Keruh kini tempat bermainku, jernihnya pergi entah ke mana. Penyu berenang-renang di atasku tanpa tujuan, raut mukanya sedih, matanya sayu. Ganggang rebah meski ombak lirih berlagu, hanya kuning kuda laut sesekali mengintip seolah berkata, masih ada kah kehidupan seperti dahulu?
Kemarin terbawa aku ke tepian pantai, bersama plastik-plastik buangan, di antara karang-karang bunga yang kini telah memutih. Aku dengar burung-burung camar berteriak, katanya orangutan kehilangan rumah, ada merah menyala begitu besar dari ribuan tempat mereka berasal. Maka, kukabari ikan bidadari, kukabari ikan pari, lalu mereka menjauh setelah air pecah bergederam dihantam jangkar perahu.
“Cepat sembunyi!” kata kelomang yang tenggelam. Ia bicara dengan matanya, kedua sungutnya mengatup. Setelah sekelompok manusia dengan gelembung-gelembung udara keluar dari punggungnya seraya membawa kotak bercahaya yang menyilaukan, berkeliling mengitari kediamanku, juga saudara-saudaraku. Apakah mereka tak tahu, jangkar perahu melukai terumbu hingga jeritnya terdengar dari kejauhan. Sebegitu jauh, ke seberang pulau tempat aku pernah tinggal.
Saat itu aku masih kecil, dan hampir saja disantap oleh ikan triger si penguasa terumbu, beruntung anemon merah jambu menyembunyikan diriku. Namun tempat kami tinggal sebenarnya penuh damai, arus laut dan kesejukannya yang bersahabat, warna-warni karang, dan jutaan mahluk berdampingan seperti pesta yang tak kenal usai. Tanpa drama, tragedi ataupun hal-hal yang membuatku kehilangan bahagia. Paus beriringan dengan paus, lumba-lumba menari di antara layar nelayan. Matahari tak terlampau panas menyengat, hingga plangkton-plankton bertebaran sejauh mata kecilku memandang.
Justru tatkala aku menjelang dewasa, sekelompok mahluk yang mengeluarkan gelembung udara dari punggungnya menangkapku, membawanya hingga aku terdampar dalam sebuah kotak kaca yang teramat sempit, dipandangi wajah-wajah yang tak kukenal, mereka saling menggerakan kedua bibirnya, entah apa yang dibicarakan, lalu aku dimasukan dalam kantong plastik dan mahluk itu membawanya pulang.
Aku tak mengerti soal hitungan waktu, tapi kami satu-persatu mati dalam kotak kaca. Di sana berkumpul akar bahar merah, cacing kipas dan ikan betok biru, tetanggaku di laut. Ikan betok itu bercerita banyak sebelum ajalnya tiba. Cerita tentang hewan yang menyusui yang makin hari terbatas jumlahnya. Bagaimana ia bisa mengerti tentang semua itu, jangan tanya aku. Aku sendiri heran, dan semakin heran ketika ia bicara bahwa dulunya ia juga manusia. Ikan betok memang banyak misteri.
Lalu, ketika semua penghuni kotak kaca itu punah, aku dilempar kembali ke alamku, ke laut. Beruntung nasibku, berkumpul kembali dengan buih ombak, dengan karang-karang dan semua penghuni laut.
Begitulah cerita ikan badut padaku manakala tinggal bersamaku dalam satu rumah. Aku hanya burung nuri berkepala hitam yang konon lahir di tanah Papua. Jenisku tinggal sedikit, aku mungkin generasi terakhir yang masih ada.
Oleh Granito Ibrahim
****
*NB: Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
*Silahkan bergabung di Group FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H