Indonesia merupakan negara multikultural yang ditandakan dengan berbagai macam budaya dan suku bangsa. Negara multikultural tentunya memiliki banyak tantangan, seperti halnya kekerasan, intoleransi, perusakan tempat ibadah, pelarangan beribadah, bahkan ujaran kebencian. Di tengah tantangan tersebut, kita membutuhkan toleransi sebagai dasar hidup untuk berdampingan, saling memahami, menghargai perbedaan, dan membangun kerja sama yang saling menguntungkan untuk kebaikan bersama. Anak-anak dan remaja Panti Asuhan Bunda Serayu Banyumas menemukan dinamika komunikasi antarbudaya yang telah melahirkan toleransi sejak dini.
Terdapat 32 remaja dan anak di Panti Asuhan Bunda Serayu Banyumas, Jawa Tengah pada Agustus 2019 - Februari 2020. Mereka semua berasal dari daerah-daerah yang berbeda, Mereka juga dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan budayanya masing-masing pada masa awal kanak-kanak mereka. Kemudian karena berbagai alasan, terutama karena faktor ekonomi dan ketidaksiapan orangtua untuk membesarkan anak-anaknya, mereka memutuskan untuk  menitipkannya di Panti Asuhan Bunda Serayu Banyumas.Â
Di tempat inilah, mereka tumbuh bersama dalam keberagaman. Seperti warna kulit, jenis rambut, bahasa, budaya, suku bangsa, dan dialek berbaur dalam pengasuhan bersama di panti asuhan. Mereka diasuh oleh orang-orang yang juga memiliki pengalaman, tingkat pendidikan, dan latar belakang budaya yang beragam. Sebagian besar berasal dari budaya Jawa, yaitu Banyumas. Banyumas dengan jenis logat ngapak dan karakter yang spontan dan jujur pun memengaruhi pertumbuhan anak-anak tersebut. Keberagaman ini juga menunjukkan Indonesia versi mini yang melahirkan sekaligus membutuhkan toleransi supaya terciptanya keharmonisan di panti asuhan ini.
Perbedaan dan pembatasan alat pemenuhan keinginan di panti asuhan, seperti mainan, terkadang menimbulkan konflik di antara mereka. Rebutan mainan sekolah dan alat tulis membuat konflik kecil di komunitas ini setiap harinya. Para pengasuh biasanya terus mengajarkan kesabaran, saling berbagi, dan saling memaafkan untuk mengatasi konflik tersebut sehingga kedamaian dan kedewasaan merasuki hati. Apa yang menjadi nasihat dari para pengasuh itu merupakan cikal bakal dari nilai toleransi.
 Joana merupakan salah satu anak dari panti yang kerap sering membuat kesalahan, karena ia telah membuat kesalahan, ia segera untuk menghampiri teman ataupun para pengasuhnya untuk meminta maaf. Permohonan maaf juga merujuk pada sikap penyesalan dan usaha untuk memperbaiki diri atau adaptasi terhadap sesamanya.
Gegar budaya sering juga dialami oleh beberapa anak, terutama mereka yang berasal dari daerah Papua. Seperti yang diceritakan oleh salah satu anak Papua dengan judul tulisan "Saat Berusia Enam Tahun, Aku Dibawa ke Panti":
"Kadang aku juga merasa malu diejek kawan-kawan karena aku orang Papua. Hmm... tapi biarlah, aku tetap bangga dan bersyukur karena ini semua adalah pemberian Tuhan"
Ejekan dimaknai oleh anak itu sebagai realitas yang tidak bisa dihindari. Namun dirinya berpikir untuk senantiasa berusaha semaksimal mungkin dalam belajar untuk prestasi yang gemilang dan membuat bangga orangtua nantinya. Mencermati ceritanya, tekun dan berprestasi adalah salah satu cara untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi yang dilakukan olah anak ini.
Interaksi dan perjumpaan anak-anak panti selama bertahun-tahun akan menciptakan konsep diri dan pemahaman siapakah diri mereka dan ingin jadi seperti apakah mereka. Gaby adalah salah satu anak panti yang berasal dari Papua. Dalam batin, Geby telah menganggap kawan-kawan serta para pengasuh di panti sebagai "Keluarga Besar Panti Asuhan Bunda Serayu". Hal ini muncul saat dia menerima dan merasakan kasih sayang di tengah anggota panti sebagaimana dia rasakan saat hidup bersama orang tuanya di Papua. Dialog internal dalam batin itu terjadi ketika Geby mengalami apa itu keluarga dalam arti ikatan darah dan juga ikatan emosional saat ini. Dia memberi nama "Keluarga" pada komunitas panti setelah mengalami makna kasih sayang serta toleransi untuk memahami aneka perbedaan dan keterbatasan yang ada.
Sosok bude sebagai pengasuh panti mengandung makna layaknya karakter yang egaliter. Mereka selalu berusaha mengasuh setiap anak panti secara adil dan tidak membeda-bedakan. Semuanya diperlakukan setara, yaitu dianggap sebagai anak-anaknya. Mereka tidak membedakan darimana mereka berasal, tapi melihat bahwa mereka masing-masing adalah individu yang layak dan butuh dikasihi.
Tidak hanya itu, panti ini terbuka terhadap siapapun yang hendak datang baik itu berkunjung, menitipkan anaknya, serta memberikan bantuan. Oleh karena itu, ada beragam orang yang datang ke panti ini dan berinteraksi dengan anak-anak. Kepada mereka yang berkunjung, anak-anak diajak untuk berkomunikasi dan menyapa mereka dengan diksi yang biasa dipakai dalam keluarga. Misalnya menyebut mereka dengan Bapak, Ibu, Om, Tante, Kakak, Adik, atau bahkan juga Opa dan Oma. Pengasuh dan pengurus tidak pernah mempermasalahkan apa ras, agama, suku dari mereka yang datang.
Di situlah tersirat pemahaman tentang komunikasi multikultural. Awalnya mereka berbeda-beda dan tidak kenal satu sama lain, kemudian berbaur, berinteraksi, saling mengindentifikasi, memaknai pengalaman hingga akhirnya saling menghargai satu sama lain dalam budaya kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H