Mohon tunggu...
Graceta Pangesti
Graceta Pangesti Mohon Tunggu... -

Muslimah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pada Akhirnya

19 Oktober 2014   03:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:31 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tepi sungai senja yang indah, aku berdiri, sambil menunduk. Membaca kertas usang yang kini berada di genggamanku. Aku membacanya. Kata demi kata, kalimat demi kalimat ku telusuri semua. Tak terasa mataku mulai memanas, karena air mata yang tergenang dipelupuk mata. Ku pejamkan mataku untuk menghilangkannya, tapi malah jatuh bergitu deras dipipiku. Ku tutup mulutku dengan tangan kananku untuk menahan tangisan. Hal ini tidak bisa berhenti begitu saja, rasa perih yang selalu bersemayam dalam jiwa. Aku terus membaca.

“mengapa kau pergi?” gumamku berbicara kepada kertas usang itu.

Aku berpikir sejenak.

Ketika kuangkat kepala ku hingga melihat keindahan sungai di depan sana, seketika itu aku kembali mengingatnya. Alihan mataku tertuju ke seluruh penjuru sungai. Begitu luas. Aku selalu dengannya di dunia yang begitu luas ini. Mengapa tidak dari dulu? mengapa tidak dari dulu kitaaku selalu bersamanya?

Angin sepoi menghantam diriku serta tubuhku. Bunyi pijakan kaki terdengar dibelakang sana. Menghampiriku yang sendiri. tangannya kian memegang bahuku, mensejajarkan tubuhnya disampingku.

“jangan tangisi keadaan ini, Elsa” ujarnya.

Jemari ku beralih menatap Kesha, tetap bergeming. Ku ingin berkata namun tertahan. Kesha ada benarnya, seharusnya aku tetap kuat. Tapi pada akhirnya kepalaku kembali menunduk. Aku bisa melihat sepatuku dibawah sana. Dan semakin lama aku melihatnya, pandanganku mulai kabur. Entah karena apa tapi sepertinya mataku kembali memanas. Aku menangis lagi.

Kali ini tidak tertahan. Aku meluapkan semuanya, kedua tanganku terangkat menutup mulutku yang terisak ketika Kesha –sahabatku- berbicara sesuatu.

“dia akan bahagia, El. Kumohon mengertilah….dia pasti juga sedih jika melihatmu terus-terusan seperti ini. kauharus kuat” ucapnya seraya mengelus-elus punggungku lembut. Menenangkanku.

“tapi…dia sudah pergi, Kes… ma-maafkan aku”. Aku menggeleng.” Tapi aku tidak bisa menahan hal ini. aku…menyayanginya. A-adikku. Dia…sudah pergi” kataku segukan. Kesha mengangkat kepalanya dan menatap kea rah sungai di depan kami. Aku bisa melihat raut wajahnya yang juga ikut sedih karenaku. Dan Aku masih menangis disini.

“aku tahu, El. Tapi dengan dirimu yang seperti ini, apakah dia tidak ikut merasa sedih juga? Kau harus mengerti dengan semua ini. ini sudah terjadi. Kau tidak boleh terus larut dalam tangisan. Kau harus merelakannya”.

Tubuhku gemetar mendengarnya. Aku yakin, Kesha, yang berada disampingku juga ikut merasakan getaran tubuhku. Kesha benar, Aku harus merelakannya.

Ku angkat tanganku-yang masih mengenggam kertas usang- kedepan, lebih tepatnya kea rah sungai itu.Kesha melihatku. Perlahan tapi pasti. Ku buka telapak tanganku pelan-pelan, yang sedari tadi mengenggam kertas dan sesaat itu kertas itu hilang. Sepertinya karena tertiup hembusan angin sore itu. Ku coba lihat ke sebelah kiriku dan benar! Kertas itu terbawa hanyutnya sungai. Tapi semakin lama kertas itu menghilang tertelan sungai kemudian hilang. Diriku seakan ikut menghilang. Bersama kertas itu.

“kau akan baik-baik saja” ujar Kesha akhirnya.

Ku rasa begitu. “yah. Aku akan baik-baik saja”

Sama seperti diriku. Jika semakin lama nanti, aku pasti mampu melepaskannya yang sudah pergi dan hilang. Aku percaya bahwa Tuhan mempunyai rencana yang lebih indah dari pada ini. air mataku tidak akan berhenti mengalir jika terus mengingatnya, adikku. yang paling kusayang.

Tidak apa-apa.

Kuhembuskan napas legaku.senja menelan diriku. Mencoba melepaskan semua beban yang membebani diriku.

Adikku,

Aku bahagia bisa menjadi seorang kakak bagimu.

Walaupun hanya sebentar. Aku merasa bahwa aku adalah seorang kakak yang beruntung memiliki seorang adik sepertimu.

Maafkan aku jika aku belum bisa menjadi apa yang kau inginkan.

Dan terima kasih atas apa yang kau berikan padaku selama ini

Aku menyayangimu. Aku menyayangimu.

pada akhirnya, kisahku selama ini sebagai seorang kakak, akan kuingat selamanya. Ku harap aku bisa terus melewatinya. Tanpa beban. Tanpa halangan. Aku harus terus melangkah. Dan aku ingin mengatakan, aku merelakannya.

Selesai

NB : Tolong kritik dan sarannya untuk melanjutkan tulisan saya kedepannya. Dan saya sangat berterima kasih karena sudah membaca cerpen saya ini. cerpen saya masih banyak kekurangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun