Oleh karena itu,  perasaan ingin menjadi besar,  menonjol,  dan dihargai menunjukkan keinginan untuk  meraih status "penting" dalam hidupnya. Â
Berkenan dengan itu,  meminjam Asep Faisal (2006) dikatakan bahwa, indikator penting tidaknya seseorang dewasa ini, erat kaitannya dengan tinggi-rendahya jabatan  seseorang. Dengan demikian,  jabatan  tak pelak lagi menjadi sebuah justifikasi yang paling signifikan dalam menentukan penting- tidaknya sesorang. Kecuali itu,  jabatan juga berkelindan dengan privilese,  perlakuan, fasilitas, serta aset dan harta benda.
Meskpun demikian, di tengah gencarnya upaya untuk menggapai jabatan dan mempertahankannya, ada hal yang terlupalan dan luput  dari perhatian banyak pihak yaitu, kejernihan berpikir bahwa,  "lebih baik menjadi orang penting,  atau lebih penting  menjadi orang baik",
Terdapat kecenderungan dimana jabatan  menyimpan perangkap dan jebakan berupa ranjau moral yang sulit dihindari dalam adagium klasik yang disebut sebagai Harta, Tahkta dan Wanita. Â
Kerap kali ketiga hal yang disebutkan terakhir ini,  menjadi urgensi soal yang menyebabkan seorang Pejabat Tinggi menjadi jatuh dan meruntuhkan seluruh jalan hidupnya,  karena kerap kali pula orang juga  lupa bahwa,  "kita sering kali jatuh  pada tempat yang kita merasa kita paling bisa" dan hal itu sebagai akibat dari Abuse of Power.