Mohon tunggu...
W. Suyanto
W. Suyanto Mohon Tunggu... -

just another warga negara indonesia...guk...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Organisasi...Oknum...dan Common Sense…

5 Juli 2011   07:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:55 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

sekedar contoh kasus nyata, seorang pengusaha supermarket di kota kampungku, sebagai pengusaha dia termasuk kategori lumayan berada, nama supermarketnya lumayan terkenal di kotaku, termasuk salah satu supermarket terkenal. tapi tiap bulan dia harus membayar sekian biaya (yang tidak kecil) demi kelancaran usahanya, dengan menjadi "anggota" dari sejumlah koperasi milik angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara, bahkan petugas sekuriti pun sengaja direkrut dari salah satu angkatan. karena sebelum menjadi anggota pernah terjadi kasus anggota tni memboikot supermarketnya dengan melarang seluruh karyawan pulang kerja hanya karena dia menklaim kehilangan barang di supermarket, dan menuntut pertanggungjawaban supermarket. sebagai pengusaha ini tentu sangat mengganggu usahanya. of course kalau mau ngomong gampang, bisa saja dia lapor ke pihak berwenang untuk diproses "sesuai prosedur", paling besok hari supermarketnya runtuh disapu bersih 2 truk pasukan yang datang untuk "bersilahturami". kmudian setiap bulan dia juga perlu "menyetor" sekian jumlah pada kapol setempat supaya usahanya "bebas" dari masalah. karena juga pernah ada kasus dia dipanggil ke kantor kepolisian setempat untuk "dimintai keterangan" terkait produk kadaluwarsa. waktu itu dia menunggu seharian tanpa dimintai apa-apa sama sekali, dengan dalil penyidik masih belum sempat meminta keterangan, kemudian disuruh pulang dan datang lagi besok harinya. tapi sebagai pengusaha dia tentu gak bisa tiap hari ke kantor polisi meninggalkan kerja yang menumpuk terus hanya untuk menunggu "dimintai keterangan" tiap hari, jadi lagi-lagi harus "berbasa-basi"(baca:bayar) untuk mempercepat proses. dan hal tersebut terjadi karena dia tidak "bersilahturami" saat kapol setempat itu baru saja pindah datang ke kotaku. jadi mau gak mau dia harus memilih solusi "setoran" tiap bulan demi kelancaran usahanya, karena dia gak mampu seminggu 3x dipanggil "dimintai keterangan" terus-menerus sementara pekerjaan ditinggalkan, dia juga tidak punya waktu lebih melakukan perlawanan meggugat balik polisi karena prosesnya pasti akan berbuntut panjang dan menyita waktu dan uangnya. Dia juga gak akan punya waktu meladeni aksi "balas dendam" yang bakal terjadi saat proses gugatan berlangsung. jadi apabila seorang pengusaha sukses dari kalangan berada saja tidak mampu melawan kelakuan oknum seperti itu, bagaimana dengan pedagang toko kecil atau pedagang kaki lima?

contoh kasus nyata lain, di bandara soekarno-hatta, saat cap paspor oleh petugas custom, setiap warga negara china yang datang ke indonesia diharuskan membayar 100 yuan (renminbi) per orang pada petugasnya untuk mendapatkan cap masuk maupun cap pulang, padahal mereka memiliki visa resmi. dari 10 wn china yang aku kenal, 9 orang pernah dimintai uang. aku tidak tahu apakah warga negara lain juga mengalami hal yang sama, jadi bagi yang mempunyai kenalan wn china yang pernah datang ke indo, hal tersebut bisa ditanyakan juga, karena sampai sekarang kasus seperti ini masih terus terjadi setiap hari di bandara soekarno-hatta, hal seperti ini terjadi di bandara yang merupakan pintu negara, yang terang-terangan merusak reputasi indonesia di mata internasional. dan setahu aku kondisi seperti ini belum pernah tersentuh media sama sekali, atau at least mungkin sudah pernah, hanya aku belum pernah melihatnya saja...

itulah cerminan kelakuan oknum yang gak pernah terekspos media, dan itupun cuman segelintir dari gunung es yang diketahui, diakui atau tidak, faktanya oknum-oknum seperti itu bertebaran di seluruh jajaran birokrasi pemerintahan. secara organisasi, 1 oknum saja sudah membuat organisasi bersangkutan menurun kredibilitasnya, apalagi berjubil begitu, tapi apa yang sudah dilakukan pemerintah? begitu terjadi kasus lagi-lagi hanya bisa menyalahkan oknum, tapi tanpa solusi konkrit.

jika ditilik dari mata pemerintah, ketika terjadi suatu skandal, organisasi/departemen bersangkutan men-deny skandal tersebut, melempar tanggung jawab kepada oknum, itu juga merupakan upaya untuk mempertahankan kredibilitas mereka juga, itu juga sikap yang kadang diperlukan, karena terlalu gampang mengakui salah atau mengakui ketidakbecusan, itu juga dapat menurunkan wibawa dan kredibilitas, tapi walaupun tidak mengakuinya, setidaknya belajar dari kesalahan dan ketidakbecusan tersebut, dan mulailah mencari gagasan, solusi, kebijakan untuk memperbaiki kondisi tersebut, mencegah terulangnya skandal yang sama, seperti moratorium tkw, yang seharusnya tanpa menunggu sudah harus dilakukan bahkan sejak pertama kali terjadi kasus, tapi malah menunggu sampai kasus ruyati heboh di media barulah mulai mencari solusi, walaupun telat sekali, tapi paling tidak sudah ada langkah nyata perbaikan, terlepas dari apakah langkah tersebut efektif atau tidak, hanya waktu yang dapat membuktikan.

pemerintah selalu berteriak bagaimana sudah memperbaiki kondisi masyarakat, meningkatkan ekonomi, menurunkan kemiskinan (dengan memanipulasi angka kemiskinan), blablabla. tapi menutup mata men-deny fakta lapangan seperti ini, begitu terekspos media terus baru menyalahkan oknum, tapi tidak ada langkah pasti untuk memperbaiki kondisi yang penuh oknum itu. walaupun ada langkah perbaikan pun biasanya hanya jangka pendek, begitu kasus sudah mendingin, kelakuan oknum merajalela lagi. maka jangan salahkan masyarakat juga menilai pemerintah makin lama makin buruk, tingkat kepercayaan makin lama makin terpuruk, kemudian begitu diketahui melalui survei, terus meragukan lembaga survei dan menklaim hasil survei yang tidak kredibel. ini hanya mencerminkan bahwa pemerintah, sebagai organisasi tertinggi dalam negara, bahkan tidak punya common sense dalam berorganisasi, dan selama sikap dan mental seperti ini masih terus ada dalam organisasi pemerintahan, maka selamanya organisasi bersangkutan gak akan pernah menjadi lebih baik. maybe ada yang akan beralasan, mengurus suatu organisasi pemerintahan bukanlah hal mudah. of course, benar sekali, seni berorganisasi itu sangat luas, teorinya bisa berbuku-buku tebalnya, tapi apabila common sense yang paling dasar saja gak punya, gak ada gunanya ngomong panjang lebar tentang how-to berorganisasi, ataupun mendapat nilai A++ dalam perilaku organisasi saat kuliah dulu.

edit note: just adding tags, lupa kemaren, hehe...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun