Mohon tunggu...
Gorivana Ageza
Gorivana Ageza Mohon Tunggu... Mahasiswa pascasarjana & pekerja lepas -

Filsafat - Kajian Budaya - Film - Fashion

Selanjutnya

Tutup

Film

Ulasan "Si Doel The Movie", Saat Doel di Persimpangan Zaman

6 Agustus 2018   00:27 Diperbarui: 6 Agustus 2018   00:49 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Meski dalam hati masih mencintai Sarah, Doel menikah siri dengan Zaenab. Doel mendua hati. Ia tidak mampu bersikap tegas, sebab barangkali ketidaktegasan justru memungkinkan ia "memiliki" keduanya. Ia menginginkan modernitas, namun tidak sanggup melepaskan tradisi, dan fakta bahwa latar belakang sosialnya lebih sejalan dengan Zaenab. 

Dalam salah satu adegan, Sarah mengatakan bahwa dalam Bahasa Belanda doel berarti tujuan. Tentu hal itu kontras dengan bagian akhir Si Doel The Movie. Sebab lagi-lagi Sarah-lah yang memberikan jalan keluar atas benang kusut cinta segitiga mereka. Sampai akhir, Doel tetaplah sosok yang kaku, bimbang, dan bungkam meski batinnya berkecamuk.  

Sarah memilihkan Doel sebuah akhir, yakni bersama Zaenab meski ia tahu Doel masih mencintainya. Dengan kata lain, Doel kembali pada tradisinya, meski ia setengah hati.

Abdullah (Dul), anak Sarah dan Doel, justru menjadi sosok yang menarik. Ia adalah generasi campuran nilai-nilai tradisional dan modern. Ia tumbuh dalam modernitas, namun penuh keingintahuan dan keterbukaan pada ajaran masa lampau. Pada adegan jelang keberangkatan Doel di bandara, kita bisa melihat bagaimana Dul-lah yang berlari dan memeluk Doel. Doel terlalu gagap untuk lebih dulu berekonsiliasi dengan Dul. Dul menjadi pendamai pula di antara kelas sosial yang berbeda antara ayah dan ibunya.

Sebagaimana lirik lagu pembuka Doel "anak Betawi ketinggalan zaman, katanyeee", demikian pulalah Doel tergopoh-gopoh mengejar zaman. Hidupnya bagai oplet yang kini menjadi kendaraan antik. Zaman mengubah fungsinya: dari transportasi massal menjadi benda koleksi yang hanya terparkir di depan rumah.

Doel sama seperti saya, dan mungkin juga manusia Indonesia lainnya. Kita selalu berada di persimpangan antara nilai-nilai tradisional dan modern. Kita senantiasa gamang berada di antara melestarikan yang lampau atau mengejar kemajuan. Namun di  sisi lain, saya tidak ingin menjadi seperti Doel yang cenderung kaku dan gagap pada perubahan zaman. Saya justru ingin menjadi seperti Dul yang meski awalnya merasa takut, berakhir dengan tangan terbuka untuk belajar memahami dan merangkul keduanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun