Pelatih BMU Alor, Syunardiansyah, rupanya melihat celah tersebut bahwa para pemain Perse Ende sedang dalam beban psikologis. Syunardiansyah membuat pilihan paradoks dengan meminta anak asuhnya bermain tanpa beban dan bahkan mungkin melakukan trik - trik khusus untuk membuat beban psikologis anak - anak Perse kian berat.
Apa pula yang bergejolak dalam diri Adi Atep. Bisa dimaklumi, Adi kecewa. Sebelum momen itu, Adi sempat dua kali memberi umpan terobosan manis ke area kotak penalti yang digagal dimaksimalkan rekannya karena salah timing dan posisi.
Menganalisa lebih jauh, mungkin ini adalah kesempatan terakhir Adi Atep membela Perse Ende di ajang El Tari Memorial Cup, sehingga dia ingin sekali lagi merengkuh trofi.
Kekecewaan Adi Atep juga perlu dilihat dalam dibingkai regenerasi pemain. Era Adi Atep dkk hampir atau bahkan sudah selesai. Sebuah alarm untuk sesegera mungkin berbenah.
Penampilan Perse Ende pada El Tari Memorial Cup Rote Ndao jauh dari performa mereka saat di Lembata. Perse Ende bahkan tidak pernah menang di fase di grup.
Merogo kocek untuk merekrut pemain luar pada El Tari Memorial Cup tahun lalu sebagai upaya proses belajar, tukar ilmu dan pengalaman terbukti tidak berdampak signifikan dengan melihat hasil tahun ini. Membangun kekuatan krakter sepak bola memang tidak bisa dengan gaya 'siap saji'.
Dan, sepak bola di NTT pada umumnya masih terkesan sebatas euforia dan keterwakilan. Banyak klub belum mandiri, susah payah membiayai operasional tim. Klub tidak punya strategi bisnis! Apalagi bicara sistem pembinaan berjenjang.
(Apresiasi untuk Perse Ende dan BMU Alor! Apapun hasilnya yang dipetik, Kalian Akan Selalu Dirindukan).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H