Beberapa waktu lalu, sempat viral kasus seorang korban begal yang dijadikan tersangka oleh polisi dikarenakan membunuh pelaku begal. Awalnya, korban begal berinisial AS berencana untuk pergi ke Lombok Timur, namun ditengah perjalanan ia dirampok oleh 2 pelaku begal.
Saat itu, AS mencoba melawan menggunakan senjata tajam miliknya. Tak berselang lama, datang 2 pelaku begal lainnya. AS berhasil menumbangkan keempat pelaku begal, 2 diantaranya tewas dan 2 lainnya diamankan polisi. Namun, sebelum kasus ini mencuat ke publik, AS sempat dijadikan tersangka.
Kasus serupa pernah terjadi di tahun 2018, dimana dua pria berusia 19 tahun bernama Muhammad Irfan Bahri dan Ach Rofiki melawan dua pelaku begal yang berniat untuk merampok harta benda miliknya. Mulanya, kedua korban ditodong menggunakan celurit oleh kedua pelaku begal. Irfan yang tak ingin menyerahkan harta bendanya lantas melawan kedua pelaku.
Akibatnya satu pelaku tewas dan satu lainnya kritis. Sebelum akhirnya dijadikan saksi oleh kepolisian, Irfan sempat ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini sontak menimbulkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat, apakah seorang korban begal yang membunuh pelaku begal dalam upaya pembelaan diri, dapat dipidana? Dan sejauh manakah pembelaan diri dapat dilakukan, tanpa menimbulkan peristiwa pidana lainnya?
Begal berarti penyamun, sedangkan perbuatan yang dimaksud pembegalan adalah proses, cara, atau perbuatan membegal dengan merampas di jalan (KBBI). Untuk membahas kasus ini, diperlukan pemahaman mengenai penggunaan pasal 49 KUHP, yang mengatur tentang pembelaan diri dalam keadaan darurat.
Dalam pasal tersebut, pembelaan diri dikategorikan menjadi 2, yakni pembelaan diri (noodweer) dan pembelaan diri luar biasa (noodweer excess). Pasal 49 KUHP ayat (1) menjelaskan bahwa barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan, kesusilaan, atau harta benda sendiri maupun orang lain yang terjadi karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat dan melawan hukum pada saat itu, tidak dipidana.
Sedangkan pasal 49 KUHP ayat (2) berbunyi pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung, disebabkan oleh guncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana (Willa Wahyuni, 2022). Dalam pasal 44 ayat (1) KUHP terdapat alasan Pemaaf yang dapat membuat seorang pelaku tindak pidana tidak dipidana/dijatuhkan hukuman (P.A.F. Lamintang, 2014). Alasan pemaaf dalam hal ini dapat menghapuskan kesalahan pelaku tindak pidana, sehingga perbuatannya tidak dapat dipidana, namun perbuatannya tetap dianggap melawan hukum.
Beberapa alasan pemaaf yang tercantum di KUHP adalah pasal 44 tentang pelaku tindak pidana yang tidak mampu bertanggung jawab, pasal 49 ayat (2) tentang pembelaan diri luar biasa, dan pasal 51 ayat (2) tentang itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah. Namun, jenis alasan pemaaf yang relevan dalam kasus ini, adalah ketentuan dalam pasal 49 KUHP ayat (2) tentang pembelaan terpaksa yang melampaui batas, dikarenakan terbunuhnya pelaku begal.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar dapat “mengaktifkan” alasan pemaaf yang terkandung dalam pasal 49 ayat (2) KUHP . Yakni, serangan dan ancaman yang melawan hak yang mendadak dan harus bersifat seketika (sedang dan masih berlangsung), yang berarti upaya pembelaan langsung dilakukan ketika datangnya serangan.
Selanjutnya, serangan tersebut bersifat melawan hukum, dan ditujukan kepada tubuh, kehormatan, dan harta benda baik punya sendiri atau orang lain. Pembelaan tersebut harus bertujuan untuk menghentikan serangan. Dalam hal ini Alasan pemaaf bukanlah suatu alasan untuk membenarkan perbuatan pidana, melainkan untuk memaafkan perbuatan pidana tersebut dengan meniadakan unsur kesalahan dalam diri pelaku.
Dalam kasus yang telah dibahas di atas, pembelaan diri dilakukan akibat adanya goncangan jiwa pada korban begal, yang menyebabkan munculnya perasaan gelisah, takut, tidak aman, dan perasaan cemas yang dahsyat, yang dapat mengganggu keadaan jiwa atau batin seseorang (Arya Wardhana, 2015). Korban begal dalam hal ini ditetapkan sebagai tersangka karena telah melakukan pembunuhan.
Namun selanjutnya, akan dilakukan proses persidangan untuk membuktikan apakah perbuatan tersebut dilakukan akibat kegoncangan jiwa, sebagai upaya pembelaan diri, serta memenuhi ketentuan dalam pasal 49 ayat (2) KUHP. Apabila selama persidangan tersangka terbukti membunuh karena melakukan pembelaan diri, serta memenuhi seluruh ketentuan pasal, dapat disimpulkan bahwa korban perampokan yang membunuh begal tersebut tidak dapat dipidana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H