Paus Fransiskus berkunjung ke negara Islam terbesar di dunia. Perjalanan ini amat bersejarah. Ini adalah perjalanan internasional ke-18 sejak ia menjadi Paus, Pemimpin Gereja Katolik sedunia.
Perjalanan ini dimulai pada Jumat 28 April sampai Sabtu 29. Hanya 2 hari, namun amat bersejarah. Sejarah yang dimulai di Bandara Internasional Fiumicino Roma pada pukul 10.42. Pesawat Airbus A321 dari Alitalia berangkat pukul 11.07 membawa Paus dan rombongan ke Bandara Internasional di kota Cairo, Mesir. Paus tiba di kota ini pada pukul 14.00 waktu setempat.
Mesir menjadi negara ke-27 sebagai tujuan kunjungan Paus Fransiskus. Kunjungan ini dibuat untuk memenuhi undangan negara Mesir melalui Imam Besar Al-Azhar Shaykh Ahmad Al-Tayeb, Presiden Mesir Abdul al-Fattah al-Sisi, dan Pemimpin Gereja Kristen Koptik seluruh Mesir Patriarca Tawaadros II. Tiga orang penting inilah yang bekerja di balik undangan untuk Vatikan ini. Vatikan pun meresponsnya dengan kunjungan ini.
Indonesia memang memiliki umat Muslim terbanyak nomor 1 di dunia. Bedanya dengan Mesir adalah soal budaya dan sistem politik. Dan persis, karena kedua sistem inilah yang membuat Mesir dianggap sebagai Negara Muslim Terbesar di dunia. Koran Popotus 27 April 2017 menulis bahwa, “Mesir memiliki warga Muslim mayoritas dan mereka memiliki pengaruh yang kuat dalam bidang budaya dan politik nasional.” Universitas Al-Azhar di Mesir adalah salah satu pionir peradaban Mesir. Dan, di universitas berusia 1000-an (dibangun sekitar tahun 975 M) tahun inilah Paus Fransiskus berbicara pada kaum muda Mesir.
Paus dalam sambutannya di Universitas Islam Sunni Al-Azhar memulai dengan seruan damai dalam bahasa Arab, As-salamu 'alaykum (semoga damai menyertai kalian semua). Perjalanan ini memang bertujuan untuk membawa damai bagi rakyat Mesir. Di alun-alun kota Cairo dan juga di beberapa kora tersebar slogan Pope of Peace in Egypt of Peace. Dengan slogan ini, Paus dan warga Mesir kiranya memiliki harapan yang sama yakni mendapatkan perdamaian.
Universitas al-Azhar sebagai organisator Konferensi Internasional ini memilih tema, Kita semua adalah parter untuk memperjuangkan perdamaian. Universitas yang menampung banyak mahasiswa muda ini menjadi perhatian besar Paus Fransiskus. Kepada mereka, Paus mengatakan, “Tidak akan ada perdamaian jika tidak ada proses Pendidikan yang memadai bagi kaum muda sebagai generasi penerus.” Pesan damai ini juga bergema untuk kaum muda lainnya (usia di bawah 30 tahun) yang berjumlah 70% dari penduduk Mesir. Paus berharap agar pesan damai ini sampai pada telinga kaum muda. Harapan ini juga ia sampaikan kepada Imam Besar al-Tayyb yang ia sapa sebagai “Saudara”. Sapaan ini menandakan eratnya persaudaraan antara Imam Mesir dan Paus Argentina ini.
Dua orang penting dari 2 agama berbeda ini adalah pionir perdamaian. Mereka sama-sama menolak kekerasan atau peperangan atas nama agama. Berkali-kali Paus Fransiskus menyerukan slogan tidak ada agama yang berwajah teroris. Seruan ini juga yang ia dengungkan kembali di Universitas al-Azhar, tidak ada kekerasan atas nama Tuhan, kata Paus. Di Vatikan, pada 23 Mei 2016 yang lalu, Paus di hadapan Imam al-Tayyb mengulang kalimat ini, membunuh atas nama Tuhan adalah tindakan Setan. Saat itu, Paus dan Imam besar saling merangkul menandakan nada damai dalam suasana dialog.
Suster Samiha adalah Kepala Sekolah di St George School, Cairo. Sekolah ini memiliki murid baik Kristiani maupun Islam. Di sekolah ini kiranya persatuan itu nyata. Maka, harapan Suster Samiha bukan saja impian kosong tetapi sudah mulai dari tempat ia bekerja.
Di sekolah ini, murid Kristiani dan Islam mengenyam pendidikan bersama. Tidak ada konflik yang memisahkan. Semangatnya memang adalah perdamaian dan persatuan. Semangat ini kiranya perlu dikuatkan apalagi dengan adanya gerakan teroris akhir-akhir ini di Mesir. Warga minoritas Kristiani menjadi korban nyata dalam dua aksi teroris belakangan. Paus Fransiskus dalam pertemuannya dengan otoritas sipil Mesir mengingatkan semangat ini. Kepada mereka, Paus berharap agar suasana damai terus diperjuangkan. Perdamaian ini kiranya juga untuk seluruh daerah Timur Tengah. Itulah sebabnya, Paus mengatakan, “Dari Siria sampai Libia, perdamaian harus terus diperjuangkan.”
Jika masih hidup, para korban ini akan menjadi saksi sejarah yang menarik. Sayang, darah mereka menjadi korban aksi para penjahat. Besar harapannya agar mereka menjadi korban yang terakhir. Kita berharap agar peristiwa seperti ini tidak akan terulang lagi. Paus Fransiskus dalam komentarnya terhadap peristiwa pembunuhan 3 Suster Xaverian di Burundi tahun 2014 yang lalu mengatakan, darah para martir ini akan menjadi benih iman bagi umat Burundi. Akankah darah para martir Mesir akan menjadi benih iman bagi warga Mesir?
Benih ini memang bisa menjadi berkat jika ada perubahan dalam situasi keamanan. Tanpa itu, benih ini tidak akan tumbuh. Seperti benih lainnya, benih iman akan tumbuh hanya pada tanah yang subur, tanah tanpa konflik, tanah yang damai. Pada perjalanan ke Mesir, dalam acara konferensi dengan para jurnalis di dalam pesawat, Paus memberkati seorang jurnalis Rusia yang sedang hamil. Vera Shcherbakova dari agenzia Itar-Tass Rusia mengatakan kepada Paus, “Saya adalah jurnalis pertama yang mengadakan perjalanan dengan Paus dalam kondisi saya yang sedang hamil.” Vera kemudian menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat. Paus menjawabnya dengan senyum dan dengan tangannya, membuat tanda salib pada perut Vera.
Umat Muslim masuk ke Mesir pada abad ke-7 Masehi. Tepat sekitar 600 tahun setelah kedatangan umat Kristiani Koptik. Kata Koptik atau ‘Copto’ berarti ‘egiziano atau Egypt yang berarti Mesir’. Jadi, Kristen Koptik menunjuk pada orang Kristen Mesir. Orang Kristen Koptik berjumlah 10 juta dan menjadi minoritas di Mesir (sekitar 10-15% dari total penduduk Mesir). Sekitar 90% dari mereka adalah Kristen Ortodoks, sisanya beragama Katolik.
Orang Kristen dan Islam sudah hidup bersama sejak ribuan tahun. Mereka tinggal dan bekerja bersama di setiap sudut kota dan wilayah mereka. Anak-anak mereka mengemyam pendidikan di tempat yang sama. Mereka juga berbagi suka dan duka baik sosial maupun politik serta ekonomi. Kehidupan seperti ini adalah gambaran kehidupan umat beragama yang damai, tanpa fitnah, tanpa saling menguasai.
Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.
PRM, 29/4/2017
Gordi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H