Hujat - menghujat, saling sindir, dalam hitungan detik sudah berseliweran di media sosial. Ini menjadi suguhan yang lebih menyedot perhatian bagi yang berkepentingan. Cakap berisik tak berisi.
Satu kalimat dari Yulita "Semoga kejadian ini (kebakaran) buka mata banyak pihak".
25 anak difabel, anak asuh Yulita, pasca kebakaran, linglung mau makan apa. Jika dihitung biaya makan  per anak, Rp. 15.000, total Rp. 375.000. Siapa Peduli? Para guru sudah bergerak, walaupun makan terlambat. Baru beberapa jam kemudian bantuan mengalir.
Yulita memang menangis, terlihat lunglai. Bagi saya, itu tidak sentimentil. Yah, dia bukan baru hari ini berurusan dengan anak - anak yang secara fisik kurang beruntung.
Pada 2008 silam hingga 2017, Yulita pernah mengabdikan diri di Panti Asuhan Bakti Luhur, Malang, Jawa Timur. Saya cukup tahu, spirit pelayanan jebolan Bakti Luhur Malang. Itu juga tergambar pada Yulita.
Yulita hanya lunglai sesaat, ia bangkit, mengatur anak asuhnya. Makanan sudah siap, Yulita tak ambil duluan. Dalam lelah dan lapar dia berkeliling, membagikan makanan bagi anak asuhnya.
Senyumnya mulai merekah. Dia senang anak - anak kembali ceria. Sebelum pamit pulang, saya sempat melihat drainase Bandara, dekat asrama.
"Kami guru - guru selama ini ada kumpul uang, buat tembok untuk tahan banjir. Yah karena uangnya tidak banyak kami kerja setengah - setengah dulu. Kalo kami tidak bangun tembok asrama kena banjir terus. Semoga yang sisanya masih enam puluh meter, kami bisa selesaikan," kata Yulita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H