Ada banyak orang yang mengatakan bahwa masa depan lebih penting dari masa lalu. Mungkin itu separuh benar. Namun, kita tidak bisa berkelit bahwa pemikiran dan perasaan kita hari ini dan di masa depan nanti, tidak bisa dilepaskan dari pengalaman kita di masa lalu. Walter Benjamin pernah mengatakan bahwa "the image of happiness is indissolubly bound up with the image of the past". Dengan perkataan lain, masa lalu sama pentingnya dengan masa kini dan masa depan.
 Si Doel adalah tokoh penting yang mewarnai dunia pertelevisian Indonesia di era 90an. Setiap tokoh memiliki kesan yang kuat dan tidak terlupakan selama lebih dari dua dekade, tidak terkecuali para pemeran pendukung seperti Atun, Mandra, dan Mak Nyak. Pun lagu pembuka dari Si Doel masih diingat dengan baik oleh banyak orang hingga kini. Seiring dengan kehadiran Si Doel The Movie, di media sosial saya melihat bagaimana orang-orang terbagi menjadi pendukung Sarah dan pendukung Zaenab.
 Sebagai catatan sebelum saya berceloteh lebih lanjut, tulisan ini adalah refleksi saya seusai menonton Si Doel The Movie. Oleh karena itu, tulisan ini akan relatif banyak mengandung spoiler.
Saya mengajak Ibu dan tante saya untuk menyaksikan Si Doel pada hari pertama perilisan 2 Agustus. Ibu saya sudah begitu antusias dengan kehadiran Si Doel sejak beberapa pekan sebelumnya, padahal ibu dan tante saya notebene-nya adalah orang yang dalam setahun belum tentu sekali pun pergi menonton di bioskop. Di dalam studio, saya mendapati banyak penonton berusia di atas 40 tahun.Â
Tentu ini adalah pemandangan yang menyenangkan karena bioskop tidak hanya didominasi penonton muda. Nostalgia, dengan demikian, masihlah tetap sebuah daya yang akan menggerakan manusia.
Dalam Si Doel The Movie, nostalgia pulalah yang membedakan Doel dengan sang paman, Mandra. Ketika Mandra secara gamblang menolak menjelajahi museum yang dianggapnya sebagai situs primitif, Doel justru menunjukkan ketertarikan pada museum. Hidup Doel adalah museum, ruang tempat ia mengawetkan perasaannya pada Sarah, perempuan yang tidak pernah secara resmi bercerai dengannya.Â
Doel mungkin semakin tua, tetapi perangainya masih seperti dahulu: kaku, pikirannya riuh, dan kerap terkesan bimbang. Dalam berbagai keterbatasannya, Doel justru berkeinginannya untuk menjaga berbagai nilai dan perasaan semua orang. Secara tidak langsung, Doel membuat dirinya sendiri tertatih-tatih.
Setelah menyaksikan Si Doel The Movie, bagi saya, Doel bukanlah sekedar insinyur asal Betawi yang terjebak kisah cinta segitiga. Si Doel adalah saya, dan mungkin gambaran rata-rata dari masyarakat kita pada era transisi abad 21 (akhir abad 20 dan awal abad 21): gamang di persimpangan zaman. Zaenab adalah gambaran nilai-nilai tradisional kita. Ia manut, memendam perasaannya, dan penuh pengabdian (baca: kepatuhan).Â
Zaenab adalah tipe orang yang di bibirnya mengatakan ikhlas membiarkan Doel memilih, seraya sedu-sedan dan diam-diam berharap dirinya terpilih. Ia adalah sosok yang cenderung pasif, yang membiarkan dirinya hanya menjadi (salah satu) pilihan. Mak Nyak, sebagai orang yang juga memegang nilai-nilai tradisional, meminta Doel untuk tetap bersama Zaenab.Â
Di samping itu, mungkin juga diam-diam keluarga Doel melihat Zaenab sebagai sosok yang berasal dari kelas sosial yang sama dengan Doel.
Sebaliknya, Sarah adalah gambaran dari gaya hidup modern. Sejak awal serial televisinya, Sarah digambarkan sebagai "anak gedongan yang mengendarai mobil pribadi". Ia lugas, mandiri, tegas, dan memiliki kehendak keras untuk menentukan nasibnya sendiri. Ia bahkan mampu membesarkan anaknya sendiri.