Tahun Ajaran 2024/2025 sudah mulai berjalan di beberapa sekolah dan murid-muridnya juga sudah masuk. Dalam memulai Tahun Ajaran Baru ini, setiap sekolah pada umumnya mempunyai kegiatan MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah) yang dirancang oleh masing-masing sekolah sesuai dengan kesepakatan bersama antar guru.Â
Menjadi guru itu tidaklah mudah, karena setiap hari berhadapan dengan manusia. Manusia itu makhluk yang bergerak, ada yang pasif dan aktif.
Pola pikir, cara bicara, karakter bertumbuh dan berkembang secara pribadi berdasarkan apa yang dilihat, dipelajari bahkan pengalaman hidup sendiri dapat membentuk karakter seseorang, karena itulah menjadi seorang guru itu tidaklah mudah, karena yang dididik adalah anak-anak, remaja dan orang dewasa.Â
Membentuk karakter, cara pandang, penyampaian materi dan cara mendidik setiap gurupun pasti berbeda-beda. Setiap guru mempunyai karakter sendiri dalam mendidik anak muridnya dan yang mengetahui tingkah laku anak di dalam kelas adalah guru yang setiap hari berinteraksi dengan kelas tersebut.
Terkadang sikap anak di rumah dengan di sekolah pun bisa berbeda, bahkan acap kali ada pandangan yang berbeda antara penilaian orangtua terhadap anaknya dengan penilaian guru, karena guru menilai anak berdasarkan percakapan, interaksi setiap hari dengan murid-muridnya.Â
Apakah guru itu sebuah profesi atau panggilan? Pernah mewawancarai seorang guru les, ibu seorang guru kan ya? Bukan jawabnya, saya hanya seorang tutor, kalau guru itu kan ms, mengajar dengan mendidik karakter. Mendidik membentuk karakter dan etika yang baik, kalau saya hanya transfer ilmu jadi saya menyebut diri saya sebagai tutor, bukan guru.
Sebagai tutor saya dibayar karena mentransfer ilmu dan itulah profesi saya, yaitu seorang tutor, jadi saya bukan guru, jawabnya untuk yang kedua kali.
Saya analisa memang benar juga ya, yang disampaikan, tetapi menurut penulis guru itu adalah profesi dan panggilan. Sebagai guru kita dibayar karena pekerjaan yang kita lakukan dan panggilan kita mendidik anak-anak murid kita menjadi cerdas dan beretika.Â
Menjadi guru selain mentransfer ilmu juga mendidik anak memiliki karakter yang berbudi pekerti, memiliki nilai-nilai Pancasila di dalam dirinya, patuh dan hormat terhadap orangtua, guru dan orang yang lebih tua.
Nah bagaimana seorang guru mengejawantahkan ini terhadap siswanya, khususnya jika bertemu dengan orangtua yang berbeda pandangan cara mengajar anaknya dan cara mengajar di sekolah.Â
Media sosial saat ini sangat mengerikan, terkadang informasi yang seharusnya tidak viral pun dapat menjadi viral. Guru menjadi pusat perhatian bagi orangtua, jika guru lupa, salah dalam menyampaikan informasi atau bahkan dalam mengajar anak-anak, informasi ini sudah masuk media sosial atau bahkan jika guru hanya menepuk punggung anak pun dengan lembut pun sudah dianggap kekerasan, tidak boleh memegang anak atau membentak anak.
Jadi guru itu serba salah jika bertemu dengan orangtua siswa yang kurang kerjasama. Diberi peringatan terhadap anak didik yang salah aturan terkadang tidak didengarkan, peringatan pertama, kedua, ketiga, bahkan peringatan berkali-kali khusus mereka yang sudah remaja, jika murid tidak mendengarkan guru yang disalahkan adalah guru.
Dengan entengnya kadang sebagian masyarakat berkata, itukan sudah tupoksi guru. Seperti yang penulis sampaikan di atas, bahwa yang dididik oleh guru adalah manusia, bukan benda mati yang dapat digerakkan oleh penggerak kemanapun.Â
Terkadang guru saat ini serba salah dan dilema, di satu sisi guru akan disalahkan jika memberikan disiplin dengan menepuk pundak anak, padahal tidak sakit dan dianggap melakukan tindakan kekerasan dan berujung masuk media sosia dan menjadi viral.
Kita tahu bahwa masyarakat Indonesia itu sangat gercep memberikan komentar di media sosial, padahal belum tentu juga salah dari guru, dan belum tahu juga latar belakang permasalahannya.
Jika saya melihat balik ke belakang, dulu teman saya kelas 5 SD saat belajar matematika, disuruh menghafal perkalian dan karena tidak bisa menghafal perkalian 6-10, sudah dipukul kakinya pakai penggaris oleh guru, itu di depan kelas bahkan disuruh berdiri menghafal hingga lancar.
Tidak ada orangtua yang komplain, bahkan kadang, kena marah sampai di rumah kalau mengadu, makanya harus belajar agar besok tidak dipukul guru, rajin-rajin belajar, dan dapat wejangan yang banyak.
Ketika teman saya ini sudah dewasa, dia malah berterima kasih kepada guru tersebut dan menjadi kenangan yang indah bagi dia, karena dia jadinya hafal perkalian 6-10, dia juga berkata hal tersebut membentuk mental dia.Â
Namun saat ini didikan pola seperti di atas tidak dapat diberlakukan lagi, selain dianggap kekerasan juga melanggar HAM, mau dibawa kemana ya, mental anak-anak di masa depan.
Bagaimana nanti mereka menghadapi kesulitan-kesulitan dan proses perjalanan hidup mereka. Hidup ini adalah sebuah proses, kita dibentuk dari berbagai permasalahan, jika hanya permasalahan kecil saja mental kita sudah rapuh, bagaimana masa depan bangsa ini.
Mental itu dibentuk sejak dari kecil, namun bukan dibenarkan juga memukul anak di depan kelas untuk zaman ini, karena ada larangan melakukan tindakan kekerasan.Â
Menjadi guru itu memang berat, selain mengajar, mengerjakan administrasi guru, mengevaluasi anak didik bahkan mendidik mental anak.
Semoga guru tidak menjadi lelah dan kiranya seirama dengan orangtua murid dalam mendidik anak baik secara akademisi maupun mental.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H