Culture Jamming menjadi salah satu representasi dari hadirnya budaya postmodern, sebagai salah satu praktik yang menumbangkan pesan dalam media massa. Culture Jamming biasanya berisi sebuah sindiran, kritikan, ejekan terhadap suatu iklan yang berkaitan dengan suatu isu tertentu. Dalam menyampaikan culture jamming dapat melalui iklan baru, parodi, bahkan ada yang langsung merusak atau mengubah visual dari pesan tersebut. Pihak yang melakukan culture jamming ini bisa disebut sebagai culture jammer, dan dapat dilakukan oleh individu ataupun kelompok. Salah satu culture jamming yang akan dibahas adalah mengenai Animal Testing. Animal Testing merupakan salah satu bentuk percobaan make up ataupun obat kepada hewan. Kegiatan ini pernah mendapatkan kecaman dari beberapa pihak khususnya para pemerhati hewan yang mengharapkan agar kegiatan ini dapat dihentikan, karena membuat hewan menderita atas nama kecantikan.
Bahkan sebuah kelompok dunia yang bernama Cruelty Free International mengatakan ada beberapa alasan mengapa animal testing ini harus dihentikan diantaranya million of animals are suffering and dying, hampir setengah juta hewan di dunia menderita dan mati akibat tindakan ini. There is a global trend toward cruently free cosmetics, saat ini sudah muncul berbagai kosmetik baru dengan label cruelty free artinya aman untuk binatang. Alternatives to animal testing are much cheaper, artinya uji coba kosmetik yang dilakukan dengan komputer memerlukan biaya yang lebih sedikit atau lebih murah dibandingkan uji coba dengan hewan. Shoppers prefer to buy cosmetics that have not been tasted on animals, sekitar 79% masyarakat mengatakan bahwa mereka lebih memilih beralih ke produk yang tidak menggunakan hewan sebagai alat uji coba (Patric, 2017). Kritik terhadap animal tasting sering disampaikan melalui gambar binatang yang menggunakan make up, serta binatang yang memohon dihentikannya animal testing ini. Gambar atau poster yang ada menunjukan adanya kritik bagi perusahaan kosmetik yang masih menggunakan hewan sebagai alat uji coba mereka.
Lantas bagaimana culture jamming mengenai animal testing dari sudut pandang postmodernisme? Postmodernisme memiliki salah satu ciri khas yaitu bersifat relativisme, artinya segala sesuatu itu relatif dan tidak boleh absolut karena harus mempertimbangkan situasi dan kondisi yang ada ketika melihat suatu peristiwa harus dari segala sisi tidak hanya terfokus pada sisi tertentu (Setiawan, 2018, h. 34).
Mengenai animal testing ini terdapat pihak pro dan kontra. Bagi pihak yang yang pro beranggapan bahwa animal testing adalah cara terbaik untuk memastikan barang tersebut aman digunakan oleh manusia, selain itu dengan animal testing ini bisa menjadi terobosan dalam dunia medis, serta alasan lain adalah DNA dari sejumlah hewan hampir mirip dengan DNA Manusia (Kaskus.co.id, 2017). Selain itu tindakan ini sering menjadi trial dan error untuk menghindari resiko manusia terkenca racun atau zat kimia yang berbeda, selain itu beberapa negara didunia pun masih memperbolehkan metode animal testing ini dilakukan pada industri kosmetik (Azlazila, 2017).
Tetapi dibalik pandangan pro tersebut juga banyak pandangan kontra terhadap kegiatan ini. Beberapa alasannya adalah kematian hewan yang terus meningkat akibat adanya animal testing ini, serta pihak kontra berpendapat bahwa dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat seharusnya dapat menemukan cara alternatif untuk menggantikan animal testing. Dengan adanya dua pendapat antara pro dan kontra ini menjelaskan bahwa pandangan mengenai sebuah peristiwa ditentukan oleh individu itu sendiri. Jika individu yang memandang dari sudut kemanusiaan, beranggapan bahwa animal testing ini tindakan tidak baik dan tidak benar, sedangkan jika dilihat dari sudut pandang ilmiah, mungkin tindakan ini dinilai benar karena dapat menemukan masalah mengenai kosmetik atau obat-obatan terlebih dahulu sebelum diberikan kepada manusia.
Dengan adanya dua pemahaman ini menjadikan praktik postmodernitas terlihat jelas, adanya pemahaman yang bebas dan tidak absolut. Sebuah peristiwa juga mampu didekonstruksikan kembali untuk dipertanyakan dan dianalisa lebih lanjut. Hal ini membuktiakn bahwa pemahaman menganai baik atau buruknya animal testing tidak dapat ditentukan, apakah kegiatan ini memang baik atau tidak. Karena hal ini ditentukan oleh individu itu sendiri dengan melihat latar belakang budaya yang mereka bawa juga.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H