Mohon tunggu...
R. Graal Taliawo
R. Graal Taliawo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Asli orang Halmahera Selatan-Maluku Utara | Minat "OTAK-ATIK" STATUS QUO | SAYA MENGHARGAI HAK BERKEYAKINAN & MENDUKUNG KEBEBASAN BERAGAMA | MENOLAK SISTEM EKONOMI KOMPETISI SEHAT | Suka makan Nasi Kucing & minum Teh Hangat Manis | www.graaltaliawo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bertukar Pasangan Seks (Swinger)?

19 November 2013   17:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:56 3065
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"mari bersenang-senang selagi masih hidup"

Munculnya fenomena tukar pasangan atau swinger tentu mengusik sebagian kita (di sini, di sini dan di sini). Bagaimana tidak, dalam konteks masyarakat Indonesia yang dinobatkan sebagai kelompok alim-beragama, bertukar pasangan dalam melakukan hubungan seks dalah pelanggaran serius atas norma yang dianut.

Secara sederhana, swinger adalah jenis hubungan seks secara bersamaan dengan beberapa pasangan, menukar pasangan seksnya dalam group. Singkatnya, swinger adalah aktivitas seks dengan cara bertukar pasangan.

Menurut Moammar Emka (di sini), fenomena swinger bukan lagi hal baru di Indonesia. Bagi penulis Jakarta Undercover (Sex in The City) ini, swinger telah menjadi lahan bisnis baru, dengan munculnya beberapa klub atau semacam perkumpulan swinger dengan jadwal rutin pertemuan untuk melakukan pesta seks. Emka juga mengatakan bahwa pola dan bentuk swinger oleh kalangan atas di Ibu Kota lebih variatif dibandingkan yang terjadi di daerah pelosok.

Menambah informasi itu, menurut Seksolog dr. Boyke Dian Nugraha, fenomena bertukar pasangan seksual menunjukkan kesehatan psikologis masyarakat yang (sedang) sakit (di sini). Alasannya pelaku swinger merupakan kelompok-kelompok sosialita yang memahami konsekuensi bertukar pasangan yang dapat menyebabkan penyakit, namun memilih untuk mengabaikannya.

Boyke juga melihat kegiatan swinger biasanya dilakukan lantaran kebosanan yang dialami dan berusaha mencari kepuasan seksual yang bukan berasal dari pasangan sahnya. Di Indonesia, swinger biasanya dilakukan pada pesta-pesta tertutup. Tempatnya berupa klub-klub mewah atau perjalanan menggunakan kapal pesiar yang disewa bersama. Swinger juga dilakukan oleh orang yang saling mengenal dan memiliki hubungan pertemanan. Dari sejarah, menurut Boyke, swinger berasal dari Amerika Serikat, dan masuk ke Indonesia sejak 1970-an. "Moto mereka, mari bersenang-senang selagi masih hidup."

Ini gejala apa?

Diakui maupun tidak, fenomena bertukar pasangan adalah nyata. Sebagian kita mungkin akan mengatakan bahwa ini adalah gejala individu atau muncul akibat ada kerusakan moral. Lalu menyuguhkan solusi: perbanyak aktivitas keagamaan. Atau guna mengantisipasi bagi generasi muda, maka pelajaran agama harus ditambah dalam sistem pendidikan. Begitulah logika kita yang menempatkan gejala swinger sebagai fenomena individual.

Nah, bagaimana jika fenomena swinger dilihat sebagai gejala yang bersifat makro atau struktural? Andai swinger hanya terjadi pada satu atau dua keluarga dalam masyarakat, barangtentu menjadi tidak relevan dianggap sebagai gejala publik. Namun, kalau swinger terjadi dan melibatkan orang banyak, maka patutlah hal itu disikapi dengan pertanyaan kritis: ada apa dengan masyarakat kita?

Boyke pada bagian berita Tempo.co telah sedikit menyinggungnya dengan mengatakan gejala swinger sebagai tanda “sakitnya” masyarakat. Tetapi “sakit” yang dimaksudnya seperti apa, tidak ada penjelasan lanjutan.

Terkait dengan itu, perlu dicatat bahwa swinger sebagai gejala publik (yang meluas), umumnya dilakukan dengan hati-hati oleh mereka yang terdidik dan kaya. Artinya dari sisi kapasitas ekonomi, mereka yang melakukan adalah kelompok masyarakat mapan. Pelakunya tidak memiliki alasan ekonomi untuk melakukannya. Lalu, apa sebab swinger menjadi gejala publik?

Jika ruang analisa kita persempit pada tataran lingkup keluarga (unit analisis bersifat meso) dari mana asal pelaku—tentu masih dalam kaitan interaksinya dengan sistem sosial yang makro (struktural)—maka kemungkinan sumber gejalanya bisa diidentifikasi.

Faktanya, swinger dilakukan oleh kelompok masyarakat berpasangan yang merasa tidak puas atau bosan dengan pasangannya. Mereka kemudian mencari sensasi berhubungan seks di luar kebiasaan yang ada. Kata lain, ketika rasa kepuasan hubungan seks tidak lagi didapatkan pada pasangan yang sah, maka itu diluapkan dengan mencarinya di tempat lain meskipun dengan pasangan yang tidak sah.

Gejala ketidakpuasan ini kemudian mendapat ruang kapitalisasi oleh mereka yang melihatnya sebagai peluang bisnis. Menurut Moammar Emka, fenomena swinger telah menjadi lahan bisnis baru. Seperti fenomena Pekerja Seks Komersil (PSK), adanya “pembeli” yang mencari kepuasan seks, telah menjadikan gejala ini berlanjut tanpa ada yang bisa menghentikannya. Ketika pembeli seks dan penjual bertemu dalam logika bisnis, pelacuran menjadi komuditas menarik dengan berbagai bentuk kemasannya. Seks berjumpa dengan peluang ekonomi, menghasilkan eksploitasi manusia yang tidak berujung.

Begitu juga dengan swinger, penulis menduga, fenomena ketidakpuasan berhubungan seks yang terjadi dalam keluarga kita telah menjadi komuditas yang turut memacu meluasnya fenomena swinger. Kata lain, swinger kini telah menjadi komuditas bagi pencari sensasi (kepuasan) seks liar.

Tentu kita juga bisa bertanya lagi: mengapa ada ketidakpuasan dalam berhubungan seks? Masalah tuntutan kerja (struktur ekonomi), sehingga hilang-nya waktu-waktu romantis, bisa menjadi faktor yang penting. Namun itu lain soal.

Kembali. Penulis melihat, ketika ketidakpuasan berhubungan seks dalam banyak keluarga ini bertemu dengan peluang ekonomi (bisnis), maka muncullah swinger sebagai dagangan. Di sinilah, seks dalam bentuk lain dieksploitasi demi bisnis yang mendatangkan keuntungan finansial (ekonomi). Maka, bisa diduga kalau fenomena tukar pasangan seks ini akan terus berkembang di tahun-tahun mendatang. Bahkan, akan mengalami berbagai bentuk modifikasi kemasannya untuk kepentingan komersil.

Lalu, bagaimana cara kita menghentikan laju gerak fenomena swinger ini? Pada tataran mikro, kemungkinan perbaikan kualitas hubungan pasangan, utamanya dalam keluarga, adalah salah satu usaha minimal yang bisa dilakukan. Tiap-tiap pasangan perlu mensiasati agar ketidakpuasan hubungan seks itu bisa diminimalisir melalui upaya kreatif ketika berhubungan. Setiap pasangan perlu mengembangkan wawasannya tentang cara atau teknik berhubungan seks, untuk kemudian diterapkan dalam berhubungan intim. Dengan begitu, peluang bagi pebisnis “hitam” yang hendak mengesploitasi (ketidakpuasan) seks sebagai komuditas dengan kemasan swinger, bisa ditekan dan diperlambat laju geraknya sebagai bisnis yang mengeksploitasi manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun