Dalam pandangan kami, budaya yang muncul sebagai simbol-simbol dan merepresentasikan Kota Bandung justru tampak sebagai komoditas yang menunjukkan di balik pelestarian budaya ada motif lain yang menihilkan motif pelestarian budaya itu sendiri. Motif itu adalah motif mencari keuntungan secara materil. Itulah yang kami maksud dampak pembangunan kota yang berorientasi profit semata, materil semata. Dengan demikian, dapatkah kita nilai pelibatan budaya dan ekonomi selama ini sama-sama seimbang?
Tentulah tidak, hal demikian menunjukkan kebijakan ekonomi yang ada di Kota Bandung dan berselaras dengan kebijakan pemerintahan Jokowi JK justru memberangus budaya yang ada walaupun dengan seribu dalih bahwa mereka mempertahankannya atas nama nenek moyang di tatar Sunda. Itu hanya sekedar dalih yang melegitimasi kebijakan mereka yang justru berpihak kepada komplotan kapitalis Asing!
Lantas, bagaimana kita menilai upaya diwujudkannya Gerakan Budaya? Ini adalah satu ruang yang akan mengurung masyarakat bilamana mengamini kebijakan RK semacam ini. Mengapa? Hakikatnya gerakan budaya dibentuk untuk membenarkan pencaplokan ekonomi terhadap budaya. Membenarkan kebijakan-kebijakan orientasi profit yang membalutkan budaya sebagai pakaiannya sehingga benar-benar mengelabui rakyat Kota Bandung.
Bagaimana mungkin ketika sistem nilai dalam masyarakat telah dikendalikan oleh orientasi profit sebagai dampak penerapan kebijakan RK ini mampu membubuhkan orientasi kelestarian budaya semata-mata karena budaya itu sendiri? Hal demikian sangat jauh dari kemungkinan bahkan mustahil! Masyarakat Kota Bandung yang telah dibuat kering dan gersang dikepung oleh orientasi materil sangat jauh dimungkinkan untuk membudayakan gerakan itu. Jikalau ada, tentu saja motifnya tiada lain digerakkan oleh uang, begitulah kebijakan pragmatis RK yang sungguh mengelabui rakyat dan mengelabui dirinya sendiri.
Jika gerakan budaya itu sifatnya temporal, tentulah pernyataan bahwa sistem yang baik adalah sesuatu di mana masyarakat dapat menyelesaikan secara mandiri adalah pernyataan yang tidak masuk akal bila disandingkan dengan pergeseran nilai-nilai yang ada. Satu sisi, Pemkot membuat masalah dengan menggeser nilai-nilai yang ada di Kota Bandung, dan menghancurkan budaya ke arah objek komoditas yang diperjualbelikan demi meraup keuntungan materil.
Satu sisi, pemkot, RK Berlepas tangan dalam mengentaskan masalah yang dibuat oleh dirinya sendiri. Justru masyarakat dibuat bahkan dipaksa untuk membuat gerakan yang mengentaskan masalah yang hakikatnya bersumber dari pemkot? Inilah logika yang aneh dan tidak masuk akal. Sebagai pemimpin, justru pernyataan itu tidaklah tepat, justru mengebiri posisi RK sebagai pemimpin yang semestinya harus terus mengentaskan problem masyarakat karena itulah pemimpin yang harus mengurusi, mengayomi masyarakat.
Jika pernyataan itu terus menjadi dalih, tampaklah RK sebagai pemimpin yang berorientasi profit secara nyata. Hal itu mengindikasikan hubungan pemkot dan masyarakat Kota Bandung yang tidak harmonis, akan tetapi hubungan di antara keduanya berbasis pada untung dan rugi!
Paparan di atas, tampaknya telah cukup menunjukkan bahwa terjadi kesalahpahaman, salah kaprah dalam kebijakan dan kerancuan berpikir yang dilakukan oleh pemkot. Pandangan penulis, semestinya masyarakat Kota Bandung harus mencari jalan secara mandiri dan merdeka tanpa terkooptasi dengan kebijakan pemkot Bandung yang memenjarakan cara berpikir kita.
Hal yang mesti diingat adalah mengisi kekosongan “alasan” dalam berbudaya dan berkebiasaan itu di mana kekosongan itu telah dirampas oleh kebijakan RK. Dalam konteks inilah agar kejelasan dalam berbudaya mampu terfilterisasi dengan benar, mana yang tidak diadopsi dan mana yang mesti tidak diadopsi sehingga berbudaya tanpa terbajak oleh kepentingan orang lain, apalagi kepentingan pemerintah yang telah berkomplot dengan pemilik modal. Kekosongan tersebut tampaknya harus diisi dengan konsepsi yang bersumber di luar daripada manusia agar tidak terpenjara oleh pandangan benar salah menurut manusia.
Kami menilai, ideologi Islam yang merupakan konsepsi sempurna, mestilah mengisi kekosongan tersebut, menjadi alasan mengapa kita tersenyum, menjadi alasan mengapa masyarakat saling bantu-membantu, menjadi alasan bagaimana masyarakat berhubungan satu sama lain. Hal demikian terealisasi dikarenakan alasan yang sungguh benar-benar pasti dikarenakan masyarakat kota bandung menginginkan ketaatan sempurna kepada penciptanya, alasan itulah yang menggerakan tingkah dan kebiasaan-kebiasaan yang baik berbasis pada Ideologi Islam. Jiak demikian adanya, begitula bandung akan tersenyum, akan juara dan akan harmonis.
Tentunya, kenyataan masyarakan yang berbudaya berbasis pada Islam memerlukan dukungan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap kenyataan masyarakat yang menginginkan ketaatan kepada Pencipta, itulah mengapa RK semestinya menyadari bahwa kepemimpinan yang harus dibangun harus berbasis pada Islam, menurunkan kebijakannya berstandar kepada Syariah bukan undang-undang yang dibuat oleh kepentingan manfaat apalagi orientasi profit. Hal demikian hanya akan menyebabkan masyarakat kota bandung mengalami penghidupan yang sempit, karena dipalingkan dari apa-apa yang diturunkan oleh Allah SWT berupa hukum-hukum syariah-Nya.