Permasalahan Rohingya, merupakan permasalahan yang memiliki sejarah yang panjang. Warga Rohingya telah menderita selama puluhan tahun akibat penindasan, namun semakin memanas pada akhir-akhir ini.  Etnis Muslim di Rohingya terjebak di tengah konflik Junta Militer dan kelompok pemberontak Budha local arakan Army (AA).  Akibatnya, banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi. PBB dan organisasi HAM internasional mengatakan bahwa, kekerasan terhadap Rohingya di Myanmar merupakan  "Pembersihan Etnis" yaitu etnis muslim di rohingya atau "genosida". Mereka menambahkan kelompok muslim tersebut merupakan "minoritas paling teraniaya di dunia".
Banyak pelanggaran HAM dan operasi militer yang telah dilakukan. Pada tahun 1978, sekitar 300.000 Muslim Rohingya dideportasi ke Bangladeh melalui Operasi Raja Naga (Nagamin) dan pada tahun 1982, Undang-undang kewarganegaraan disahkan dan status kewarganegaraan Muslim Rohingya dicanut dalam waktu semalam saja. Hak-hak dasar mereka dicabut, hak-hak itu meliputi kesehatan, pendidikan, hak untuk memilih dan dipilih, mereka dibiarkan rentan dalam pelecehan bahkan penyiksaan. 75% populasi Arakan mengungsi akibat dua operasi genosida yang terjadi sekitar tahun 2016 dan 2017.
Respons yang dilakukan oleh etnis Muslim Rohingya adalah mereka bermigrasi. Adapun isu yang paling berkembang mengenai warga Muslim Rohingya ini salah satunya adalah pengungsi yang terdapat di perbatasan Bangladesh. Hal ini yang membuat mereka dikatakan stateless. Mereka tidak diakui oleh pemerintah Burma-Myanmar (terutama semenjak Perjanjian Panglong pada tahun 1974) sebagai kelompok minoritas atau 'ras' yang diakui oleh negara. Mereka tidak memiliki hak sebagai warga negara dan bahkan mereka tidak bisa keluar dari kampungnya dengan legal.
Dikarenakan tidak adanya pengakuan yang legal terkait warga negara maka warga Muslim Rohingya mulai melakukan migrasi demi mendapatkan hak politik di negara lain. Sekitar puluhan ribu warga Muslim Rohingya bermigrasi ke Malaysia melalui jalur laut, yang sejatinya adalah negara berpenduduk Muslim, tetapi status mereka tetap ambigu. Begitupun dengan Thailand yang juga akhirnya mengembalikan mereka ke laut---yang berujung menjadi manusia perahu atau boat people. Adapun pada tahun 1978, polisi Burma-Myanmar dan tentara melakukan tindakan yang membuat lebih dari 200.000 warga Muslim Rohingya bermigrasi ke Bangladesh atau disebut dengan Operasi Naga Min (ONM).
Pada November 2022, pihak militer menyita desa-desa arakan yang kosong dan diambil alih menjadi milik pasukan perbatasan. Etnis Rohingya, sekarang dicabut kewarganegaraannya, tempat tinggal mereka, dan bahkan hak asasi manusianya. Ada kebijakan yang konsisten diterapkan di Myanmar sejak tahun 1962 adalah menolak memberikan kewarganegaraan kepada muslim Rohingya di Myanmar.
Selama pemberontakan Arakan Army dengan Junta Militer, desa-desa di Arakan telah menjadi medan peperangan. Sebagian besar desa Muslim Rohingya telah di kosongkan saat operasi genosida 2016-2017. Muslim Rohingya terpaksa melarikan diri dari desa dan rumah mereka untuk menyelamatkan diri dan orang yang mereka sayangi dalam peperangan tersebut. Namun Pemerintah (Sipil) menghukum Muslim Rohingya yang melarikat diri dari desanya, setelah kudeta militer, hukuman penjara yang awalnya 6 bulan ditingkatkan menjadi dua tahun dan diubah menjadi lima tahun.
PBB telah gagal dalam mengatasi permasalahan masyarakat Arakan. Keadilan belum tercapai untuk komunitas ini. Menyebut mereka sebagai kelompok yang 'paling teraniaya' tidak akan menyelesaikan konflik. Sampai saat ini warga Muslim Rohingya masih menunggu keadilan dan perlindungan atas hak-hak mereka lima tahun setelah militer Myanmar memulai kampanye pembantaian, pemerkosaan, dan pembakaran di wilayah utara Negara Bagian Rakhine pada 25 Agustus 2017. Lebih dari 730.000 orang Rohingya melarikan diri ke kamp-kamp berbahaya dan rawan banjir di Bangladesh, sementara sekitar 600.000 orang masih berada di bawah pemerintahan yang kejam di Myanmar.
Pada Senin 1 Februari 2021, militer Myanmar menggulingkan kekuasaan dala  sebuah kudeta terhadao pemerintahan Suu Kyi yang dipilih secara demokratis, yang ditangkap bersama pemimpin politik lainnya. Tentara di negara mayoritas Buddha itu juga mendeklarasikan keadaan darurat nasional sekama setahun. Pengungsi Rohingya di Bangladesh mengecam kudeta di Myanmar tapi mereka mengatakan mereka tak menyesali pemimpin de facto Aung San Suu Kyi digulingkan dari kekuasaannya. Di Kamp pengungsi Kutupalong di distrik Cox's Bazar Bangladesh, pemimpin komunitas Rohingya, Muhammad Yunus Arman mengatakan militer Myanmar telah membunuh keluarga mereka di negara bagian Rakhine saat Suu Kyi berkuasa.
Sayed Ullah, pemimpin komunitas Rohingya di kamp Thaingkhali, mengatakan pada Al Jazeera, mereka tak khawatir dengan kudeta militer di tanah air mereka.
"Kami telah lama hidup di bawah rezim militer, Pemerintah sipil Aung Sun Suu Kyi tak melakukan apapun untuk kami. Mereka tidak memprotes genosida di masyarakat kami," ujarnya.
Myanmar berkomitmen untuk merepatriasi warga Rohingya sesuai perjanjian bilateral yang diharapkan Bangladeh prosesnya dimulai pada tahun 2021. Kudeta di Myanmar memunculkan pertanyaan terkait kelanjutan repatriasi Rohingya.
"Selama empat tahun terakhir, kami telah membahas pemulangan kami dengan aman ke tanah air kami Myanmar, tapi tak ada perkembangannya," kata Arman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H