memilih naik kapal selam sendirian daripada merenungkan kalimat yang tepat untuk Arako. Kadang bersendiri lebih nyaman, jujur saja. Tiba-tiba aku jadi paham, mengapa kambingnya kabur.
Dan kesendirian itu benar-benar aku alami ketika suatu hari Arako menghilang. Seperti kambingnya, dia pun tak pernah kembali pulang. Yang kurasakan saat itu, diri ini seperti terhimpit oleh dinding besi yang gelap pada sekeliling badan. Pandangan bagai buta, kuping seperti tuli, mirip hidup dan bernafas sesak di dalam kapal selam (seperti cerita ayahku). Kesendirian menyebalkan yang pertama kali aku rasakan (aku ralat jika kusebut nyaman sebelumnya).
Setiap pulang sekolah aku mencari Arako di kebun-kebun tetangga, sampai ke hutan dekat desa kami. Aku tahu di mana kesukaannya, tapi hasilnya nihil. Arako benar-benar menghilang. Bukan hanya sampai di situ, aku juga mendaki bukit yang dia pernah sebut, mengunjungi sungai-sungai yang pernah Arako kisahkan. Sia-sia.... Apa mungkin dia moksa?
Kalau aku perhatikan, Arako mirip dengan kucing, sorot matanya tulus dan kecoklatan. Rambutnya halus seperti bulu kucing (aku pernah tak sengaja membelainya). Dan hewan itu konon satu-satunya mahluk yang secara alamiah pada akhir hayatnya mengalami moksa. Sahabat kami si Rudi yang mengatakan hal tersebut.
“Kamu pernah melihat bangkai kucing jalanan karena mati tua?” tanya Rudi, sembari meyakinkanku.
Aku percaya, karena Rudi anak indigo: bisa melihat mahluk halus dan seringkali dapat menebak apa yang kelak akan terjadi. Termasuk hilangnya Arako.
*****
Aku tak mengerti mengapa dia pergi begitu saja tanpa kata-kata perpisahan. Bagaimana pun Ibra satu-satunya cowok yang asyik diajak ngobrol. Kami pernah merencanakan kabur dari rumah untuk sebuah misi penjelajahan. Jadi ada dua mahluk yang kini raib tanpa sebab, kambingku dan Ibra. Apabila ada yang gemar membahas masalah ‘cinta pertama’ –seperti Rudi, boleh jadi cintaku terpaut dengan cowok feminin itu. Kautahu betapa menjengkelkan sebagai cewek tomboi yang dikenal pemberani, nakal, seperti bocah laki-laki, tiba-tiba harus menitikkan air mata hanya gara-gara kepergian sesesorang. Dan kambing.
“Dia sedang menempuh jalan hidupnya sendiri,” kata Rudi, sahabatku, juga teman karib Ibra.
“Tapi, dia tak mengucapkan apa pun, Rud. Bagaimana bisa?”
“Itu lah laki-laki, kadang-kadang kehilangan daya bicaranya. Lebih memilih bertindak daripada mengumbar kata-kata.
“Bukan begitu....”
Rudi –sama seperti anak laki-laki lain, susah mengerti apa yang aku rasakan. Menurutnya ini soal sepele yang tak patut dirisaukan. Aku rasa, agak sok tahu juga, ya, anak itu...
“Aku bukan sok tahu, Ar... indra keenamku mengatakan demikian, terserah kau percaya atau tidak.”
Nah, benar ‘kan, dia dapat menebak isi kepalaku.
“Ibra sudah berjanji mengajakku mengembara. Berkali-kali dia mengatakan padaku, berkali-kali, Rudi!”
“Sebentar, kau perlu tahu, dia juga mencarimu. Dia juga bingung.”
“Hah, mencariku? Sumpah, aku gagal paham!”
*****
Terus terang sulit sekali meyakinkan mereka. Sebagai anak indigo, barangkali apa yang aku bicarakan bisa dianggap tak masuk akal. Dua temanku itu memang jadi pergi dari rumah, dan seperti orangtuanya, mereka berpetualang dari bukit satu ke bukit lain. Dari laut dangkal hingga yang dalam. Hanya saja, lautan banyak mengandung misteri. Mereka tak kembali setelah mencoba ingin tahu apa yang ada di kedalaman lautan selatan.
Aku pikir, akan lebih baik kalau mereka beternak kambing saja dan hidup berdampingan hingga akhir masa.
“Sudah bertemu Arako, Rud?”
“Baru saja dia bicara denganku.”
Mereka seperti halaman-halaman pada buku yang tak berjumpa satu sama lain, namun utuh dalam jilidan dimensi semesta. Hanya saja keduanya tak lagi membicarakan soal kambing.
*****
Granito, Maret 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H