Saya memiliki pekerjaan sampingan yaitu berjualan buku online. Buku yang saya jual kebanyakan adalah buku-buku teks hukum sesuai dengan spesialisasi pendidikan saya. Beberapa hari lalu seorang pelanggan, ingin memesan buku Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana 1 dan 2 karangan Utrecht. Kebetulan buku ini versi orijinalnya sangat langka dan lumayan mahal, namun saya menjual versi original bekas dari kedua buku ini. Laki laki ini, sebut saja namanya Adi menanyakan ketersediaan dari kedua buku tersebut melalui fitur chat yang tersedia pada Toko Online saya. Sebenarnya saya sudah curiga dengan sosok laki-laki bernama Adi ini karena melihat tanda di akunnya yang bertulisan BANNED dan dia bersikukuh mengajak chat via whatsapp namun saya menolak, karena hal tersebut memang dilarang oleh situs dagang online tersebut.
Singkat cerita bukupun dikirim melalui jasa kurir instan.Dari report atau laporan yang ada di fitur toko online tersebut, tertulis bahwa pengiriman berhasil.Namun Adi bersikukuh dia belum menerima paket buku tersebut, sampai-sampai menghina saya dengan kata-kata makian yang “alamak” tidak enak untuk didengar. Akhirnya karena terdesak, saya menerima solusi untuk mengembalikan uang kepada Adi walaupun lumayan sedih juga karena buku hilang, uangnya pun hilang. Untungnya pihak Customer Service situs dagang online tersebut melakukan investigasi. Mungkin karena juga curiga dan telah melakukan pengecekan dengan kurir yang mengantar paket, akhirnya kejahatan Adi pun terbongkar. Menurut situs dagang online tersebut, kasus-kasus penipuan bermodus seperti ini kerap terjadi, bahkan makin meningkat akhir-akhir ini. Karena mungkin malu atau ketahuan oleh pihak situs dagang online, Adi yang adalah mahasiswa ini menghubungi kurir pengantar untuk mengembalikan paket, dan sedihnya…. bukan meminta maaf, malah memaki-maki si bapak kurir pengantar.
Dari cerita Customer Service situs dagang online diatas, dapat dikatakan bahwa modus kejahatan penipuan pada transaksi online memang sedang marak. Dengan kata lain, jaman sekarang ini, maraknya kemajuan teknologi justru melahirkan suatu “profesi” baru yaitu PENJAHAT bukan PENJAHIT (Hehehe). Online Fraud dijadikan sebagai lahan pekerjaan baru untuk meraup keuntungan. Banyak yang memilih lahan pekerjaan baru ini karena walaupun tidak halal bisa meraup keuntungan dan uang dengan cepat. Sekarang, apa yang salah dengan negara kita jika hal-hal seperti ini terjadi di Indonesia?Pendidikan kah?Atau Budaya Asing kah yang selalu dijadikan kambing hitam, mengingat arogansi dari masyarakat Indonesia sendiri yang jika marak kriminalitas, korupsi, narkoba atau tindakan negatif apapun, selalu mengatakan itu karena pengaruh budaya asing, karena pengaruh Globalisasi atau pretend dan mengatakan, Ah… itu bukan budaya Indonesia.
Menurut hemat saya, akar dari masalah kemerosotan akhlak dan moral serta makin tidak berbudayanya generasi muda dan masyarakat Indonesia berakar dari “Gagalnya bangsa ini menciptakan Pendidikan yang dapat mencetak Insan Berbudaya”. Mengapa saya katakan demikian, karena menurut saya PENDIDIKAN dan KEBUDAYAAN adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Pendidikan adalah Proses pembelajaran pengetahuan, ketrampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan antar generasi melalui proses pengajaran dan pelatihan sedangkan Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu budhayah yang artinya budi atau akal. Menurut Koentjaraningrat, Kebudayaan adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Ahli lain yaitu E.B Taylor mengatakan hal yang kurang lebih sama yaitu, kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan.
Dari pengertian pendidikan dan kebudayaan diatas jelaslah adanya keterikatan yaitu Pendidikan menghasilkan Kebudayaan, dan sebaliknya Kebudayaan bersumber dari Pendidikan. Sebagai ilustrasi saya berikan contoh apa yang saya lakukan terhadap anak saya di rumah. Sejak kecil saya selalu mendidik dia melakukan hal-hal yang menurut saya baik seperti mengucapkan terima kasih, berdoa sebelum beraktifitas, makan sayur, belajar atau pamit jika pergi kemanapun. Hasilnya sangat terlihat setelah dia berusia 18 tahun sekarang ini. Pernah suatu ketika dia kembali setelah beberapa langkah keluar dari rumah karena lupa berdoa, serta saya perhatikan, mengucapkan terima kasih dan memberikan salam kepada orang yang lebih tua sudah menjadi kebiasaannya, sehingga refleks dilakukannya jika berinteraksi dengan orang lain. Inilah yang saya katakan, Pendidikan membentuk suatu Budaya atau Kebudayaan. Didikan sehari-hari yang baik akan menghasilkan budaya atau budi yang baik pula. Pendidikan yang baik akan menghasilkan apa yang disebut INSAN BERBUDAYA.
Insan berbudaya adalah Insan yang memiliki kapabilitas tinggi dalam interaksi dan adaptasi sosial serta menjunjung tinggi nilai-nilai luhur hasil olah hati, olah pikir, olah rasa, olah batin, dan olah rohani yang terkadung dalam budaya bangsa. Insan berbudaya hanya dapat tercipta dari pendidikan yang dimulai pertama kali dari lingkungan keluarga, kemudian lingkungan sekolah dan akhirnya lingkungan masyarakat.
Itulah mengapa tulisan ini saya beri judul, “Memintal Benang Pendidikan – Menjahit Kebudayaan”, karena menurut saya masalah kemerosotan mental, moral, akhlak, dan kriminalitas yang marak pada generasi muda sebenarnya berawal dari belum sempurnanya internalisasi nilai-nilai pendidikan baik dari lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat yang menjadi cikal bakal dari kebudayaan yang luhur dan adiluhung.Bangsa Indonesia akan dianggap sebagai bangsa yang tinggi budaya dan peradabannya jika pendidikannya dapat menciptakan insan-insan yang berbudaya.
Jika kenyataannya, saat ini secara garis besar, generasi Indonesia belum berperilaku layaknya insan berbudaya itu disebabkan karena nilai-nilai pendidikan sebagai ciri dari bangsa dan budaya Indonesia belum meresap baik dalam sanubari generasi muda Indonesia. Secara umum hal ini dikarenakan, pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengajaran akan ilmu pengetahuan dan bukan pendidikan dalam arti keseluruhan. Dengan kata lain kemerosotan mental, moral, akhlak bangsa Indonesia bukan karena kurang adiluhung nya budaya Indonesia melainkan karena masih belum optimalnya sistem pendidikan yang ada di Indonesia.
Revolusi Mental mungkin yang menjadi jawabannya. Titik berat pendidikan di Indonesia terutama pendidikan dasar sebagai cikal bakal perilaku bermasyarakatlah yang seharusnya dikedepankan dalam pendidikan, terutama pada pendidikan usia dini, karena perilaku ketika dewasa merupakan cerminan pendidikan di usia dini.Kesalahannya adalah saat ini anak Indonesia sejak Taman Kanak- Kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) justru dicekoki pendidikan yang berorientasi pada kecerdasan dan kepandaian daripada pendidikan mental. Sejak masuk TK sudah dicekoki calistung (baca tulis hitung), bukan pendidikan tentang etika, sopan santun, mengantri dan lain sebagainya. Selain itu tuntutan guru dan orang tua yang mengharapkan nilai “perfect” atau “sempurna” terhadap anak, berakibat perilaku jalan pintas tumbuh subur. Anak banyak yang mengambil jalan pintas seperti mencontek untuk mendapatkan nilai sempurna atau untuk mendapatkan predikat sebagai anak pintar.
Pernah anak saya bercerita tentang seorang teman SMA nya yang memprotes guru ketika mendapatkan nilai 98 karena dia takut dimarahi ibunya jika tidak mendapat nilai 100. Ketika protesnya tidak berhasil dan guru sedang ke toilet, nilainya pada buku daftar nilai diubah oleh anak tersebut. Sungguh suatu perbuatan yang tidak terpuji yang merupakan akar dari kriminalitas karena menghalalkan segala cara untuk mendapatkan yang diinginkan.
Mindset orang tua jaman sekarang, jika ditanyakan tentang harapan dan keinginannya terhadap anaknya, juga cenderung menginginkan anaknya menjadi “anak pintar”. Jarang sekali yang berharap anaknya menjadi “anak baik” atau “orang benar”. Ekspektasi orangtua dan masyarakat akan “anak pintar” dibanding “anak yang baik” atau “orang benar” inilah yang mengakibatkan nilai-nilai yang tertanam pada generasi muda adalah “yang penting pintar” walaupun pintarnya itu “pintar menyontek”, “pintar menipu” dan pintar-pintar yang berkonotasi negatif lainnya. Hal inilah yang melahirkan Adi-Adi baru seperti kasus online fraud diatas.
Mungkin jarang orangtua dan pendidik di Indonesia yang menyadari dewasa ini justru orang baik, orang benar, berintegritas dan berbudi luhur justru “sangat langka” jika dibandingkan dengan orang pintar.Lantas melihat berbagai hal diatas layakkah kita bangsa Indonesia seperti di banyak media massa selalu menyalahkan pengaruh budaya asing sebagai kambing hitam kemerosotan akhlak bangsa? Sebaiknya masyarakat Indonesia harus memiliki cermin besar agar dapat berkaaca pada dirinya sendiri, bahwa masalah sebenarnya terletak pada belum optimalnya pendidikan generasi muda di Indonesia, baik di tingkat keluarga, di tingkat sekolah maupun masyarakat.Marilah kita bersama-sama memintal benang-benang pendidikan dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia agar kita dapat menjahit kebudayaan Indonesia yang adiluhung dan sempurna di masa mendatang.Semoga…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H