Mohon tunggu...
Oris Goti
Oris Goti Mohon Tunggu... Jurnalis - Anak Kampung Asal Watujaji, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.

Menyukai jurnalistik, fotografi, pariwisata, budaya olahraga dan musik

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Belajar dari Tragedi Duren Tiga, Mari Mulai "Ragu" pada Chronos

22 Agustus 2022   05:23 Diperbarui: 22 Agustus 2022   06:33 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Oris Goti)

Salah satu hal yang menyita perhatian saya dalam 'Tragedi Duren Tiga' adalah kronologi rekayasa.

Tragedi Duren Tiga, tewasnya, Brigadir J di rumah dinas Kadiv Propam Polri, Jakarta Selatan, 8 Juli 2022.

Begitu mudahnya kronologi palsu itu, menembus hingga ke mata pembaca.

Untung saja ada yang kritis. Ragu pada urutan waktu. Memaksimalkan panca indra dan akal membandingkan fakta dan rekayasa.

Mari mulai ragu. Ragu yang dimaksudkan bukan status psikis.

Adakah di antara kita 'yang jari - jarinya suka menari' mulai bertanya - tanya jangan - jangan kronologi kasus ini - itu  yang pernah saya terima dulu dan disuguhkan ke pembaca itu benar atau rekayasa?

Atau malah ada yang sedang tertawa karena melihat kita sudah termakan kronologi rekayasa dan secara tidak sadar terjebak dalam gelap terstruktur.

Yakinlah tidak ada kejahatan yang tak terungkap, tidak ada bangkai yang tak tercium. Apalagi berubah jadi wangi? Kalau ada itu manipulasi dan tak bertahan lama.

Kronologi adalah hal penting dari pengungkapan kasus. Kata kronologi berasal dari kata chronos yang artinya waktu.

Dalam konteks ini, saya tidak hendak menguraikan Kronologi dalam bingkai disiplin ilmu. Ada kata logi, dari kata logos yang artinya ilmu.

Secara sederhana kronologi bisa diartikan urutan waktu dalam sebuah kejadian, peristiwa.

Saya kira kita 'yang jari - jarinya suka menari' tidak asing dengan kronologi. Dari siapa kita sering menerima kronologi suatu kasus, peristiwa?

Kembali soal ragu. Sekali lagi, ragu di sini bukan status psikis. Tapi ragu sebagai sebuah metode.

Dalam bingkai pemikiran Rene Descartes, ragu itu metode mencapai kebenaran dengan pembuktian rasional.

Jadi jangan terjebak pada sesat pikir genetic, dianggap benar karena siapa, yang mengucapkan atau ada embel - embel pangkat dan jabatan yang melekat atau otoritas.

Tidak pula sesat pikir overgenelisir, semua kronologi hasil rekayasa karena adanya Tragedi Duren Tiga.

Ragu sebagai sebuah motode mencapai kebenaran, tentu tidak akan puas dengan retorika bual. Mutlak, melalui jalan pembuktian rasional.

'Jari - jari yang suka menari' tentu tidak akan puas dengan sajian kronologi mentah apalagi rekayasa.

Observasi, investigasi, memaksimalkan panca indera, akal, merekam data dan fakta. Bagaimana kerja - kerja ini berjalan jika tidak 'ragu'.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun