Mohon tunggu...
GP Kotabandung
GP Kotabandung Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Respon Diskusi Politik BEM Bertajuk Dilema Nasionalisme di Era Globalisasi

23 Oktober 2016   19:01 Diperbarui: 23 Oktober 2016   19:18 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bandung, 18 Oktober 2016, BEM Unikom menyelenggarakan diskusi politik bertajuk “Dilema Nasionalisme di Era Globalisasi”. Sebagaimana diskusi-diskusi yang rutin diselenggarakan dibeberapa acara, tampak tema ini menjadi tema yang tidak asing ditelinga kita menyoal relevansi nasionalisme dan semangatnya yang dituangkannya dalam kancah kehidupan hari ini yang terbilang lebih modern dan serba praktis. Anggapan demikian dibenarkan dari penuturan masing-masing pembicara selama sesi pemaparan materi. 

Dalam diskusi ini hadir dua narasumber diantaranya Kol. Infantri  & Andreas Darmayadi M.Si, Ph.D dosen FISIP UNIKOM. Dari diskusi ini, kami menyimpulkan banyak sekali skema penyampaian gagasan yang berbenturan dan dilematis. Mungkin tema yang mengangkat Dilema Nasionalisme telah mengajak simpulan diskusi untuk merumuskan gagasan yang dilematis pula. Bagi kami Diskusi ini menjadi PR panjang atau bahkan tidak menemukan ujung penyelesaian.

Dalam sesi diskusi yang diutarakan oleh Pak Kol. Infantri Mulyo Aji kami menyepakati akan pentingnya penjagaan terhadap tanah air dan upaya

pencaplokan negara-negara dalam memonopoli tanah air ini. Namun demikian, menyoal semangat Nasionalisme ini, ada kekeliruan mengenai apa yang memicu semangat ini tertumpah, lahir dan menampakannya sebagai pembelaan terhadap hal yang mesti dibela yakni tanah air dalam konteks kewilayahan tempat masyarakat Indonesia ini dilahirkan. Kiranya perlu memahami kontekstual situasi dan fakta-fakta yang terjadi pada masa dimana Nasionalisme itu muncul sehingga agar pembahasan kita terselamatkan dari upaya generalisasi dan analogi yang penuh dengan spekulasi sehingga menjauhkan dari kesimpulan yang benar. 

Berbasis perspektif sejarah dalam arti fakta-fakta sejarah, tentulah situasi pada saat itu dibentuk dengan adanya kekuasaan Kolonial. Mereka memperbudak dan menjadikan rakyat Indonesia sebagai ‘sapi perah’ dalam memberlangsungkan penjajahan yang dilakukan oleh Barat. Kondisi itu dengan cepat menjadi kengerian yang di-‘rasa’kan oleh bangsa ini sebagai entitas yang menghimpun manusia-manusia dengan mengkategorikan diri berbasis bangsa. Sikap demikianlah sikap manusiawi yang membenci akan kengerian, kebengisan dan penindasan yang hampir disetiap hari dipertontonkan oleh kaum penjajah ini. Kami menyimpulkan rasa benci ini akan rentan dengan tuntutan pemenuhan konsepsi, rumusan, ide, gagasan atau bahkan pencarian konsepsi untuk dijadikan legitimasi upaya merealisasikan kebencian tersebut dalam wujud tindakan pemberontakan.

Dalam titik ini tampak Nasionalisme memiliki tempatnya. Pak Kol. Infantri Mulyo Aji menuturkan pula bahwa Nasionalisme dengan penggalan “Rasa Memiliki” sebagai pengertiannya. Secara umum, Nasionalisme selalu dihubungkan dengan Rasa dan Semangat. Artinya, fakta-fakta yang dihadapi oleh rakyat akan secara nyata membentuk emosi itu, terbukti dengan upaya pemerdekaan bangsa Indonesia dengan dalih penjajahan yang begitu lama sehingga didapatlah istilah senasib sepenanggungan. 

Karena merasakan hal yang sama dalam keterjajahan. Namun demikian, inilah emosi dan menegaskan perlawanan berbasis Nasionalisme berangkat dari basis yang lebih mendasarinya yakni Emosional sehingga Nasionalisme menjadi pakaian dalam menjalankan perlawanan emosional itu. Namun, dengan fakta-fakta pencaplokan wilayah, tanah air dan upaya penyerobotan tanah-tanah yang dirasa milik bangsa Indonesia, Nasionalisme memiliki titik tolak yang berangkat dari penjagaan tanah yang menjadikan emosional pula sebagai dasar berpijak. Inilah integrasi Pratiotisme, Nasionalisme yang berangkat dari semangat emosional karena ketidainginan apa yang dimiliki itu dimiliki oleh bangsa lain dengan pembatasan wilayah yang disepakati bangsa Indonesia kala itu.

Dari sini, Kami dapat menilai bahwa Nasionalisme berdiri diatas semangat penjagaan terhadap tanah air, dimana semangat itu muncul

karena penjajah yang hadir dihadapan mata kepalanya mencoba menyerobot dan mencuri serta mengupayakan pengambilalihan tanah itu, wilayah itu. Dengan pemahaman bangsa Indonesia bahwa wilayah-wilayah sabang sampai merauke adalah satu tanah air, maka disitulah semangat penjagaan terhadap tanah air menjadi hasil dari munculnya emosi bersama –senasib sepenanggunan-, penentangan emosional karena tidak sepakat atas kesewenang-wenangan penjajah. Dari soal ini, kami menegaskan ternyata batasan Nasionalisme yang hendak dimaksud adalah rasa kepemilikan batas teritorial negara yang mesti dilestarikan tidak dicaplok oleh hegemoni manapun. Walau demikian, apakah keutuhan wilayah menjadi penjaga kuat kelanggengan ‘rasa’ nasionalisme? Fakta pudarnya semangat ini yang diakui oleh berbagai kalangan telah memarginalkan bahwa teritorial sebagai batas dan penjaga nasionalisme itu kedalam sebuah anggapan yang tidak kuat. Lantas, bagaimana batasan Nasionalisme itu dan tampak diera globalisasi Nasionalisme telah mengerucut menjadi Fanatisme kelompok semata entah dalam kategorisasi ormas maupun kelompok penguasa yang berdiri menjaga tampuk kekuasaannya diantara kepentingannya masing-masing.

Berdasarkan hal itu, Kami menilai ada kelemahan dalam semangat Nasionalisme yang selalu dijadikan dasar dalam membangun

keterjagaan atau ketahanan bangsa. Padahal ada hal yang mendasari adanya Nasionalisme yaitu emosional akan penjagaan tanah (Patriotik) yang dipengaruhi faktor adanya penjajahan bersifat fisik, terindera penjajahan tersebut dihadapan himpunan manusia bangsa Indonesia. Alhasil, perlawanan begitu cepat dilakukan hingga harus turun berjuang merelakan nyawa dimedan pertempuran. Poin inti kelemahan dari ide ini adalah keberadaannya akan Ada jika Penjajahan Fisik itu Ada dan akan terjadi sebaliknya pula. Dengan demikian dapatlah kita katakan bahwa Nasionalisme memiliki sifat temporal, menghimpun manusia-manusia dalam kategorisasi bangsa sekalipun bersifat lemah dan mudah hilang termakan perubahan kondisi tertentu. Dari fakta sejarah, dapat terlihat bahwa realisasi pemerdekaan Bangsa Indonesia tidak lepas dengan semangat pragmatis. Hal ini ditunjukan dengan dua kepentingan yang dilematis namun diambil tanpa perhitungan matang. Dua kepentingan itu direalisasikan demi mencapai puncak kekuasaan. Kepentingan Pertama adalah upaya pertahanan diri dari rakyat yang terjajah ini atas nama semboyan senasib dan sepenanggungan. Upaya pertahanan ini satu bentuk kewajaran ketika penjajah berupaya menyerang secara fisik. Kedua, adalah kepentingan kelompok-kelompok yang telah sampai pada tampuk kekuasaan sejak diproklamirkannya pemerdekaan itu sehingga mengambil ‘alat-alat’ (berupa sistem, konsep, hukum) yang digunakan dalam menjajah. Dalam bahasa lain yakni mengambil warisan penjajah berupa undang-undang kolonial. Tindakan cepat ini adalah upaya pragmatis tanpa ada perencanaan matang dan pembentukan tatanan kenegaraan yang ideal, sekali lagi kami menggambarkan ini dalam situasi yang tergambar pada saat itu yakni situasi yang mencekam dan dalam keadaan keterjajahan bahkan tidak lepas dari konstelasi global yang membentuk dua poros politik dunia, AS dan Uni-Sovyet.

Pragmatisme yang merupakan semangat responsif terhadap realita yang nyata dihadapan mata tampak berkelanjutan hingga pergerakan

politik 66 maupun 98. Hal demikian terbukti menempatkan musuh bersama pada Presiden baik Soekarno dan Soeharto dengan tindakan yang terkooptasi atas respon kebijakan-kebijakan rezim tersebut. Alhasil Pragmatisme ini menyandera visi perubahan yang diusung dan Nasionalisme menambah keruwetan teoritis saja. Dimana pada dasarnya semua bergerak secara emosional. Dari realitas ini, kami menyimpulkan apa yang dihantarkan keatas kekuasaan rakyat adalah kepentingan orang tertentu, dominasi orang tertentu yang mampu merealisasikan kepentingankepentingannya. Tampak sejak permulaan Negara ini dibentuk, kepentingan-kepentingan yang ada diantara tokoh-tokoh pengisi kepemerdekaan dipaksa harus diakomodir. Jalan atas hal ini tiada lain adalah jalan kompromi. Atas dasar inilah dapat dipastikan asas yang membangun NKRI ini adalah jalan kompromi, menemukan irisan dari berbagai kepentingan hingga menemukan dua kubu yang harus dikompromikan untuk memuluskan jalannya pemerintahan yakni kalangan kebangsaan dan islam. Simpulan ini memang sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Hidayat Nur Wahid tatkala mengisi seminar Sosialisasi MPR RI di Gedung Indonesia Menggugat pada akhir Mei lalu. Jika demikian adanya, tampak dari sinilah semangat Nasionalisme telah menyempit kepada kepentingan kelompok bahkan kepada kepentingan Individual. Alhasil, Nasionalisme akan bertahan jika ancaman dipahami dan disaksikan sebagai ancaman bersama, namun jika ancaman tersebut menyempit dan dipersepsikan secara relatif, maka semangat melawan boleh jadi hanya menurut kalangan tertentu yang merasakannya. Disinilah poin rupanya Nasionalisme tergerus secara genetik sejak kalahirannya.

Kami menyangsikan gagasan nilai-nilai luhur itu menjadi gagasan yang ditabrakan atau gagasan yang sedang diserang diera globalisasi. Nilai-nilai yang semisal gotong-royong, kejujuran, tenggang-rasa dan sebagainya sebagaimana dinilai sebagai nilai bangsa belum secara rasional mengalami pertempuran dengan intervensi nilai luar sebagaimana hegemoni kapitalisme bahkan muncul didalam jantung negara. Yakni dengan fenomena menyempitnya Nasionalisme hinga batas hegemoni individu, sang Kapital itu. Hal demikian dikarenakan ada kelalaian mengidentifikasi bagaimana sikap gotong-royong, kejujuran dan sejenisnya itu dapat direalisasikan? Motif apa? Inilah yang dilupakan oleh kebanyakan orang, sehingga salah menganalisa. Namun dengan penjabaran Nasionalisme tadi, rupanya motif dibalik semangat itu tiadalain adalah benefit atau keuntungan bersifat materil, mengejar keuntungan materil baik penghormatan, kedigdayaan dan sejenisnya. Sehingga, bila tidak merubah motif ini, maka nilai-nilai tersebut tetaplah berarah kepada kepentingan diri dan memunculkan kelompok kapital menunjang hegemoni Kapitalisme semata akhirnya. Jika keadaan telah kritis semacam ini, hegemoni kaum kapital telah menggurita dalam berbagai segmen kehidupan, maka sekalipun teori Nasionalisme renyah sebagai alat pemersatu, fakta kemudian ia menjadi selimut yang dapat menjadi alat komoditas yang diperjual belikan demi meraup keuntungan demi keuntungan. Inilah poin dimana Nasionalisme termakan oleh rahimnya sendiri selain ia terbunuh oleh dirinya sendiri. Fenomena ini kami melihat ada hal yang tidak menentu bahkan masih kabar dalam pihak mana yang sebenarnya diposisikan benar melihat Negara rupanya telah berpihak kepada nilai-nilai penjajah dan pengadopsian Kapitalisme. Negara tampak mengamini segmentasi masyarakat Kapital, dan terkendali oleh uang. Lantas disinilah problem menyoal ketahanan wilayah dan kesatuan bangsa, apakah TNI tengah berada pada pihak segmentasi kelompok yang benar?

Menyoal segmentasi mana yang harus diikuti oleh TNI, tampaknya bahwa persoalan gagasan yang benar yakni berupa Ideologi menjadi

hal mendasar perlu dipecahkan. Pasalnya, kekaburan terus menyelimuti jalannya diskusi. Termasuk dengan apa yang disampaikan oleh Pak Andreas yang menyebutkan bahwa menggali nilai budaya adalah wujud memahami Ideologi. Dimana penggalian itu diarahkan kepada masa kejayaan Indonesia. Tentu saja, logika ini menjadi logika yang terbalik sebagaimana dalih pada umumnya. Menempatkan Ideologi sebagai hasil dari nilai-nilai bangsa telah memposisikan Ideologi sebagai objek. Jika demikian, bagamana mungkin ia mampu merubah, membentuk tatanan yang ada. Bagamana dapat mengarahkan dan membentuk budaya? Dan sebagaimana apa yang dimaui adalah melakukan counter terhadap Ideologi luar? Justru, ketika menempatkan nilai-nilai budaya sebagai subjek dan disaat yang sama dali Ideologi masih berjalan, hal ini akan mengaburkan Ideologi apa ayng telah dan tengah berjalan ketika terjadi perubahan Nilai atau bahkan telah ditetapkan nilai sejak permulaannya. Jika pemerintahan masih berjalan dan Ideologi tertentu awam dan tidak mampu direalisasikan, disitulah patut dipertanyakan Ideologi yang tengah berlangsung dan diterapkan oleh Negara. Perlu diingat, posisi negara adalah sebagai penerap hukum, pembentuk sistem nilai dan menjaga interaksi sosial. Maka, tentu saja bila mana Ideologi diadopsi oleh negara, maka negara akan menerapkan aturan bertolak dari Ideologi, artinya Ideologi berada pada kekuasaan. Maka berjalannya kekuasaan mengindikasikan tengah berlangsungnya Ideologi. Bila kompromi dan kehendak dituhankan, maka sangat relevan Indonesia tengah mengadopsi Ideologi Kapitalisme dengan kenampakan kebijakan-kebijakan yang sarat dengan liberalisasi diberbagai aspek kehidupan.

Hal inilah yang menjadi jawaban bagi pertanyaan salah seorang Mahasiswa DKV ketika menyatakan bahwa pemerintah malah tidak ber-Nasionalis ketika menyerahkan kekayaan SDA ketangan asing. Tentu saja demikian, hal itu karena dampak menempatkan kompromi atau sekularisme sebagai asas dalam berpolitik, memerintah sehingga pandangan ini dijaga dengan penerapan aturan yang mengukuhkan kedudukannya, akhirnya corak nilai masyarakat berbasis pada ide ini. Maka lengkaplah tatanan kehidupan semakin individualis dan mementingkan kepentingan sendiri. Tak terkecuali pemerintah, sifat pragmatis ini tampak ketika kebijakan tertentu direalisasikan atas dasar upaya mendapatkan hasrat menikmati manfaat. Sehingga, kami mendapatkan bahwa ada upaya pengelabuan terhadap problem sebenarnya. Pertama, Upaya pembenturan Ideologi yang diklaim hasil penggalian budaya (terhadap arus globalisasi) tidak relevan dengan kaitannya Nasionalisme, karena Nasionalisme ada justru menjadi jawaban atas problem emosional dan demi melindungi kepentingan bersama pada awalnya ketika senasib dan sepenanggungan. Kedua, Logika terbalik menempatkan pemikiran tertentu sebagai Ideologi adalah upaya pemaksaan dan mengelabui akan eksistensi Ideologi (sesungguhnya) yang lain yang tengah dijalani Negara dengan bukti-bukti tatanan individualis dan tatanan yang bertolak dari sekularisme. Ketiga, nilai-nilai yang berkonotasi positif seperti kejujuran, gotong-royong dan sebagainya selama tidak dihubungkan dengan sesuatu memicu sikap atau tindakan tersebut pada diri anggota rakyat dan masih berada pusaran semangat temporal akan secara terus-menerus memaksa rakyat mengangan-angankan harapan semu dan palsu akan keelokan cita-cita Nasionalisme yang selalu digambarkan.

Melawan Nasionalisme!

Dengan bukti-bukti konkrit bahwa Nasionalisme memiliki titik kelemahan yang bila mana tetap digunakan akan menyebabkan kecelakaan bagi rakyat. atau terjadi pengelabuan terhadap fakta yang mestinya menjadi pijakan dalam bersikap. Kecacatan itu karena sifat temporal Nasionalisme, dan telah termakan oleh sebuah asas Ideologis yakni sekularisme, jalan tengah menemukan Irisan kepentingan sebagai poros pengelolaan Negara. Maka dari itu, ide ini adalah ide yang justru destruktif bagi kelangsungan rakyat bahkan generasi muda mendatang. Bahkan keberadaannya telah termanfaatkan oleh arus Globalisasi dan memanglah demikian adanya, telah tergerus secara genetik!. Untuk itu, bagi kalangan pemuda dan mahasiswa yang sadar perlu merumuskan gagasan yang bertolak belakang tidak mengambil dari kondisi kekinian untuk memberikan jalan solusi bagi problem ini, problem menahan atau melawan lajur globalisasi sebagai bentuk invansi budaya. Perlu adanya ketahanan Ideologi yang kuat dan kepastian Ideologi yang benar-benar dapat diadopsi sesuai dengan realitas kepentingan manusia. Jika realitas kekinian kembali menjadi pijakan dalam mengetaskan problem kehidupan, maka sesungguhnya mahasiswa tengah berada dan memutar pada lingkaran setan tiada henti. Disinilah urgensi melepaskan diri dari cengkraman tatanan yang telah dibuat oleh Kapitalisme, alhasil menentukan dan mengadopsi paradigma baru dan benar menjadi jalan yang seharusnya ditempuh untuk menghindar dari kesewenang-wenangan tatanan yang hari ini terbentuk.  Tidak ada jalan lain kecuali Mahasiswa kembali kepada gagasan yang benar berbasis pada bukti-bukti rasional dan mengamini realitas manusia. gagasan tersebut adalah gagasan Islam yang menjadikan asas pemikiran Islam menjadi pijakan dalam bergerak dan beraktivitas. Termasuk dengan semata-mata perintah Allah SWT lah telah mengukuhkan motivasi menjadi kuat dalam menjaga wilayah negeri ini dari serangan dan pencaplokan penjajah. Maka dari itu, tidak ada ide yang kuat kecuali ide yang bersifat Ideologis dan benar yakni Ideologi Islam dalam menjaga keutuhan wilayah negeri Indonesia ini ketimbang Nasionalisme yang rapuh hanya mengukuhkan semangat emosional yang parsial dalam mengetaskan problem yang ada.

Ardhiana Nur Hakim- Ketua Umum GEMA Pembebasan Komisariat UNIKOM Bandung.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun