Mohon tunggu...
Grace Indira Pramadewi
Grace Indira Pramadewi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

-

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Memaafkan Dan Melupakan Butuh Jalan Panjang

20 September 2024   17:36 Diperbarui: 1 Oktober 2024   19:32 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Ketut Subiyanto from Pexels

Tulisan ini saya mulai dengan kisah pribadi berkaitan dengan belajar memaafkan perilaku tidak baik orang lain terhadap saya. Perilaku tersebut saya alami kala saya masih jadi murid SMP, yaitu saya mengalami perundungan (bullying) oleh anak-anak yang sangat terkenal di satu angkatan.

Kejadiannya memang sudah lama terjadi, tetapi saya sempat merasa sangat sulit memaafkan dan melupakan perbuatan keji tersebut begitu saja. Orang-orang tersebut belum juga menyampaikan permintaan maaf secara pribadi kepada saya. 

Saya membutuhkan sebuah proses sendiri untuk memutuskan memaafkan apa yang sudah terjadi. 

Itu tadi secuplik kisah saya. 

Saya percaya proses yang saya alami berbeda dengan proses dari pembaca. Berangkat dari cerita ini, saya sejenak berpikir, adakah rentang waktu pasti untuk kita bisa memaafkan kesalahan seseorang dan melupakan kesalahan tersebut begitu saja? 

Atau apakah perjalanan untuk benar-benar tak ingat segala perbuatan jahat seseorang kepada kita memang ada sebuah proses tak bisa kita lewati?

Apakah kita memang harus memaafkan seseorang secepatnya?

Keputusan untuk memaafkan kesalahan seseorang kepada kita bukanlah hal mudah. Ini membutuhkan sebuah keputusan besar dari pertimbangan pribadi kita akan perlakuan tidak baik seseorang bagi kita. 

Kita perlu menyadari bahwa melupakan (tak mengingat-ingat kembali kesalahan seseorang) setelah kita tahu seseorang tersebut meminta maaf kita bukanlah sebuah syarat supaya orang tersebut diampuni dari perbuatan salah mereka, apalagi hasil akhir kita mengampuni orang tersebut. 

Selain itu, tak ada tolak ukur apakah seseorang harus memaafkan kesalahan orang lain kepadanya seketika.

Jadi, apakah memaafkan itu diperlukan untuk kita lakukan?

Seorang penulis bernama Brian Adam dalam bukunya berjudul 'Seni Memaafkan' menulis, "Untuk dapat memaafkan orang yang dibenci, orang yang tersakiti perlu mengakui terlebih dahulu bahwa hal buruk memang sudah terjadi." (hlm 9). 

Memaafkan memang perlu kita lakukan untuk diri kita sendiri. 

Maka dari itu, langkah pertama supaya kita bisa merasakan manfaat baik dari memaafkan adalah kita perlu jujur pada diri sendiri akan rasa sakit di hati kita karena kesalahan tersebut.

Pengakuan ini termasuk sebuah langkah mindfulness, yang berarti kita memusatkan perhatian kita terhadap perasaan datang kepada kita. 

Setelah kita mengakui rasa sakit tersebut, langkah selanjutnya bisa kita pikirkan adalah tidak memaksakan diri untuk memberi maaf kepada orang yang menyakiti. Memberi maaf memang bisa membuat kita merasa bahagia, tetapi jangan sampai bahwa kita harus melakukannya kalau di dalam hati kita masih belum sanggup. 

Ketika kita sudah menyadari bahwa kita sudah benar-benar menerima kesalahan dari orang yang menyakiti kita, memberi maaf kepada orang tersebut mudah kita lakukan. Dari sinilah perlahan kita bisa mendapatkan kebahagiaan kita. 

Setelah memaafkan, apakah kita langsung bisa lupa akan kesalahan tersebut?

Bila berkaca pada pengalaman pribadi, melupakan perilaku buruk orang-orang yang berbuat dzolim kepada saya menjadi langkah lanjutan atas keputusan saya belajar mengampuni mereka. Meski begitu, keputusan ini ada naik-turun nya. Ada kalanya ingin hapus saja ingatan kelam tersebut, ada kalanya juga saya bertanya mengapa saya memutuskan demikian. 

Pengalaman pribadi tidak bisa disamaratakan dengan pengalaman pribadi orang lain. Setiap orang memiliki pengalaman sendiri untuk bisa melupakan semuanya--rasa sakit, ingatan tentang perilaku dzolim kepadanya.

Tidak tepat bagi kita menilai secara cepat seseorang yang masih belum melupakan perlakuan tidak baik kepadanya sebagai orang yang susah move on. Bagaimana kalau rasa sakit tersebut menjadi sebuah bukti bahwa apa yang terjadi kemarin benar-benar melukainya? Sudahkah kita melihat dari sudut pandangnya?

Kalau sekadar sudah memaafkan orang yang sudah menyakitinya namun masih sulit untuk melupakan perilaku dari orang tersebut, itu adalah hal wajar. Setidaknya, dia mencoba untuk meneruskan hidupnya.

Satu hal yang tidak wajar adalah mendemdam dan memutuskan untuk berlaku sama seperti orang yang menyakitinya. Kedua hal tersebut bisa datangkan bahaya bagi kita. 

Kita bisa menjadi pribadi tak lebih baik dari orang yang menyakiti kita dan kehidupan kita jauh dari kata tentram.

Saya berdoa agar pembaca artikel ini bisa menemukan upaya terbaik untuk mengampuni orang yang sudah menyakiti dirinya dan melupakan kesalahan yang sudah terjadi. 

Bila terasa sangat sulit, sayangi diri Anda dan buatlah keputusan untuk mengandalkan pertolongan Tuhan dan berkonsultasi pada konselor/psikolog/psikiater.

Anda berharga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun