Mohon tunggu...
grace purwo nugroho
grace purwo nugroho Mohon Tunggu... advokat -

penggiat sosial dan politik. Lampung

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mengakhiri Dilema Bangsa

10 Mei 2019   18:40 Diperbarui: 10 Mei 2019   19:01 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengakhiri Dilema Bangsa

Oleh G. Purwo Nugroho[1]

 Secara formal Indonesia memiliki Dasar Negara Pancasila dan UUD yang disepakati pada sidang BPUPKI 18 Agustus 1945, satu hari setelah proklamasi. Pancasila  ditetapkan sebagai dasar negara secara tersendiri yang kemudian secara eksplisit di tuliskan dalam pembukaan  undang-undang dasar 1945. 

Jika melihat sila-sila ada sebenarnya adalah bentuk keumuman negara bangsa yang multikultural, plural dan disusun dari berbagai macam ideologi, menyangkut pengakuan akan Tuhan, hak asasi manusia, nasionalisme satu bangsa, demokrasi dan keadilan ekonomi, sebuah ramuan Indonesia yang dalam prateknya juga banyak yang masih pincang dalam pelaksaanaan sila sila tersebut. Konsep falsafah negara yang akomodatif seperti ini pasti akan kesulitan menemukan skala prioritas pemenuhan konsep dasar, karena mestinya semua dilakukan tetapi kemampuan negara yang belum terpenuhi.

Indonesia sudah beranjak menjadi negara modern, dan rezim tekno-demokrasi juga mulai mampir, fungsi-fungsi pelayanan negara sebagian sudah digantikan dengan teknologi, aparatur negara hanya memastikan semua berjalan dengan baik dan memperbaiki sistem yang tidak bisa melayani lagi. Sehingga secara umum  kebutuhan masyrakat sipil lebih berkutat pada kebutuhan dasar kehidupan manusia, dari pada mempersoalkan model politik apa yang mengatur diri mereka.

Konflik --konflik politik dan golongan, termasuk golongan agama mestinya dapat terklarifikasi kepentingannya dalam proses demokratisasi, bahwa muncul kelompok agama, nasionalis bahkan komunis pun dipersilahkan untuk disajikan menjadi menu ekonomi politik kepada rakyat dalam alam yang demokratis. 

Untuk itu menjadi penting untuk memperkuat basis demokratisasi politik dan ekonomi Indonesia, tidak ada satu hak pun dapat dilarang sepanjang diperjuangkan secara damai. Memang demokratisasi masih juga mengundang sikap skeptic dibeberapa kalangan, beberapa kelompok islam secara lebih ekstrim menolak demokrasi karena dianggap produk barat dan liberal, penolakan ini juga semacam paradox juga karena mereka dapat memiliki paham yang ekstrim karena manfaat demokrasi, tetapi kemudian menolaknya atas nama pahamnya. 

Sementara itu menolak demokratisasi pada masa ini adalah bisa dikatakan merindukan otoritarianisme atau fasisme, yang dengan sikap sepihak  merebut kekuasaan dengan cara tidak demokratis  melalui perang dan sejenisnya, perebutan kekuatan dengan tidak demokratis akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan, dan memberi ruang bagi militer kembali berkuasa atas nama kestabilan  karena yang mempunyai alat perang adalah militer, demokrasi yang rusak bisa memungkinan hal itu terjadi.  Dalam negara yang demokratis militer adalah penjamin perlindungan hak-hak semua orang dapat terlayani dan melindungi gangguan dari pihak luar.

Gagasan memperkuat demokrasi di Indonesia bukan pula barang yang sederhana, karena walau sejak reformasi melaksanakan 4 (empat) kali pemilu yang bisa dikatakan sangat demokratis dari sisi proses, tetapi secara substansial masih ada beban yang mestinya dituntaskan. Indonesia  memiliki beberapa beban demokrasi yang harus di tuntaskan, yakni demokrasi memperbolehkan semua paham untuk terlibat dalam perebutan wacana public, baik golongan agama, nasionalis bahkan komunis, tentunya dengan cara-cara demokratis yang disepakati melalui pemilu, menjadi problem bahwa isme-isme yang ada mempunyai resep sendiri diluar proses demokratis dalam perebutan kekuasaan.  

Kita di Indonesia mengalami kegamangan dalam hubungan agama dan negara, tetapi ketika gagasan islam dibawa dalam proses demokrasi tidak juga secara suara mampu memperoleh kursi yang layak , bahkan cenderung stagnan tetapi apabila dilakukan dengan cara diluar proses demokrasi maka yang terjadi adalah chaos, dan militer menjadi obatnya. Indonesia juga punya masalah jika diperhadapkan dengan gagasan komunis, yang sudah dilarang ketika orde baru muncul hingga sekarang, pelarangan paham itu dalam konsep demokrasi adalah pelanggaran hak asasi manusia, boleh memperjuangkan paham apapun tapi dengan cara demokratis.  

Jadi memang secara substansial demokrasi di Indonesia memang mengandung masalah-masalah.  Jika gagasan demokratisasi didorong lebih maju, maka resikonya adalah pertentangan-pertentangan keras, karena hubungan antara Agama (Islam), Nasionalisme dan Komunisme tidak pernah diselesaikan secara demokratis dan menjadi beban sejarah.  Maka demokratisasi di Indonesia masih menempuh jalan yang panjang untuk mencapai yang ideal, pilihan ini juga disepakati sebagai agenda bangsa.

Mengenai Pancasila yang dapat dikatakan konsep sinkretik dalam demokrasi sebenarnya bisa dijadikan panduan dalam mendorong demokratisasi, tetapi dari jaman kemerdekaan dimana semua isme-isme bisa hadir, islam, nasionalis, sosialis-komunis semuanya bisa, sampai kemudian komunisme dilarang tetapi dasar negara kita tetap dikatakan pancasila. Sehingga pancasila yang maknanya luas ini harus secara substansial dibedah lagi, karena pancasila juga terbuka bagi isme apapun, sehingga pelarangan kebebasan atas nama pancasila ini menjadi paradok politik.  

Kelompok agama pasti akan menuai kekhawatiran juga karena jika demokratisasi diberikan secara penuh maka yang muncul adalah agama akan tergradasi menjadi semakin sekuler, dan ini tidak sesuai kehendak ajarannya, jangan umat islam, yang komunis pun khawatir jika masuk dalam demokratisasi dalam konteks keumuman maka akan akan mendistorsi konsep komunisme dan kemudian berkembang menjadi liberal, dan memang demokratisasi adalah turunan gagasan politik dalam pandangan liberalisme, setidaknya demikian yang dikehendaki oleh pemikir-pemikir liberal.

Berdamai dalam sejarah negeri yang serba sungkan ini nampaknya membutuhkan kesabaran tersendiri, karena jangan sampai kita melompat dalam isu-isu sensitive yang dapat merusak hubugan (golongan atau individu). Padahal dalam demokrasi kesungkanan-kesungkanan public ini dapat terklarifikasi, yang bukan berarti demokrasi tidak mengandung kelemahan, karena apabila secara ekonomi tidak berdampak lebih baik dan menimbulkan kesenjangan sosial dan politik, demokrasi juga akan mengalami redifinisi dan proses terus menerus.

Lalu bagaimana kita bisa tetap bertahan, sepanjang setiap rezim yang bergonta-ganti ini mestinya mulai membuka ruang untuk berkomunikasi secara intens dan perlahan-lahan dengan berbagai elemen bangsa, terutama yang terus menerus menggugat misalnya kelompok islam tertentu,  jika di dilakukan dengan  desain yang panjang dan dievaluasi kemungkinan akan terklarifikasi dan bisa menerima situasi, Turki yang merupakan ibukota  khilafah saja bisa menerima sekularisme walau  catatan bisa demikian akibat peperangan, mungkin kita memulai slot dialog demokratis dengan kelompok islam di perluas. 

Jika memungkinkan dalam waktu yang sama jika masih memungkinkan wacana mengenai  gagasan sosialisme dan komunisme juga dibongkar dalam ruangan yang damai dan demokratis tentunya, dan kelompok nasionalisme adalah penyedia ruang dan waktu untuk berdialog secara manusiawi. Jika kesemua dilakukan secara perlahan-lahnan mungkin bisa saja terjadi titik temu yang alami, bukan karena paksaan atau menang-menangan, karena jangan sampai dikotomi antara agama, nasionalisme dan isme lain dalam bentuk kawan --lawan, karena pasti tidak ada  proses dialog yang berkembang.

Konsepsi Pancasila harus secara perlahan-lahan dibongkar lebih dalam untuk mengetahui dan memahami makna, karena  konsep ini bukan barang sakral dan kaku, bila tidak dipahami secara mendalam maka akan jadi simbol belaka dan bisa ditafsirkan dalam bentuk apapun oleh rezim yang berkuasa (pengalaman pancasila pada masa orde baru).  

Kenapa ini mesti dilakukan, karena penduduk Indonesia sebagai warga negara dengan berbagai latar belakang sering tidak sama memahami konsep negaranya dan ini disebabkan inkonsistensi elit pemimpin negara dalam memadang warga negaranya, dan tidak heran tafsir silang ini menjadi sumber ketegangan-ketengangan dalam politik Indonesia.  Idealnya semua warga negara di Indonesia clear dan mempunyai kemampuan menjelaskan seperti apa negara yang menaungi mereka dan kemana arah tujuannya, sehingga dapat didukung oleh semua elemen warga negara.

Kesulitan kita saat ini adalah bahwa dari jutaan warga negara yang tersebar, masih ada yang memiliki agenda tersendiri terkait negara Indonesia, jika gagasan memisahkan diri dari NKRI akan begitu berat tantanganya, hal yang paling mungkin adalah melakukan kerja untuk agenda kelompoknya (ideologi maupun ajaran) dengan melakukan evaluasi terus menerus mengenai dasar negara dan UUD 45, sementara itu negara-negara lain sudah move on menjadi pemenang dalam persaingan politik dan ekonomi dunia, kita masih berkutat pada masalah-masalah dalam negeri. 

Bila menilik sejarah negara-negara maju, mereka juga mengalami konflik yang sama, Amerika terjebak dalam perang saudara, kemudian bisa membuat konsesus bersama dengan saling mengampuni kemudian bergerak lebih maju, Jerman pasca nazi dihancurkan dan kemudian bangkit, Jepang kalah perang kemudian kembali kenasionalismenya. 

Kemajuan karena terjebak konflik atau perang, atau memang solidaritas nasionalisme nya begitu kuat sehingga mereka cenderung memaafkan masa lalu, kembali start dari awal dengan solidaritas nasional, usai perang dunia II muncul negara-negara baru dengan semangat nasionalisme, pada jaman modern ini kita lihat Afrika Selatan, dan yang terakhir yang muncul akibat konflik adalah Yugoslavia yang terpecah menjadi beberapa negara, tetapi negara yang barunya  justru malah lebih baik. 

Indonesia walau membawa semangat nasionalismenya tetapi tidak semuanya selesai, karena mungkin dulu merdeka dulu baru disusun kemudian, ini yang menjadi beban sejarah, kalangan islam menganggap belum selesai, kalangan sosialis-komunis merasakan hal yang sama, masih beruntung nasionalisme Indonesia dijaga militer dengan jargon "NKRI harga mati" yang menjadi mitra utama kaum nasionalis menjaga kebangsaaa Indonesia, tetapi jika nasionalisme seperti tidak mendatangkan kesejahteraan dan keadilan (rasa adil bagi kelompok), lambat laun akan bergejolak juga.

Tetapi ditengah keresahan belakangan ini akibat isu-isu identitas (agama terutama), pancasila menjadi konsep yang paling sering dibicarakan untuk dibahas, karena memang pancasila sejak di deklarasi menjadi dasar negara belum sempat dibahas secara intens. Pada  masa pemerintahan Presiden Soekarno sebagai pencetus konsep pancasila,  justru ide ini masih dibolak --balik menjadi tri sila dan eka sila, belum lagi gangguan belanda yang mencoba membelah negara menjadi negara federasi, yang kemudian di ambil alih Soekarno dengan melakukan dekrit presiden kembali ke negara kesatuan, dan dimulailah demokrasi terpimpin ala Soekarno sampai kejatuhannya, demikian juga pada masa orde baru. 

Melihat Pancasila dalam public sekarang tidak bisa dilakukan dengan dikte penguasa ke rakyatnya, tetapi mesti mengembalikan pancasila dikancah oleh semua golongan untuk didalami, dikritisi dan disempurnakan sehingga mencapai level diterima semua pihak. Baru disitulah kita setidaknya sedikit move on dari masa lalu dan siap menjadi melanjutkan agenda nasional, sambil melakukan klarifikasi sejarah kepada semua elemen bangsa, dan kemudian mendorong kebangkitan nasionalisme ke II (dua) bangsa Indonesia, jika tidak maka bisa jadi ketegangan ini akan terus menerus.

Mendorong kebangkitan kembali nasionalisme, mensyaratkan kesejarahan bangsa yang sudah selesai dipahami bersama oleh semua elemen pendukungnya karena nasionalisme adalah sebuah tanda solidaritas rakyatnya.  Secara teoritik nasionalisme terbagi dalam banyak jenis, nasionalisme etnisitas dan agama ini yang paling popupler sering disebut negara suku bangsa atau negara dengan standar agama.  Tetapi nasionalisme dalam era global, yang nasionalismenya terbentuk  dalam sebuah konsep kesamaan nasib terutama dinegara-negara yang pernah mengalami masa kolonialisme. 

Nasionalisme yang yang dilandasi oleh kesamaan nasib menghendaki adanya persatuan, solidaritas, kesetaraan dan penghormatan satu sama lain, sehingga tidak ada dalam membentuk negara nasionalis satu kelompok merasa tidak adil, tidak setara dll, yang akhirnya menimbulkan persoalan dalam persatuan itu sendiri.

 Indonesia  secara ideologis digagas sejak dalam konsep  nasionalisme kewargaan dengan semangat adanya kesamaan nasib, dan membentuk negara untuk menjadi pelindung dan pengelola berbagai macam jenis agama, budaya, suku bangsa.  Nasionalisme model ini dikenal sebagai nasionalisme yang dikonsepkan, sehingga membangun kesadarannya butuh proses yang panjang sehingga bisa diterima oleh semua pihak.

Indonesia yang mengklaim diri sebagai negara nasionalis, lebih tepat dikategorikansebagai  nasionalisme yang dirumuskan menjadi nilai-nilai persatuan, solidaritas dan kesamaaan nasib, tujuan kehidupan yang semuanya dioperasionalkan dalam proses yang demokratis, sehingga demokratisasi menjadi kunci nasionalisme Indonesia. 

Demokratisasi yang masih memberi catatan ada  kelompok jangan ikut atau yang boleh ikut dalam daftar demokrasi baik dalam bentuk  ideology dan golongan, maka kebangkitan nasionalisme dengan demokrasi sebagai alat,  belum mencapai konsep apa yang digagas sejak awal proklamasi. Pun didorong menjadi nasionalisme dengan basic agama, suku bangsa, maupun sejarah romatisme jaman feodal (kerajaan), 

Indonesia sudah demikian plural karena proses akulturasi dan asimilasi bersilang antara budaya, suku bangsa dan agama, sehingga identifikasi diri menjadi sulit. Nasionalisme yang pada akhirnya menaruh sumpah setia kepada negara yang dibentuk, mensyarakatkan proses pembaharuan secara terus menerus keterlibatan semua pihak dalam setiap dinamika negara secara demokratis.

Nasionalisme Indonesia sejak awal memang kaya di sumber dan konsep hingga proklamasi di ucapkan, tetapi ketika sudah merdeka mestinya agenda melakukan internalisasi konsep nasionalisme kepada seluruh elemen bangsa tidak berjalan dengan baik, karena sejak pemilu 1955 polarisasi kehidupan sosial politik masih tercermin hingga sekarang.

Nasional membutuhkan negara yang kuat di dalam dan diluar, dan kekuatan militer juga menjadi penjaga garda nasionalisme. Problem tambahannya adalah teknologi informasi dan arus ide-ide transnasional baik dalam perspektif agama, liberalisme juga menjadi hambatan untuk menyelesaiakan nasionalisme Indonesia.

Menjadi sebuah tantangan untuk menjawab kembali kebutuhan bangsa Indonesia ke depan, bukan kebutuhan kelompok semata, dan setiap kelompok bersedia mengembangkan wacana plus-minus gagasan kelompoknya (agama dll) dan menjadikan pijakan untuk restorasi gagasan nasionalisme baru. Karena bangsa atau negara yang maju dan berpengaruhi di dunia adalah bangsa yang mampu menyelesaikan dirinya sendiri bersama rakyatnya, apapun ideologinya.

Diskursus nasionalisme harus dikembangkan dalam setiap ranah, terutama ranah pendidikan sehingga pencapaian kegemilangan bukan sekadar jargon politik pemimpin, kejayaan sebuah bangsa harus dimiliki semua pihak, tanpa meninggalkan jejak kekecewaan didalamnya. Saatnya kita tuntaskan Indonesia. Wasallam.

[1] Penulis, advokat pemerhati sosial politik. Lampung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun