Lagi, satu persatu dari mereka maju dan beradu. Tapi naas, karena kebenaran akan selalu menang. Pada akhirnya kita akan selalu menang, Maya. Bersama dengan banyak temannya, satu persatu aku kejar dengan tungkai panjangku. Menghantam dan menikam tiap kepala dengan apapun yang kudapat di sekitarku. Ah, gejolak dalam hatiku ini tidak bisa dipadamkan. Seperti narkoba, aku ingin dan ingin, lagi dan lagi.
"M-MAAF. Maaf, t-tolong, TOLONG JANGAN BUNUH GUE!" tangisnya.
Bisakah kau percaya? Bahkan aku pun tertawa mendengar rintihnya. Satu-satunya cara bagimu untuk lepas dari dosa-dosamu hanya satu, kawan. Tidak ada toleransi pasca penghinaan Sang Dewi yang agung dan mulia. Darahmu harus tercurah demi fasikmu itu dan aku, akan membantu supaya tidak berat bagimu untuk habiskan nyawamu sendiri. Karena akulah Sang Pembela.
"GUE GAMAU MATI! P-PERGI, ORANG GILA, PERG---"
"Karena kamu telah berdosa,"
Slash!
Satu ayunan terakhir pada hina yang kesekian. Jadilah suci, pendosa yang hilang.
---
Sirine polisi itu begitu nyaring menyapa telingaku. Ah, kupikir inilah akhir dari takdirku. Tidak pantas juga bagiku bertemu denganmu dengan keadaanku seperti ini. Bajuku bersimbah darah, bau amis akan carian pekat itu. Aku tidak mau mengotori putihmu dengan merah pendosa yang sudah kusucikan.
Maya, aku tidak bisa tinggal lebih lama. Tapi esok dan esoknya lagi, aku akan kembali. Memandangmu lagi di kala tidur, hingga lelap. Sampai nanti, akan aku ingat hitam legam rambutmu yang bebas jatuh di pundakmu. Manikmu yang elok, memancarkan bintang pada setiap binarnya. Aku berjanji akan kembali--- pasti. Mayara Adinda, tolong jaga dirimu sampai aku kembali dalam keadaan yang lebih baik. Sampai nanti, mi amore.
Dengan cinta,
Auriga Aditya.
---
"Mayyyy,"