Mohon tunggu...
Sofyan Salim
Sofyan Salim Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Proud to be a Muslim | Manusia "miskin," yang "rakus" Ilmu! |====================================| Blog :http://sofyanmsalim.blogspot.com/ |

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Jurnalis atau Jurunarsis?

10 Oktober 2015   22:12 Diperbarui: 10 Oktober 2015   22:34 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dunia jurnalistik, yang wajib ada dalam diri seorang jurnalis adalah Integritas. Dengan integritas yang baik, maka berita atau informasi yang dihasilkan juga kemungkinan akan baik, walau belum pasti benar, tentunya. Tidak kalah penting pula dari seorang jurnalis adalah bagaimana ia, mampu menggali suatu fakta dengan tingkat akurasi yang baik serta konfirmasi yang tepat dan benar terhadap sumber fakta. Fakta yang akan “disajikan” pun harus mengandung nilai etika jurnalistik, baik yang berasal dari pandangan hidup seorang jurnalis ataupun etika yang telah disepakati bersama.

Dari kacamata saya sebagai seorang awam yang ingin mendalami dunia jurnalistik Indonesia, saya menemukan terlalu banyak “fakta” tentang bobroknya jurnalisme Indonesia. Dimulai dari rendahnya Integritas seorang jurnalis, sampai pada boboroknya etika sang jurnalis. Wajar saja jika berita yang dihasilkan pun jauh dari fungsi jurnalisme itu sendiri. Kebebasan pada lingkup ini, harusnya mampu dipergunakan dengan baik dan benar (dalam konteks jurnalistik), agar kualitas informasi yang diterima masyarakat dapat dipertanggungjawabkan. Kita bangsa yang besar, dengan status sebagai Negara berkembang (bahasa yang dihaluskan untuk Negara terbelakang). Masyarakat kita adalah masyarakat yang antusias terhadap tayangan – tayangan televisi nasional, yang kebanyakan menyiarkan sinetron serta acara yang katanya Reality Show, padahal palsu. Apakah para awak media kita benar – benar bercita – cita mencerdaskan kehidupan bangsa, ataukah hanya sekedar mencari rating demi uang jajanan diawal bulan! Nicky Astria menyindir orang – orang seperti itu dengan kata “Lagi - lagi uang” dalam salah satu lirik lagu hitsnya.

Mencari nafkah adalah keniscayaan, namun membohongi serta membodohi orang demi menafkahi diri dan keluarga adalah suatu “keunikan” pribadi manusia. Rhoma Irama mengecam orang tersebut dengan kata “Terlalu…” Dalam tulisannya, Ronald E Riggio Ph.D mengatakan bahwa Narcissist adalah keegoisan yang ekstrim. Pribadi narsis memiliki pandangan dan penghargaan yang tinggi atas diri mereka. Seorang narsis percaya bahwa bakat dan prestasinya lebih unggul daripada orang lain. Narsis adalah kesombongan, berharap untuk menjadi pusat perhatian, dan kurang empati terhadap yang lain. Sedangkan Machiavellianism adalah kemampuan manipulatif seseoarang dengan tujuan memuaskan diri sendiri. Machiavellians yang eksploitatif melihat orang lain sebagai sebuah sarana untuk mengejahwantakan keegoisannya. Para machiavellians adalah orang – orang yang memiliki kecerdasan dalam bidang sosial. Tipe manusia machiavellians, adalah tipe manusia yang tidak memiliki kecerdasan emosional, terutama memahami emosi orang lain (Psychology Today: 30/9/2014). Menurut beliau, dari kedua kriteria pisikologi manusia itu, yang paling berbahaya adalah psychopathy. Ketiga tipe pribadi manusia tersebut digolongkan kedalam pribadi Dark Triad atau tiga serangkai pribadi gelap seorang manusia. Mungkin saja dalam hati pembaca opini ini mengatakan, “orang ini omong kosong, katanya ada fakta bobroknya jurnalis, mana faktanya, malah dia yang berceloteh gak jelas!” Anda mungkin benar, namun anda juga salah jika berkata saya ngomong, sebab saya disini tidak sedang berbicara, tapi menulis, bro!!!

Berikut ini dua contoh fakta bobroknya media yang saya temukan. Fakta – fakta lain sebaiknya para pembaca cari sendiri, agar kemampuan analisis para pembaca menjadi tajam dalam melihat sebuah berita yang baik dan benar. Fakta pertama, pada akhir 2012, terdengarlah kabar “heboh” tentang pasangan selingkuh yang mati saat berhubungan badan. Dunia blogger Indonesia sangat gencar menebar bola panas tersebut sehingga kabar tersebut terlihat atau terdenger seperti sebuah kenyataan. Kehebohan semakin menjadi tatkala media online sekelas tribunjakarta turut meramaikan kehebohan tersebut dengan menurunkan berita yang berjudul “Heboh Foto Mayat Pezinah Berdempetan di Karawang.” Sayangnya pemuatan beria tersebut dilandasi isu, bukan pada akurasi dan konfirmasi terhadap sumber – sumber terpercaya. Jika hanya sekedar isu, kenapa harus dimuat. Dan ternyata, setelah ditelusuri, foto yang katanya heboh tentang dua pasangan yang mati saat berhubungan badan adalah sebuah scane dalam filem Kutukan Arwah Santet (lihat detik ke 00.46) yang dibintangi Julia Perez. Goblok, kan!

            Fakta kedua, berita hoax yang menghebohkan publik Indonesia, tentang larangan berjilbab kementrian BUMN yang sumber beritanya berasalah dari twit seorang caleg di Yogyakarta dengan nama akun @estiningsihdwi pada bulan Desember 2014 lalu. Media online sekelas okezone menurunkan berita dengan judul “Menteri BUMN Larang Pegawai Berjilbab Panjang” yang isinya tidak berdasar konfirmasi terhadap sumber, malahan jurnalis tersebut memuat komentar para netizen di postingan tersebut. Berita tersebut kemudian dibantah oleh Sekretaris Menteri BUMN, Imam A Putro dan dibenarkan oleh Humas Kementerian BUMN, Faisal Halimi yang mengatakan bahwa urusan pegawai adalah urusan Kemen PAN-RB (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi).

Sebagai orang Islam, Alquran telah mengingatkan kita untuk mencaritahu kebenaran suatu kabar yang datang, sampai keakar – akarnya. Dalam melihat opini yang berkembang pun, kita haruslah kritis. Sebab, “Tidak ada opini publik. Yang ada, hanya opini yg dipublikasikan, (Winston Churchill, negarawan Inggris). Seorang propagandis Nazi mengatakan "sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya bahwa kebohongan tersebut adalah sebuah kebenaran, (Joseph Goebbelz,-Menteri Propaganda Nazi)." Intinya, jangan pernah sekali – kali menelan bulat – bulat segala informasi yang datang dari media.

Jadi, apakah jurnalis yang memuat berita bohong masi pantas disebut sebagai jurnalis ataukah jurunarsis yang mementingkan diri sendiri?

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun