Mohon tunggu...
Goris Lewoleba
Goris Lewoleba Mohon Tunggu... Konsultan - Alumni KSA X LEMHANNAS RI, Direktur KISPOL Presidium Pengurus Pusat ISKA, Wakil Ketua Umum DPN VOX POINT INDONESIA

-

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Calon Tunggal di Pilkada dan Resesi Demokrasi

9 Desember 2020   05:11 Diperbarui: 9 Desember 2020   10:07 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga melintas di dekat daftar pasangan Calon Gubernur-Wakil Gubernur Sulsel dan Calon Walikota-Wakil Walikota Makassar saat pemungutan suara pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Sulsel dan Walikota-Wakil Walikota Makassar di TPS 01 Keluarahan Tidung Mariolo Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (27/6/2018). (ANTARA FOTO/YUSRAN UCCANG via kompas.com)

Oleh: Goris Lewoleba

Hari ini, Tanggal 9 Desember 2020, merupakan hari pemungutan suara dalam Pilkada Serentak yang dilaksanakan pada 270 daerah di Indonesia, yang meliputi 224 kabupaten, 27 kota dan 9 propinsi.

Pilkada serentak sebagai hajatan dan atau pesta demokrasi di Tanah Air, kali ini dilaksanakan dengan cita rasa yang campur-aduk, antara kegembiraan dan harapan serta kewaspadaan dalam kecemasan yang tak berujung.

Pasalnya, pesta pemokrasi Pilkada serentak ini dilaksanakan dalam situasi Pandemi Covid-19 yang sudah menimbulkan banyak korban jiwa sejak Bulan Maret 2020 sampai dengan hari ini.

Pandemi Covid-19 tersebut di atas sudah menjadi semacam musibah umat manusia abad ini, karena dialami oleh hampir semua negara di berbagai belahan dunia manapun tanpa kecuali, dengan jumlah korban yang menyesakkan dada serta menyayat hati sanubari.

Meskipun pada mulanya sempat menimbulkan pro dan kontra akan diselenggarakannya Pilkada Serentak di masa pandemi Covid-19 ini, tetapi atas dasar pertimbangan untuk menjaga dan merawat kesinambungan demokrasi secara sehat, serta menghindari konfilk politik dengan eskalasi yang meluas, maka pada akhirnya diputuskan supaya Pilkada Serentak tetap akan dilaksanakan tahun ini.

Pelaksanaan Pilkada Serentak ini dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan secara amat ketat, demi menjaga dan menjamin kondisi kesehatan masyarat sebagai konstituen yang akan berpartisipasi dalam Pilkada Serentak di tahun 2020 ini.

Merawat Demokrasi
Sebagaimana diketahui bersama bahwa, demokrasi merupakan sistem politik yang paling dominan di dunia, yang kemudian diadopsi oleh para founding fathers kita ke dalam sistem politik di Indonesia yang dikenal sebagai sistem politik demokrasi pancasila.

Kecuali itu, demokrasi juga merupakan sistem politik yang paling efektif dan fungsional untuk membangun kesejahteraan ekonomi, kemajuan sosial budaya dan peradaban warga negara. Di samping itu, demokrasi juga merupakan sistem politik yang lebih sedikit mengadung muatan mudarat dibandingkan dengan sistem politik lain, seperti otoritarianisme, teokrasi, dan totalitarianisme.

Dalam hubunganya dengan dinamika dan perkembangan situasi Demokrasi di Indonesia, maka dengan meminjam Allen Hicken (2020), dalam karyanya, Indonesia's Democracy in a Comparartive Perspective dikatakan bahwa, Demokrasi di Indonesia memang tidaklah sempurna.

Meskipun demikian, secara umum Demokrasi di Indonesia dapat dikatakan sehat apabila dibadingkan dengan negara-negara tetangganya.

Lebih lanjut dikatakanya pula bahwa, ada beberapa indikator yang memberi peringatan yang perlu mendapat perhatian untuk menghindarkan Indonesia menuju ke arah otokratisasi.

Beberapa indikator penting itu antara lain, parpol yang lemah, klientelisme elektoral, polarisasi politik dan sosial yang memberikan kontribusi pada lingkungan yang buruk bagi kelompok masyarakat sipil, serta melemahkan kepercayaan pada hasil pemilihan dan memicu kriminalisasi terhadap perbedaan pendapat.

Sehubungan dengan situasi Demokrasi Indonesia sebagaimana dinarasikan di atas maka, The Economist Intelligence Unit (2020) dalam analisisnya menunjukkan bahwa Indeks Demokrasi Indonesia cenderung menurun, di mana dikedepankan bahwa, pada tahun 2016 skor Indonesia 6,97 dan menurun menjadi 6,39 pada tahun 2017. Lalu, pada tahun 2018, skornya konsisten tetap pada posisi 6,39 dan pada tahun 2019 menjadi 6,48, dengan skala penilaian dalam skor (1-10).

Fenomena Politik Calon Tunggal
Untuk dapat memahami wajah Politik dan Demokrasi di Indonesia secara lebih representatif dan memadai, maka sebagaimana yang disinyalir oleh Allen Hicken (ibid) bahwa, Indeks Demokrasi di Indonesia cenderung menurun karena adanya kelemahan partai politik dalam melakukan kegiatan rekrutmen, dan tidak adanya proses kaderisasi secara terbuka yang berorientasi kepada kualitas personal kader, tetapi lebih kepada sistem klientalisme. Hal ini telah memberikan dampak yang signifikan terhadap kualitas dari demokrasi itu sendiri.

Dikatakan demikian karena, klientalisme dapat menjadi modus operandi dalam rangka penguatan kekuasaan melalui penerapan praktik dinasti politik.

Dengan demikian, maka kekuatan praktek politik seperti itu, biasanya berkelindan dengan sistem oligarki kekuasaan yang selalu menghalangi proses kaderisasi politik, yang pada akhirnya hanya akan melahirkan Calon Tunggal di dalam proses Demokrasi pada setiap kesempatan Pemilihan Kepala Daerah.

Padahal, sebagaimana yang dinyatakan oleh Larry Diamond (2003) bahwa, Pilkada merupakan salah satu cara untuk menerapkan nilai-nilai Demokrasi, hal mana akan terjadi proses sirkulasi elit politik secara reguler dalam sebuah negara yang demokratis.

Lebih lanjut ditegaskannya bahwa, Pilkada merupakan ruang bagi pembangunan Demokrasi yang mencakup penguatan masyarakat politik, masyarakat ekonomi dan penguatan masyarakat budaya.

Selain itu, dalam proses Pilkada, terjadi juga sebagaimana yang disebut oleh Goran Hyden yang dikutip oleh Indra Palevi (2020) sebagai arena untuk menciptakan local good governance.

Dengan demikian, melalui Pilkada akan tercipta tatanan pemerintahan lokal yang baik, yang mencakup tiga dimensi yaitu, dimensi aktor pemerintahan, dimensi struktur dan postur pemerintahan di daerah, serta dimensi pengalaman empiris dalam menjalankan roda pemerintahan di daerah.

Calon Tunggal dan Resesi Demokrasi
Dalam praktik politik elektoral, kualitas emokrasi amat ditentukan oleh tingkat Partisipasi Politik dari para pemilih. Dan hal itu sangat ditentukan oleh berbagai variabel dengan frekuensi dan intensitas yang beragam.

Kemudian, dalam konteks situasi masa kini, terutama terkait dengan Pilkada serentak di Indonesia, selain pandemi Covid-19 yang dapat memengaruhi partisipasi pemilih, sosok dan jumlah pasangan calon juga bisa memengaruhi tingkat partisipasi pemilih.

Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana potensi partisipasi pemilih di Pilkada dengan calon tunggal? Pertanyaan ini menjadi amat penting karena hal itu akan dapat menjadi salah satu indikator untuk dapat mengukur sejauh mana terjadinya peningkatan mutu demokrasi secara elektoral atau sebaliknya dapat menjadi sumber soal terjadinya resesi demokrasi.

Hadirnya pasangan calon tunggal dalam Pilkada serentak merupakan suatu keniscayaan dalam dunia politik kontemporer. Pada Pilkada serentak Tahun 2020 ini, KPU mencatat bahwa terdapat 25 Pikada yang digelar dengan pasangan calon tunggal.

Dicatat pula bahwa, jumlah ini meningkat jika dibadingkan dengan Pilkada 2018 yang tercatat ada 13 daerah, di Pilkada 2017 ada 9 daerah, dan pada Pilkada 2015 hanya terdapat di 3 daerah.

Sehubungan dengan hal itu, maka sesuai dengan hasil jejak pendapat Kompas pada awal November 2020, terungkap bahwa, mayoritas responden (70,5 persen), berpendapat bahwa, pasangan calon tunggal berpotensi untuk menurunkan partisipasi pemilih dalam menggunakan hak suaranya.

Lebih lanjut dilaporkan bahwa, kehadiran pasangan calon tunggal juga menggerus minat masyarakat terhadap Pilkada, hal mana disebabkan karena tak ada ruang kontestasi antar-pasangan calon untuk berebut simpati pemilih.

Situasi seperti ini dapat menjadi semacam peringatan serius bahwa, kehadiran pasangan calon tunggal dalam hajatan Pilkada Serentak dapat menjadi faktor pemicu yang signifikan akan adanya resesi demokrasi.

Dikatakan denikian karena, tingkat partisipasi pemilih akan sangat rendah, dan hal itu pula akan dapat memengaruhi kualitas demokrasi itu sendiri.

Situasi seperti ini, yang oleh Eren Marsyukrilla (2020), dikatakan bahwa, hal seperti itu menjadi semakin serius, terlebih jika cara itu digunakan sebagai strategi politik untuk membajak proses demokrasi demi memenangkan pasangan calon tetentu.

Oleh karena itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa, pasangan calon tunggal kerap kali hadir dengan memborong dukungan pencalonan dari partai politik pemilik kursi di DPRD.

Dalam fakta politik, enomena calon tunggal pada akhirnya juga menggambarkan kegagalan partai politik dalam melahirkan kader-kader untuk menjadi calon pemimpin di daerah.

Dan hal ini memberikan konfirmasi yang signifikan dan obyektif bahwa, kehadiran calon tunggal dalam Pilkada serentak akan menimbulkan resesi demokrasi.

Goris Lewoleba
Alumni KSA X LEMHANNAS RI, Direktur KISPOL Presidium Pengurus Pengurus Pusat ISKA, Dewan Pakar dan Juru Bicara DPN VOX POINT INDONESIA

*) Tulisan ini, Pendapat Pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun