.
"Selamat pagi nona Lastri."
................
Saya perempuan. Tentang bagaimana wajah saya sebaiknya tidak usah diutarakan. Manusia yang penting adalah dia punya kelakuan. Kelakuan inilah yang akan saya bicarakan.
Sebelum terjadi sebuah kebudayaan, seorang insan mempunyai sebuah proses pemikiran. Saya bangun tidur. Lalu membereskan kasur. Setelahnya gosok gigi dan kumur-kumur. Lima menit kemudian tubuh saya terbasuh air yang memancur. Dari situ pikiran saya mulai memutuskan. Dari situ pula muncul sejumlah gagasan. Apakah pagi ini saya harus bekerja? Menulis sebuah cerita pendek di belakang meja. Atau memberi makan ikan-ikan dalam akuarium lantas menikmati pesonanya, bermanja-manja. Atau saya selekasnya membuka jejaring sosial media dan menikmati waktu di sana saja. Gagasan akan melahirkan sejumlah tindakan. Tindakan-tindakan itu apabila dilakukan terus menerus berkesinambungan membuahkan kebiasaan. Maka kebiasan-kebiasaan saya nantinya dapat menjadi kebudayaan.
Baiklah, hari ini, seperti juga hari-hari sebelumnya, saya akan berselancar di dunia maya. Sebuah dunia sosial media yang membuat saya bahagia. Leluasa untuk berbicara, berkata-kata, berekspresi dengan foto-foto, mengomentari sejumlah status dan yang paling penting adalah menyalurkan kesukaan saya. Yaitu membully. Sebab saya paling tidak suka jika ada orang yang munafik, orang yang suka berbohong, orang yang segala sesuatunya tidak masuk akal. Coba bayangkan, masa ada teman yang menayangkan foto profilnya dengan distorsi visual. Ada teman lain menempatkan gambar bukan dirinya, juga bukan manusia sebagai avatar. Ini keterlaluan. Sudah sepantasnya manusia seperti itu saya hukum dengan cara saya sendiri. Membully mereka-mereka yang layak dibully.
Maka, saya tanpa tedeng aling-aling melontarkan sejumlah protes. Sebagian saya fitnah agar ia jera. Saya kirim pesan-pesan yang tidak senonoh dalam inbok mereka. Saya sebarkan berita ngawur tentang dirinya. Semakin apa yang saya lontarkan menarik hati orang-orang, berita bohong yang saya gulirkan semakin mendapat tanggapan yang positip. Saya tahu, pada dasarnya manusia itu suka berita heboh, kabar yang buruk mengenai seseorang lainnya, gossip nyinyir, cerita-cerita satir. Ah, bukankah itu psikologi gampang-gampangan?
Ada yang bilang saya keterlaluan. Masa sih? Dari mana ia bisa berkata saya keterlaluan? Saya hanya mencoba berlaku adil. Buat diri saya dan juga buat teman-teman lainnya. Keadilan yang saya maksud tentu tolok ukurnya diri saya sendiri, bukan hukum-hukum yang berlaku, bukan pula adat istiadat yang berjalan. Apabila seorang pejabat boleh memperlakukan keadilan sesukanya, apa saya tidak boleh? Silahkan simak perang yang terjadi sejak jaman Romawi. Adakah perang yang berdasarkan kebaikan? Oh, betapa penuhnya sejarah dengan tinta ego manusia. Tinta yang berdarah-darah, halaman-halaman buku yang penuh jeritan anak manusia. Foto-foto "seni" yang memperlihatkan penderitaan, artefak-artefak tirani. Yang kini dikunjungi sebagai obyek pariwisata, sebagai tontonan, sebagai bahan gunjingan dan tertawaan. Dunia ini adalah Colosseum raksasa! Tubuh berdarah-darah di lapangan, sementara gelak tawa cetar membahana di singasana, di samping denting anggur dari piala-piala emas. Dan tentu saja roti dan liur para penonton yang tak lelah bertepuk tangan.
Dan ajang gladiator itu kini menjelma kembali di dunia internet. Â Orang-orang menunjukan siapa dirinya dengan berbagai cara. Yang cantik boleh lah menggunggah ribuan foto dirinya. Yang kaya, tidak bersalah untuk memperlihatkan betapa bagus rumahnya, mengilap mobilnya, mahal-mahal gadget-nya. Yang merasa bersih, kesukaannya mengumbar ayat-ayat kitab suci, memerlihatkan kepada semua orang tentang jalan yang menurut dia benar, sebab yang lain itu salah. Sedangkan saya? Saya tidak cantik, jauh dari seksi. Tidak pula kaya dan tidak juga bersih. Saya penuh dosa, wajah saya bukan rupa yang digemari kaum laki-laki. Saya perempuan dengan hidup pas-pasan. Andaikata punya kemewahan, itu datang dari seseorang. Ya, laki-laki yang menghidupi saya tanpa ikatan pernikahan. Seperti gladiator yang kalah, sebentar lagi saya akan dimakan singa. Serupa pelacur pinggir kali, sebentar lagi saya kena raja singa.
Saya tidak dapat bermimpi akan ada Musashi yang menyelamatkan saya. Saya juga tidak mungkin berlindung pada Maximus. Karenanya saya mencoba bertahan, suka atau tidak suka saya harus survive. Apa yang saya dapat lakukan adalah mengumbar aksara. Membuat puisi agar para pemuda jatuh hati, menulis hal-hal yang sedih supaya kaum Ibu bersimpati. Mengeluh sana-sini, siapa tahu ada duda kaya yang baik hati. Barangkali esok hari inbox saya ada rayu-rayuan, mungkin saja seminggu lagi ada yang menaruh hati kepada saya, lantas mengajak saya hidup dalam kebersahajaan tanpa kepura-puraan seperti yang selama ini saja jalani.
Saya perempuan. Tentang bagaimana wajah saya sebaiknya tidak usah diutarakan. Manusia yang penting adalah dia punya kelakuan. Kelakuan inilah yang akan saya bicarakan.
................
"Selamat pagi nona Lastri, yuk obatnya diminum dulu." Seorang Dokter berkata dengan senyum manis kepada seorang pasien perempuan yang sudah setahun di rawat di Rumah Sakit Jiwa itu.
*****
Granito, peserta no 42.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H