Orang dengan gangguan jiwa, menurut pasal 44 ayat 1 KUHP dapat diterapkan Alasan Pemaaf atau Alasan Menghapus Kesalahan, yang isinya sebagai berikut,Â
"Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit jiwa".Â
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat kekosongan hukum  untuk kasus kasus semacam ini. Dahulupun pada Kasus Sumanto si Pemakan Mayat, di Pengadilan terjadi perdebatan yang sengit tentang bagaimana pemidanaan untuk kasus seperti ini, demikianpun hal yang sama terjadi pada kasus pemerkosaan mayat.
Dalam kasus kasus diatas, sangat kebetulan sekali para pelaku terbukti mengalami gangguan jiwa sehingga solusinya adalah Rumah Sakit Jiwa. Namun, bagaimana jika di kemudian hari ada kasus mutilasi jenasah, pemerkosaan mayat ataupun memakan mayat yang dilakukan oleh orang yang terbukti sangat waras dan tidak mengalami gangguan jiwa, tetapi memang sadistis? Apa tidak ada perangkat hukum yang mengakomodasinya?Â
Memang ada kebijaksanaan hakim yang tertuang dalam putusan hakim atau yurisprudensi, namun sebaiknya ada payung hukum untuk kasus semacam ini dengan dipercepatnya pengesahan RUU KUHP yang baru,agar tidak terjadi kekosongan hukum.
Mayat/Jenazah memang sudah tidak hidup lagi. Di beberapa daerah ada ritual membakar mayat secara beramai ramai, karena jenazah sudah tidak memiliki akal dan jiwa. Namun jenasahpun bukan barang buangan yang tetap harus dihargai dan diperlakukan beradab.Â
Selain itu tidak menutup kemungkinan akibat tidak ada payung hukumnya akan banyak pemerkosa mayat (necrophilia)yang mengambil keuntungan dari hal ini. Padahal memperlakukan mayat demikian menurut saya sangat mengerikan dan mengindahkan moralitas dan kemanusiaan.
Segera percepat KUHP yang baru. Salam Keadilan.