Mohon tunggu...
Pendidikan

"Citizen Journalism" dan Penyebaran Hoaks Melalui Whatsapp

18 Oktober 2018   23:26 Diperbarui: 18 Oktober 2018   23:38 1793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Citizen Journalism dan Hoax

Seiring perkembangan internet, muncul istilah citizen journalism atau jurnalisme warga. Jurnalisme ini warga melibatkan warga dalam memberitakan sesuatu tanpa memandang latar belakang pendidikan, keahlian dalam merencanakan, menggali, mengolah, melaporkan informasi pada orang lain sehingga setiap orang dapat menjadi wartawan (Nurudin, 2009). 

Kelebihan dari adanya citizen journalism ini adalah mampu memberikan informasi yang beragam kepada masyarakat dengan sumber yang beragam pula, dapat memupuk budaya baca tulis di masyarakat, membebaskan masyarakat dalam berdiskusi melalui media, serta dapat bertindak sebagai manifestasi dari watch dog. 

Selain memiliki kelebihan, citizen journalism juga memiliki tantangan dimana tidak setiap warga memiliki kemampuan seperti jurnalis dalam mencari, mengolah dan melaporkan informasi. Seringkali orang menjadi terjebak dalam informasi palsu (hoax) dan menyebarkan hoax tanpa disadari karena kurangnya pengetahuan dan informasi.

Hoax sendiri bertujuan untuk membuat, menggiring, maupun membentuk persepsi opini publik, dan juga untuk menguji kecerdasan dan kecermatan pengguna internet dan media sosial. Tujuan penyebaran hoax ini beragam namun umumnya hoax disebarkan sebagai bahan gurauan/lelucon atau hanya sekedar iseng, menjatuhkan pesaing (black campaign), maupun promosi dengan penipuan. 

Hal ini menyebabkan banyak penerima hoax terpancing untuk segera menyebarkan kepada rekannya sehingga akhirnya hoax ini tersebar dengan cepat. Orang yang menjadi tertarik untuk menyebarkan hoax biasanya memiliki opini yang sesuai atau sama dengan informasi tersebut. 

Ia tidak akan peduli apakah informasi tersebut benar atau salah, maupun tidak akan berusaha untuk mencari kebenaran dari informasi yang ia dapatkan. Selama informasi tersebut sesuai dengan apa yang ia pikirkan, ia akan dengan mudahnya menekan tombol share.

Dalam jurnalnya, Dedi mengklasifikasikan jenis-jenis hoax menjadi beberapa bentuk (Rahadi, 2017), yaitu :

  • Fake News - Berita yang berisi kebohongan atau berita yang berusaha menggantikan kebenaran dari berita yang asli. Pelaku yang membuat berita hoax biasanya menyadari bahwa berita yang ia buat palsu dan dengan sengaja menyebarkannya.
  • Clickbait - Clickbait atau tautan yang menjebak ini diletakkan secara strategis di suatu situs yang dapat menarik perhatian orang untuk masuk ke situs yang ditujukan. Konten yang ada di dalam tautan ini sebenarnya berisi berita biasa, hanya saja judul atau gambar yang dibuat sensasional sehingga dapat menarik pembaca.
  • Confirmation Bias - Kecenderungan untuk menginterpretasikan kejadian yang baru terjadi sebaik bukti dari kepercayaan yang sudah ada.
  • Misinformation - Informasi yang diberikan tidak akurat atau justru digunakan untuk menipu.
  • Satire - Tulisan berisi humor atau ironi yang cenderung membesar-besarkan peristiwa yang sedang hangat terjadi.
  • Post-Truth - Memainkan emosi daripada fakta yang ada untuk membentuk opini publik
  • Propaganda - Aktifitas menyebarluaskan informasi, fakta, argumen, atau bahkan kebohongan untuk mempengaruhi opini publik.

Salah satu media penyebaran hoax pada saat ini yang paling populer adalah melalui media sosial. Media sosial menjadi media yang sering digunakan, dilansir dari Kompas.com, menurut penelitian We Are Social, perusahaan media Inggris yang bekerja sama dengan Hootsuite, rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktu tiga jam 23 menit dalam sehari untuk mengakses media sosial. Sementara berdasarkan aplikasi media sosial yang paling banyak diunduh adalah aplikasi Whatsapp.

Media Whatsapp 

Whatsapp merupakan aplikasi komunikasi berbasis internet yang dapat diakses melalui ponsel/smartphone. Menurut penelitian dari Trisnani (2017), aplikasi Whatsapp banyak dipilih oleh masyarakat (individu, kelompok, organisasi bahkan pemerintahan) sebagai media dalam penyampaian pesan karena dianggap lebih efektif dan merupakan sebuah kepuasan tersendiri apabila informasi yang disampaikan tepat sasaran. 

Whatsapp sebagai alat komunikasi telah membentuk grup-grup, misalnya dari teman sekolah, teman bekerja, teman kuliah, hingga teman organisasi.

Dalam hal ini penulis ingin membahas tentang penyebaran hoax oleh citizen journalism yang terjadi melalui aplikasi Whatsapp. Beberapa orang yang memiliki grup di Whatsapp misalnya grup keluarga tentunya tidak hanya komunikasi yang terjadi di dalamnya namun juga terjadi penyebaran berita/informasi. 

Dalam sebuah grup keluarga tentunya tidak semua anggota termasuk ke dalam generasi millennial yang sudah banyak bersinggungan dengan teknologi, banyak dari mereka yang merupakan generasi X (lahir antara 1960an hingga 1980an) yang masih awam dengan apa yang disebut hoax. 

Terkadang "orang tua" ini mendapatkan berita dari teman mereka atau dari grup Whatsapp mereka yang lain, lalu menyebarkan berita ini tanpa mengetahui apabila berita tersebut adalah hoax. Berita yang disebarkan biasanya pesan yang dapat menimbulkan rasa takut, gelisah maupun khawatir.

Contoh Hoax di Grup WA Keluarga
Contoh Hoax di Grup WA Keluarga
Berikut berita dari grup keluarga penulis yang disebarkan oleh salah satu anggota grup dengan menyertakan video sebagai penguat bukti. Ia mendapatkannya dari temannya yang juga menyebarkan melalui Whatsapp. Berita ini termasuk hoax fake news yang sudah pernah disebarkan pada tahun 2010 dan kembali disebarkan pada tahun 2018.

Selain melalui grup, sempat beredar pesan berantai bernada ancaman yang disebarkan melalui pesan privat di Whatsapp.

Contoh hoax berantai
Contoh hoax berantai
Contoh hoax berantai
Contoh hoax berantai
Penulis bahkan sempat mendapatkan pesan berantai bernada ancaman yang sama dari dua orang ibu yang berbeda dimana apabila tidak disebarkan akan mendapatkan nasib yang buruk. Pesan ini didapatkan dari ibu berusia sekitar 50-60 tahun yang kebetulan mengenal penulis. 

Bisa jadi, ibu ini juga menjadi korban dari teman-temannya dan karena merasa takut maka ia turut menyebarkan pesan tersebut. Ketidaktahuan akan informasi yang salah ini tentunya sangat merugikan, selain menguras waktu juga akan menguras tenaga dan kuota internet karena harus menyebarkan pesan yang sebenarnya tidak penting hanya karena dilanda oleh rasa takut.

Contoh hoax berantai
Contoh hoax berantai
Literasi media penting untuk dipahami oleh masyarakat terutama untuk generasi X yang masih awam dengan hoax agar dapat membedakan mana informasi yang benar dan mana informasi yang salah. Menurut Wijetunge dan Alahakoon (2009) dalam Juliswara (2017) mengungkapkan melalui model Empowering 8 (E8) ini, kemampuan melakukan literasi informasi dengan penelusuran suatu berita hoax dilakukan melalui 8 tahapan praktik, yaitu :
  • Identifikasi topik/subyek, sasaran audiens, format yang relevan, jenis-jenis sumber.
  • Eksplorasi sumber dan informasi yang sesuai dengan topik.
  • Seleksi, merekam informasi yang relevan, dan mengumpulkan kutipan-kutipan yang sesuai.
  • Organisasi, evaluasi dan menyusun informasi menurut susunan yang logis, membedakan antara fakta dan pendapat, dan menggunakan alat bantu visual untuk membandingkan dan mengkontraskan informasi.
  • Penciptaan informasi dengan menggunakan kata-kata sendiri, edit, dan pembuatan daftar pustaka.
  • Presentasi, penyebaran atau display informasi yang dihasilkan dapat menunjukkan perbandingan dari kedua kelompok pemberitaan sehingga dinilai keakurasiannya.
  • Penilaian output, berdasarkan masukan dari penilaian output, berdasarkan masukan dari orang lain.
  • Penerapan masukan, penilaian, pengalaman yang diperoleh untuk kegiatan yang akan datang; dan penggunaan pengetahuan baru yang diperoleh untuk berbagai situasi.

Referensi :

Juliswara, F. (2017). Jurnal pemikiran sosiologi. Mengembangkan Model Literasi Media yang Berkebhinnekaan dalam Menganalisis Informasi Berita Palsu (Hoax) di Media Sosial, 4(2), 142-164.

Nurudin. (2009). Jurnalisme masa kini. Jakarta : Rajawali Pers.

Pertiwi, W.K. (2018, 1 Maret). Riset ungkap pola pemakaian medsos orang Indonesia. Kompas.com. Diperoleh dari tekno.kompas.com

Rahadi, D.R. (2017). Jurnal manajemen dan kewirausahaan. Perilaku Pengguna Dan Informasi Hoax Di Media Sosial, 5(1), 58-70.

Trisnani. (2017). Jurnal komunikasi, media dan informatika. Pemanfaatan Whatsapp Sebagai Media Komunikasi Dan Kepuasan Dalam Penyampaian Pesan Dikalangan Tokoh Masyarakat, 6(3), 1-12.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun