Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah, peribahasa ini sering diucapkan maka terjadilah seperti itu. Sering terjadi dalam kehidupan ketika orangtuanya sudah menua, anak-anak yang dibesarkan fokus dengan dirinya sendiri atau keluarganya dan orangtua yang sudah membesarkannyapun dilupakan. Apakah ada kaitannya dengan peribahasa di atas, kasih ibu sepanjang jalan kasih anak sepanjang galah. Ada mengatakan bahwa setiap kata-kata adalah doa, apakah para ibu juga berdoa seperti peribahasa di atas? Peribahasa kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah ini, mungkin tidak berlaku untuk keluarga kami, karena kami semua sangat mencintai ibu kami.Â
Sejak kecil, kami sudah didik untuk hormat dan taat kepada orangtua melalui firman Tuhan dan doa-doa yang terus disampaikan oleh alm.mama dan bapak kami. Didikan yang penuh disiplin, beretika, berpendidikan dan beriman telah diinvestasikan kedua orangtua kami yang sederhana. Terlahir dari rahim seorang ibu dengan profesi kepala sekolah SD adalah sebuah kebanggaan buat saya dan juga bapak yang seorang wiraswasta dengan berdagang, beternak, berladang dan bertani. Kami didik untuk menjadi kuat, ke ladang saya pernah, ke sawah juga iya, ambil telur ayam kampung 100 biji perhari iya, menemani alm. ibu ke pasar menjual telur ayam juga iya. Didikan taat kepada orangtua itu sudah diinvestasikan oleh kedua almarhum kedua orangtua kami sejak dini.
Orang berkata orang Batak itu suaranya keras dan kasar, tetapi tidak dengan kami. Kami didik untuk saling menghormati, demokrasi, dan seperti didikan ala keraton, mungkin tepatnya keraton Batak. Dan yang paling banyak mendidik saya etika adalah bapak. Contohnya, jika ada tamu datang ke rumah, bapak kami sudah melihat saya. Yang dilihat sudah tahu harus ngapain dan seringnya bagian saya, karena anak perempuan bontot. Saya akan menyuguhkan teh manis dan snack. Ada aturan di rumah saat penyajian apapun ke tamu. Isi teh di gelas tidak boleh penuh, harus dibawah 1 cm dari bibir gelas, penyajian snack tidak boleh kotor. Saat akan menyajikan harus tunduk, atau duduk bersila menyajikan teh dan snack diatas meja dan mempersilahkan tamu untuk makan dan minum. Harus hormat saat mempersilahkan tamu minum, seperti, "silahkan diminum dan makan ya tulang". Sebutan tulang jika kita tidak mengenal atau tidak tahu "partuturan" (silsilah), mau panggil apa.Â
Dalam adat batak tulang itu adalah tingkatan yang paling tinggi disebut (hula-hula), kalau kami sudah kenal dengan tamunya maka sebutannyapun kami sudah tahu, seperti inanguda (adik mama atau isteri bapa uda dari keluarga bapak ), bapauda (suami inanguda dari keluarga mama atau bapauda adik bapak kita), namboru (saudara perempuan dari keluarga bapak), amangboru (suami namboru). Kami juga diajarkan untuk bertutur kata yang sopan, etika dan adat istiadat. Jadi ketika pada sebuah acara Kompas TV yang menghadirkan Bapak Sultan Hamengkubuwono X dalam acara Gagas RI, seorang penanya bermarga Batak mendiskripsikan pengalamannya bahwa batak itu identik dengan kasar dan suara keras, sedangkan orang Jawa itu lembut, punya tatakarama. Saya sebagai orang Batak mendengarkan penyampaikan bapak tersebut ingin complain sih, tetapikan pengalaman orang berbeda-beda dalam kehidupan. Mungkin pada umumnya  Batak identik dengan suara keras dan kasar, tetapi tidak pada khususnya, karena banyak juga keluarga Batak yang didik dengan lembut bertatkrama. Kebiasaan kitalah yang akan membentuk karakter kita, kalau kita sudah terbiasa dan membiasakan diri berkata kasar, suara keras-keras maka akan menjadi karakter yang permanen dan sulit untuk diubah.
Sedikit sejarah mengapa suara orang Batak itu keras-keras. Secara geografis daerah Tapanuli Utara itu banyak gunung dan hutan dan dulu rumah juga masih jarang dan jarak rumah dari satu rumah ke rumah yang lain bisa dalam hitungan sepuluh meter. Karena itulah untuk berkomunikasi, memanggil tetangga atau pada saat di perbukitan menanam bawang, kita harus bersuara keras agar kedengaran, kalau lembut kan tidak kedengaran.Â
Banyak didikan dan ajaran yang benar dan baik kita terima sejak dari usia dini, hanya bagaimana mempertahankan didikan itu hingga tua dan juga meneruskan didikan itu terhadap keturunan kita. Pendidikan pertama kita dapatkan dari keluarga, dari kedua orangtua kita, kemudian dari sekolah, masyarakat, tempat kerja dan lingkungan dimana kita tinggal itulah disebut pendidkan ekternal.
Didikan yang penuh kasih sayang sudah diberikan oleh kedua orangtua kami. Terbukti didikan kedua orang tua kami berhasil saat alm.mama kami sakit, lima anaknya bergiliran memberikan perhatian dan yang paling banyak, intens itu adalah saya bolak-balik mengurus alm.mama ke RS. Kalau tidak bisa waktu kakak dan abang saya mereka mengirimkan dana. Punya anak lima ada sebuah keberuntungan bagi alm.mama kami, karena saat hidupnya menurut saya dia bahagia karena anak-anaknya selalu ada buatnya, baik saat dia sakit, maupun saat dia sehat. Setiap weekend kami bergiliran membawa alm.mama kami jalan-jalan, yang pasti mama kami perlakukan seperti anak bontot yang dimanja, walaupun sudah pada berkeluarga. Kebahagiaan orangtua kita adalah perhatian dari anak-anaknya, banyak harta tidak menjamin orangtua kita bahagia jika kita tidak memberikan perhatian dan kasih sayang.