Saya masih teringat betul dengan jargon kampanye Gubernur Jawa Tengah periode 2008-2013 Bibit Waluyo, “Bali Ndeso Mbangun Deso” yang artinya pulang ke desa untuk membangun desa. Jargon itu begitu populer ketika Bibit yang saat itu purna tugas menjadi Pangkostrad di Jakarta diminta oleh salah satu parpol untuk menjadi Calon Gubernur di Jawa Tengah. Setelah Bibit berkecimpung di kota metropolitan yang menjadikannya sarat pengalaman, ia diharapkan mampu membangun Jawa Tengah yang identik dengan ndeso-nya.
Gambaran itulah yang terbesit di benak saya ketika bulan April lalu ditugaskan oleh PLN untuk menimba ilmu di Singapura. Negara tetangga yang jauh lebih metropolis daripada Indonesia. Seperti antara Bibit Waluyo, Jakarta, dan Jawa Tengah, tentunya sepulang dari Singapura saya diharapkan dapat memberikan kontribusi positif kepada perusahaan.
Cerita dimulai ketika PLN memberikan tantangan untuk mengikuti rangkaian Communication Apprentice Program. Yaitu kegiatan magang di media cetak (Kompas), digital (Kompasiana), dan televisi (Metro TV) nasional bagi para praktisi humas PLN seluruh unit se-Indonesia. Sebelum kegiatan dimulai waktu itu, para peserta dijelaskan bahwa akan dilakukan kompetisi, dimana yang masuk tiga besar akan diberangkatkan ke Singapura untuk meneruskan program disana. Diluar dugaan, saya berhasil merangsek ke posisi dua di akhir penilaian. Kaget? Tentu. Tidak menyangka? Pastinya. Banyak rekan-rekan yang jauh lebih pandai dan berpengalaman lebih pantas daripada saya. Tapi ah, saya tidak mau banyak ambil pusing soal itu. Saya syukuri saja pencapaian saya dan still looking forward. Selesai perkara.
Penantian itu akhirnya datang setelah hampir lima bulan berlalu. Di awal Agustus saya dihubungi untuk bersiap melanjutkan program apprentice dengan agenda media visit ke Singapore Press Holdings (SPH) selama lima hari bersama dua rekan PLN dan dua pendamping dari Kompasiana. Wow, ini kesempatan langka man! Bisa cari ilmu di mancanegara, gratis lagi. Apalagi ini adalah kali pertama bagi orang desa seperti saya pergi ke luar negeri, hehe.
Singkat cerita, sesampai di Singapura, jadwal hari pertama langsung merapat ke kantor The Straits Times. Ya, surat kabar yang sudah sangat familiar namanya di telinga kita. Surat kabar terbesar dan tertua di negeri Singa ini. Kami disambut ramah oleh manajemen mereka dan langsung dipaparkan materi-materi soal pengenalan perusahaan. Dari situ saya baru tahu kalau SPH merupakan perusahaan induk dari The Straits Times.
SPH merupakan perusahaan media terbesar di Singapura dengan memiliki banyak unit usaha, diantaranya adalah The Straits Times, The Business Times, The New Paper, Berita Harian, My Paper, Tamil Murasu, Tabla!, Lianhe Zaobao, Lianhe Wanbao, Shin Min Daily News, zbCOMMA, Thumbs Up, Thumbs Up Junior, Thumbs Up Little Junior, ZBBZ Newsgazine, My Paper, dan U-Weekly untuk media cetak. Untuk radio ada Kiss92, ONE FM 91.3, dan UFM 100.3. Sedangkan untuk media digital mereka memiliki AsiaOne, Stomp, Brand Insider dan SPH Razor.
Yang pertama yaitu integrasi media. Masih ingat tulisan saya sebelumnya di Kompasiana dengan judul Menulis Versi 3.0? Disitu saya menjelaskan bagaimana informasi diintegrasikan antara media tradisional dengan new media di waktu yang hampir bersamaan karena tuntutan zaman. Itulah yang sudah mature mereka lakukan di The Straits Times. Yang bikin saya berdecak kagum karena tidak hanya integrasi antara The Strait Times versi cetak, radio, digital, dan media sosial. Namun juga dengan Whatsapps messanger!
Whatsapps digunakan The Strait Times untuk membuat grup subscriber. Seperti halnya media sosial, grup ini digunakan untuk memposting berita terbaru dan di-link-kan ke The Straits Times versi digital. Soal keterbatasan jumlah anggota grup Whatsapps, mereka membuat hingga puluhan grup.
Dari data hasil riset yang mereka dapatkan, memang Whatsapps messanger merupakan media yang paling banyak digunakan setelah Facebook. Bukan hal baru memang, namun mereka bisa mengoptimalkan sesuatu yang telah ada dan terbukti efektif. It's cool.