Mohon tunggu...
Goris Lewoleba
Goris Lewoleba Mohon Tunggu... Konsultan - Alumni KSA X LEMHANNAS RI, Direktur KISPOL Presidium Pengurus Pusat ISKA, Wakil Ketua Umum DPN VOX POINT INDONESIA

-

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Silau KPU Menembus Mata KPK

11 Januari 2020   17:13 Diperbarui: 15 Januari 2020   17:30 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagai petir di siang bolong, publik di Tanah Air dikejutkan dengan OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK terhadap dua orang terduga pelaku tindak pidana korupsi di awal tahun 2020 ini.

Meskipun Operasi Tangkap Tangan merupakan salah satu senjata andalan dari KPK, dan sudah menjadi semacam Trade Mark dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, tetapi OTT kali ini lebih mengandung nuansa politik yang amat kental karena berkelindan dengan oknum Komisioner KPU sebagai Lembaga Penyelenggara Pemilu di negeri ini, di mana oknum dimaksud berinsial WS.

Dan ironisnya, oknum Komisioner KPU ini juga, konon merupakan Pejabat Tinggi KPU yang paling "getol" melarang para mantan koruptor untuk mencalonkan diri menjadi peserta Pemilu di negeri ini, baik sebagai Anggota Legislatif maupun sebagai Kepala Daerah.

Korupsi Elit Politik

Operasi Tangkap Tangan oleh KPK ini, disinyalir pula bahwa, hal itu berhubungan dengan soal suap menyuap para elit politik terkait dengan PAW (Pergantian Antar Waktu) Anggota Legislatif Pemenang Pemilu 2019, dari salah satu Partai Politik Besar yang amat populer di Tanah Air.

Bahwa OTT kali ini hampir bersamaan waktunya dengan OTT Bupati Sidoarjo, tetapi publik rupanya sudah amat paham dan sangat familiar dengan OTT bagi Kepala Daerah, terutama bagi para Bupati/Walikota yang merupakan "raja-raja kecil di daerah"

Dikatakan demikian karena, sebagaimana ditegaskan dalam Tajuk Rencana Kompas (8 Oktober 2019) bahwa, dalam tahun 2019 yang lalu, hampir setiap bulan selalu saja diberitakan soal pejabat negara yang terjerat kasus korupsi.

Sebagai misal, belum sebulan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi ditetapkan sebagai tersangka, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menangkap tangan Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara, pada hari Minggu (6 Oktober 2019) malam.

Gencarnya KPK melakukan penindakan, rupanya tidak membuat jera para koruptor. Di Provinsi Lampung, sejak tahun 2018, KPK menangkap Bupati Lampung Tengah Mustafa, lalu, November 2018, korupsi menjerat Bupati Lampung Selatan Zainudin Hasan.

Kemudian, pada Januari 2019, giliran Bupati Mesuji, Khamami ditangkap KPK. Sanksi hukumnya pun tidak ringan. Zainuddin misalnya, dihukum 12 tahun penjara, dan Hak Politiknya pun dicabut tiga tahun setelah menjalani pidana.

Dari tahun ke tahun, jumlah Bupati/Walikota yang terjerat korupsi, bukannya berkurang, tetapi justeru semakin bertambah banyak.

Data KPK menunjukkan bahwa, sejak tahun 2004 hingga 2018, sudah 101 Walikota/Bupati atau Wakilnya yang tertangkap kasus korupsi.

Silau KPU Merusak Susu Sebelanga

Operasi Tangkap Tangan terhadap WS, Komisioner KPU, telah menggetarkan hati nurani banyak kalangan, karena OTT terhadap WS Komisioner KPU ini ibarat Nila Setitik, Merusak Susu Sebelanga.

Pasalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Periode ini, baru saja melaksanakan Perhelatan Politik Nasional, berupa Pesta Demokrasi Pemilu Serentak, baik Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden.

Perhelatan Pesta Demokrasi itu, telah dilaksanakan secara impresif dan sukses serta mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, baik di dalam negeri maupun di kalangan Dunia Internasional.

Hal ini disebabkan karena, berdasarkan pengalaman pembanding secara empiris dan kenyataan politik praktis dengan penyelengaraan Pemilihan Umum di negara manapun di seantero jagad ini, Pemilu Serentak di Indonesia 2019 lalu, dipandang oleh hampir semua kalangan sebagai Pemilu paling rumit di dunia.

Apalagi perhelatan Pesta Demokrasi itu, terutama Pemilu Presiden, dilaksanakan dengan pertarungan yang amat sengit dan alot, serta cenderung brutal, antara Pasangan 01 dan Pasangan 02, atau Pasangan Joko Widodo-KH Ma'aruf Amin dan Pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Bahkan, "sangking" keras nya pertarungan politik sebelum dan selama perhelatan Pemilu,serta pasca-Pemilu, telah banyak menyita perhatian publik di Tanah Air dan di kalangan mancanegara.

Kemudian, sebagai konsekwensi dari kerasnya pertarungan perebutan kekuasaan dan alotnya penentuan suara pemenang, maka pada akhirnya pemenang Pemilu Pilpres ditentukan dan diputuskan oleh MK (Mahkamah Konstitusi) sesuai dengan Ketentuan Perundang-undangan yang berlaku di negeri ini.

Meski begitu, momentum Penyelenggaraan Pesta Demokrasi Pemilu Serentak 2019 yang diselenggarakan oleh Komisioner KPU beserta seluruh jajarannya, telah menjadi tonggak sejarah baru Demokrasi di negeri ini, baik dalam konteks Demokrasi Prosedural maupun konteks Demokrasi Substansial.

Seluruh proses demokratisasi Pemilu dimaksud berjalan dengan amat lancar sampai dengan penetapan pemenang Pemilu Pilpres, bahkan sampai pada Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joko Widodo-KH Ma'aruf Amin.

Namun, sayangnya, di awal Tahun 2020, di Gerbang Perhelatan Pesta Demokrasi Pilkada Serentak tahun ini, seorang Komisioner KPK terjerat Operasi Tangkap Tangan, hanya karena "silau melihat godaan suap" di depan mata.

Lalu, dengan itu, maka semua reputasi yang dibangun dan dijaga selama ini, menjadi lenyap seketika dan kemudian, perilaku itu menjadi seperti Nila Setitik, Merusak Susu Sebelanga.

Bicara dengan Suara Hati

Di tengah karaguan publik dan skeptisnya sebagian pihak akan kuatnya daya gedor KPK yang bakal melemah sebagai konsekuensi dari diterapkanya UU No. 19 Tahun 2019, tiba-tiba muncullah gebrakan KPK melalui Operasi Tangkap Tangan terhadap para oknum tindak pidana Korupsi yang mencengangkan semua pihak di negeri ini.

Meskipun aksi OTT kali ini merupakan residu tindakan dari KPK periode lalu, tetapi hentakan KPK di awal tahun 2020 ini telah memberi sinyal kuat kepada publik, dan terutama kepada para koruptor, bahwa KPK masih amat power full dan oleh karena itu janganlah coba-coba untuk dilawan.

Demikian pun harapan publik kepada Konsioner KPK berikut Badan Pengawas KPK agar hendaklah senantiasa tetap komit dan konsisten dalam upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Memperhatikan dinamika dan perkembangan situasi serta Upaya Pemberantasan Korupsi di negeri ini, tampak jelas dan nyata terasa bahwa, tindak pidana Korupsi tidak pernah berkurang, bahkan cenderung semakin menjadi.

Lalu, muncul pertanyaan di mata dan hati publik, mengapa korupsi tidak pernah berkurang, meski Operasi Tangkap Tangan terus menerus dilakukan.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa, korupsi merupakan perilaku tercela, tetapi pada saat yang bersamaan, para koruptor dapat mempertontonkan berbagai anomali gestur di muka publik.

Para koruptor bisa tersenyum lepas, dan terlihat tanpa beban di depan kamera. Tampaknya rasa malu para koruptor telah hilang tanpa bekas.

Dalam sudut pandang sosial budaya, akar masalah dari soal ini adalah "runtuhnya moralitas sebagai sumber nilai kehidupan yang bermartabat".

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka dengan meminjam Y.F. Lakahija (2009), mengatakan bahwa, hal yang menjadi akar masalah dalam soal ini adalah tarikan magnetis budaya korup.

Ditegaskannya, bahwa korupsi yang membudaya membuat kita pesimis akan terwujudnya good governance.

Dalam menghadapi situasi ini, para pemangku kepentingan sebaiknya sadar dan percaya akan suatu situasi yang oleh Hlderlin, seorang penyair Jerman, menyebutnya sebagai suatu adagium yang berbunyi : Wo aber Gefahr ist, wachst das Rettende auch ("Dimana ada bahaya, di situ muncul yang menyelamatkan")

Lalu, siapa yang menyelamatkan ketika muncul tanda bahaya dimana seseorang silau melihat godaan akan korupsi ? Jawabanya adalah "Suara Hati"

Terkait dengan hal tersebut di atas, maka siapapun baik dalam posisi di grass root maupun Pejabat Negara seperti Komisioner KPU, janganlah hendaknya meninggalkan Sura Hati, yang mengenal betul suatu perbuatan kita itu baik atau buruk, boleh atau tidak boleh suatu perbuatan itu dilakukan.

Sehubungan dengan kepatuhan akan Suara Hati, maka Erich Fromm dalam bukunya The Art of Loving (2017), membagi Suara Hati menjadi dua, yaitu : Suara Hati Otoriter dan Suara Hati Humanistik.

Mereka yang memiliki Suara Hati Otoriter, berbuat baik karena desakan dari luar. sebaliknya, mereka yang memiliki Suara Hati Humanistik melakukan perbuatan baik, karena murni sebagai dorongan pribadi, dengan semboyan, " Saya melakukan apa yang harus saya lakukan".

Dengan pandangan yang demikian, maka siapapun, tak terkecuali Komisioner KPU, melalui Bimbingan Suara Hati Humanistik, tidak pernah akan silau melihat godaan suap di depan mata.

Jika godaan itu membuat Silau KPU, apalagi Silau itu sampai menembus Mata KPK, maka sudah pasti siapapun tanpa kecuali, akan berurusan dengan OTT KPK.

Goris Lewoleba
Alumni KSA X LEMHANNAS RI, Direktur KISPOL Presidium Pengurus Pusat ISKA, Dewan Pakar VOX POINT INDONESIA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun