Mohon tunggu...
Goris Lewoleba
Goris Lewoleba Mohon Tunggu... Konsultan - Alumni KSA X LEMHANNAS RI, Direktur KISPOL Presidium Pengurus Pusat ISKA, Wakil Ketua Umum DPN VOX POINT INDONESIA

-

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pejabat Tinggi dan Abuse of Power

21 Agustus 2022   07:14 Diperbarui: 21 Agustus 2022   07:16 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Goris Lewoleba

Wakil Ketua Umum  dan Juru Bicara Vox Point Indonesia

 
Sebagaimana  diketahui bersama  bahwa,  Abuse of Power adalah tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh seorang pejabat untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan diri sendiri, maupun  orang lain atau korporasi dan atau instutusi,  dimana pejabat yang bersangkutan berada di institusi dimaksud.

Kalau tindakan itu dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai tindakan korupsi.

Dan jika tindakan dimaksud dilakukan dengan pelanggaran berat dalam ranah etika, maka hal itu dapat diketegorikan sebagai tindakan yang berimplikasi pada wilayah Dekadensi Moral.

Sementara itu,  jika tindakan dimaksud dapat menghilangkan nyawa sesama nanusia, misalnya melalui Pembunuhan Berencana, maka hal itu dapat digolongkan dalam tindakan kriminal  berat,  dengan ancaman hukuman seumur hidup atau ancaman hukuman mati.

Dalam sejarah perkembangan peradaban manusia,  ada axioma yang menyatakan bahwa, kekuasaan itu dekat dengan korupsi, dan jika kekuasaan yang tidak terkontrol, maka hal itu  akan menjadi semakin besar dan  tak terkendali.

Dari situasi seperti itu,  maka kemudian akan beralih menjadi sumber terjadinya berbagai penyimpangan serta malapetaka dalam kehidupan. Dengan demikian,  semakin besar kekuasaan itu, maka akan semakin besar pula kemungkinan untuk melakukan kejahatan moral dan kemanusiaan, yang pada akhirnya akan menjadi sampah peradaban.

Sehubungan dengan hal itu,  maka seperti yang dikatakan oleh Khairunan (2015) bahwa,  wewenang yang diberikan sebagai sarana untuk melaksanakan tugas, kerap kali dipandang sebagai kekuasaan pribadi.

Oleh karena itu,  maka hal  yang demikian ini, dapat dipakai untuk kepentingan pribadi sesuai dengan selera mana-suka dari pejabat yang bersangkutan.

Kemudian,  sebagai konsekuensi lebih  lanjut,  pejabat yang menduduki posisi penting dalam sebuah lembaga negara,  merasa mempunyai hak untuk menggunakan wewenang yang diperuntukkan baginya secara bebas tanpa kendali, baik scara moral maupun sosial.  Oleh karena itu,   semakin  tinggi pangkat dan  jabatan seseorang, maka semakin besar pula kewenangan dan otoritas yang dimilikinya

Lalu, muncul persepsi publik yang mengemuka bahwa, tindakan hukum terhadap orang-orang yang dalam status sosial dengan pangkat dan jabatan yang tinggi  sebagai pejabat negara atau pejabat publik,  dipandang sebagai tindakan yang tidak wajar dan tidak semestinya seperti itu. Dengan demikian,  ada kecenderungan dan rekayasa untuk menyelamatkan pejabat yang bersangkutan  demi nama baik institusi atau pejabat itu sendiri.

Kondisi seperti  itu merupakan sebuah kesesatan publik yang dapat merugikan organisasi atau institusi  secara menyeluruh, bahkan mencemari nama baik dari institusi yang bersangkutan di mata publik.

Dikatakan demikian karena,  di zaman now semua hal dan kajadian dapat dilihat dan dipantau oleh publik, entah kapan  dan  di manapun peristiwa kejahatan moral dan kemanusiaan itu berlangsung, karena suatu peristiwa kejahatan tidak pernah akan terjadi secara sempurna.

Lagi pula,  menyembunyikan suatu tindakan kejahatan itu ibarat seperti "menekan balon  di dalam air,  ditekan  di sini, akan muncul  di sana, ditekan  di sana, akan nuncul di sini,  terlalu kuat ditekan, sudah pasti  akan meledak"


Jabatan Tinggi dan Pesona yang Menggoda

Merupakan suatu obsesi dalam cita-rasa ke masa depan,  ketika seseorang sedang meniti karir  adalah, masa  depan yang gemilang dengan tekad dan niat untuk  mendapat posisi dan jabatan yang penuh dengan pengharapan melalui jenjang karir yang terukur.

Jabatan yang tinggi dapat dicapai oleh  seseorang dengan membangun karir secara ketat dan profesional,  meski tidak jarang pula seseorang dapat mencapai puncak karir karena carbitan melalui mekanisme jalan pintas KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotiseme).

Tingginya Jabatan seseorang,  baik di wilayah Public Sector seperti di bidang Pemerintahan,  dapat diamati  pada tingkatan Pejabat Eselon I sampai pada level Menteri Negara. Sedangkan pada Lingkungan TNI/Polri, dapat diamati pula  pada level Jenderal  dengan Bintang Satu, Dua,  Bintang Tiga dan  Empat.  Demikian pula pada ranah Private Sector seperti Perusahaan Swasta, dapat diamari pada level Direktur,  Direktur Utama dan Komisaris.
Jika diamati secara cermat, maka semua posisi serta status Jabatan Tinggi tersebut di atas mestinya berbanding lurus secara kompatibel dengan kualifikasi dan standard nilai  serta moral yang tinggi pula dari Pejabat Tinggi  yang bersangkutan.

Hal  ini mengandung maksud  bahwa,  perilaku seorang Pejabat Tinggi semestinya menjadi patokan nilai dan  sumber moral bagi orang lain di sekitarnya, terutama para bawahan atau orang yang dipimpinnya dalam suatu organisasi institusi atau korporasi.

Kendatipun begitu, setiap Pejabat Tinggi pada bidang dan sektor apapun cenderung memiliki muatan mental yang dihinggapi oleh sindrom merasa diri lebih penting dari pada orang lain.

Dalam sudut padang Psikologi Sosial,  keinginan untuk diangggap penting adalah salah satu sifat dasar dari manusia. Hal ini  dipertegas oleh Sigmund Freud bahwa,  segala hal yang dilakukan mamusia timbul  dari  salah satu diantara dua motif yakni : dorongan  sex dan keinginan untuk menjadi  besar.

Sedangkan Alfred Adler  melukiskan bahwa,  manusia paling menginginkan agar dirinya menonjol. Kemudian,  William James berpandangan pula bahwa,  prinsip paling mendalam di dalam sifat manusia adalah mendambakan untuk dihargai. Bahkan menurut John Dewey,  dorongan paling dalam di antara semua sifat manusia  adalah keinginan untuk menjadi penting.

Oleh karena itu,  perasaan ingin menjadi besar,  menonjol,  dan dihargai menunjukkan keinginan untuk  meraih status "penting" dalam hidupnya.  

Berkenan dengan itu,  meminjam Asep Faisal (2006) dikatakan bahwa, indikator penting tidaknya seseorang dewasa ini, erat kaitannya dengan tinggi-rendahya jabatan  seseorang. Dengan demikian,  jabatan  tak pelak lagi menjadi sebuah justifikasi yang paling signifikan dalam menentukan penting- tidaknya sesorang. Kecuali itu,  jabatan juga berkelindan dengan privilese,  perlakuan, fasilitas, serta aset dan harta benda.

Meskpun demikian, di tengah gencarnya upaya untuk menggapai jabatan dan mempertahankannya, ada hal yang terlupalan dan luput  dari perhatian banyak pihak yaitu, kejernihan berpikir bahwa,  "lebih baik menjadi orang penting,  atau lebih penting  menjadi orang baik",

Terdapat kecenderungan dimana jabatan  menyimpan perangkap dan jebakan berupa ranjau moral yang sulit dihindari dalam adagium klasik yang disebut sebagai Harta, Tahkta dan Wanita.  

Kerap kali ketiga hal yang disebutkan terakhir ini,  menjadi urgensi soal yang menyebabkan seorang Pejabat Tinggi menjadi jatuh dan meruntuhkan seluruh jalan hidupnya,  karena kerap kali pula orang juga  lupa bahwa,  "kita sering kali jatuh  pada tempat yang kita merasa kita paling bisa" dan hal itu sebagai akibat dari Abuse of Power.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun