Mohon tunggu...
Grace Ebilia
Grace Ebilia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Akuntansi Universitas Pembangunan Jaya

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Bukan Kata-Kata Biasa

19 Desember 2023   19:01 Diperbarui: 19 Desember 2023   19:46 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:iStockphoto. Contoh kekerasan verbal: Orang tua memarahi anaknya.

"Ketika orang tua berteriak pada anak, maka anak tersebut akan mengalami kerusakan pada otak." -Teicher 2014

     

     Siapa yang masih berpikir bahwa kekerasan selalu berbentuk memukul? Tidak. Kalimat yang keluar dari mulut kita bisa menjadi bibit kekerasan yang berakibat fatal. Misalnya mengejek, memfitnah, dan mengancam. Ucapan yang menyakiti hati atau perasaan seseorang dan membuat mereka tidak nyaman, bisa dikatakan sebagai bentuk kekerasan verbal. Akibat dari kekerasan verbal bisa memberi efek jangka pendek dan jangka panjang pada korban yang mengalami nya. Selain itu, akan muncul mental illness pada korban. Mental illness tidak bisa dianggap remeh karena hal ini menyangkut tentang gangguan jiwa dan mempengaruhi pemikiran, perasaan, perilaku, dan karakter dari seorang korban.

     Orang-orang terdekat saya pernah merasakan itu. Entah itu diejek, dicaci maki, difitnah, dibentak ataupun dipermalukan di depan umum. Saya pun pernah merasakan itu. Saat itu saya yang masih duduk di bangku kelas 2 SD sedang berjalan-jalan di suatu perumahan. Disana, ramai orang berkumpul sambil tertawa-tawa, mungkin mereka kumpulan mahasiswa? Kalimat yang dilontarkan oleh salah satu orang masih membekas di pikiran. Mereka mengejek rambut keriting ku lalu menertawakan nya bersama yang lain. Mungkin bagi mereka itu hanyalah candaan semata, tapi bagi ku itu adalah hal yang paling menyakitkan sepanjang hidup.

     Berdasarkan hasil penelitian Cooper Julia Marie, kekerasan verbal memiliki efek yang dahsyat dibandingkan dengan kekerasan non verbal. Dalam penelitiannya diungkapkan bahwa bentuk  kekerasan fisik yang diterima oleh anak mayoritas adalah dicubit (35%) dan dipukul (19%) dijewer (10%) sedangkan dijambak, didorong dan ditampar rata-rata (5%). Banyak orang tua masih salah dalam pemilihan kata-kata yang baik supaya tidak menyakiti anaknya. Bagi sebagian orang, mungkin hal ini hanyalah masalah kecil tanpa menimbulkan masalah yang sebenarnya akan berdampak besar pada pertumbuhan seorang anak. Padahal aslinya kekerasan verbal dapat menyebabkan gangguan mood, bahkan sampai depresi berat. Misalnya, saat anak menumpahkan minuman, pasti sebagian besar para orang tua akan mengucapkan "Aduh, kamu ini gimana sih?!" "Tuhkan jadi kotor semua", "Bawa minum aja gak bisa". Jarang sekali orang tua yang memaklumi kesalahan atau ketidaksengajaan yang dilakukan seorang anak. Persepsi seperti itu masih harus diluruskan lagi karna berkaitan dengan efek yang diterima oleh sang anak nantinya di masa depan.

Sumber:iStockphoto.
Sumber:iStockphoto.

     Mengapa harus dengan kalimat yang menyakitkan? Apakah para orang tua tidak memikirkan dampak dari itu semua? Di zaman ini seharusnya pola asuh anak diperbaiki lagi karena dampak dari kekerasan verbal pada anak sangat berbahaya. Pada otak anak yang sering menerima bentakan dan teriakan, saluran yang menghubungkan otak kanan dan otak kiri akan menjadi lebih kecil. Oleh sebab itu, sebagai orang tua seharusnya bisa meminimalisir potensi kerusakan otak pada anak dengan cara memberikan pujian, memberi apresiasi, dan memberi dukungan kepada anak dengan penuh kasih sayang.

     Untuk orang tua yang pernah melakukan kekerasan verbal pada anaknya, stop! Sesuai pada kutipan di awal, kekerasan verbal dapat membuat otak anak menjadi rusak. Mulai lah mengganti pola asuh yang baru. Pola asuh ini merupakan cara membina dan mendidik orang tua kepada anak mereka. Semakin baik pola asuh orang tua, maka semakin baik pembentukan karakter, mental, harga diri, dan kepercayaan diri seorang anak. Mari ubah mental illness menjadi mental health!

     Cara pertama yang bisa dilakukan para orang tua adalah menahan diri dari amarah atau emosi. Jangan sampai kata-kata yang dapat menyakiti anak keluar dari mulut orang tua, walaupun dengan alasan untuk menegur. Washington State Department of Children, Youth & Families menganjurkan agar orang tua tidak memperingatkan anak dalam kondisi marah.

Sumber:iStockphoto. Emosi mempengaruhi rukunnya keluarga.
Sumber:iStockphoto. Emosi mempengaruhi rukunnya keluarga.

     Untuk melakukan cara pertama, tenangkan diri terlebih dahulu. Beri jeda sebelum menyampaikan sesuatu mengenai perilaku anak yang masih belum tepat. Saat anak melakukan kesalahan dalam membuat sesuatu, stop berkata "Gitu aja gak bisa, gimana sih?" tetapi ubah menjadi "Tidak apa-apa, belajar lagi yaa". Hindari kata-kata yang akan melukai hati sang anak, karena itu bisa menjadikan trauma sepanjang hidupnya. Sebaiknya gunakan kata-kata yang lebih mendukung dan lebih positif. Selain pemilihan kata, gunakan nada selembut mungkin agar anak tetap merasa nyaman.  Hal ini diperuntukkan agar anak mau mencoba lagi sampai berhasil dan tidak merasa disudutkan seakan-akan tidak bisa melakukannya.

     Cara kedua adalah validasi perasaan sang anak. Dibanding berkata "Kenapa nangis terus, sih? Cengeng" alangkah baiknya lakukan "Sudah dulu yaa nangisnya, nanti kita cari jalan keluar nya sama papa dan mama". Tugas orang tua adalah memvalidasi emosi dan perasaan sang anak. Memvalidasi emosi bukan berarti membenarkan bahwa ia benar, tetapi mengakui bahwa anak sedang merasakan emosi tersebut. Biarkan mereka untuk berekspresi, dan jangan sampai ada kekerasan fisik apalagi non fisik di dalam proses itu. Anak yang diajarkan untuk melatih emosi, maka mereka akan lebih mudah menenangkan diri dan bisa terhindar dari kekerasan verbal. (Howes dalam Santrock, 2012)

     "Children see, children do" Cara ketiga adalah tunjukkan sikap positif. Dalam keluarga, orang tua adalah guru pertama bagi anak-anaknya. Disini dibutuhkan kerja sama antara ayah dan ibu untuk mengajarkan sikap positif dalam perkembangan anak. Anak akan meniru dan mencontoh apa yang mereka lihat dan dengarkan dari orang tuanya. Semakin besar nilai yang diberikan kepada anak sebagai pengamat dan peniru, maka semakin besar nilai-nilai yang diserap. Jika orang tua bisa menyelesaikan masalah tanpa tersulut emosi, dan bijak menanggapinya, maka sang anak bisa meniru dan menerapkan pada kehidupannya. Pembentukan karakter akan terjadi di proses ini. (Rahman et al., 2020). Cara ini adalah salah satu cara yang bisa untuk mengurangi kekerasan verbal di masa mendatang.

Sumber:iStockphoto. 
Sumber:iStockphoto. 

     Mulai sekarang, jangan anggap sepele kekerasan verbal, karena banyak dampak negatif yang didapatkan nantinya. Kalimat yang simple bisa membuat anak merasa kurang percaya diri, tidak mau explore dunia luar, cenderung introvert atau anti sosial, dan bahkan bisa menyebabkan depresi. Ada pepatah mengatakan "Mulutmu harimau mu", artinya perkataan yang keluar dari mulut kita, bisa menjadi senjata tajam dan dapat menyakiti orang lain. Berhati-hati lah dalam berbicara supaya tidak ada lagi mental illness, melainkan mental health. Jika bukan kita, kapan lagi generasi ini akan sehat mental?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun