“Hahaha... kau lihat nanti, sepulang dari sana aku akan membuat revolusi kebudayaan!”
Barangkali Marioso akan sembab matanya seperti Joe si banteng, mendengar kisah-kisah Har melewati waktu bersama teman-teman yang dahulu sekampus bersama cita-cita setinggi langit yang tersemat di hati mereka.
“Ini dari Marioso,” ucap Har ketika sampai di rumah Sri, di jalan Dago, Bandung.
“Ah, bagaimana keadaan dia, Har?”
“Baik-baik saja, Sri. Tapi, sebaiknya kau baca saja suratnya.”
Har lalu berpamitan, waktunya tergesa untuk menghadiri pertemuan para pelukis. Sri mengucapkan terima kasih dengan tetap bergeming di teras rumahnya, sampai pemuda itu menghilang dari pandangannya.
Sejak itu mereka kerap bertemu, hingga pada suatu hari memutuskan untuk berdua selamanya, sesuai dengan apa yang dibicarakan Marioso dalam suratnya. Kawan-kawan Har tentu saja bersilang pendapat, meski mereka tidak mengutarakan langsung pada pasangan baru itu.
“Menurutmu bagaimana?”
“Mau apalagi, Mar tak mungkin pulang. Kasihan si Sri.”
“Justru itu, biarkan lah mereka menempuh hidup baru.”
“Tapi, apa mungkin sebegitu cepatnya?”