Obyek wisata terkenal di jantung kota Roma itu sejenak menjadi gelap. Hanya ada lampu lilin di mana-mana dan remang-remang seadanya. Inilah suasana malam Jumat Agung di Koloseo Roma.
Di obyek sejarah bernama il colosseo ini-lah dilangsungkan Perayaan Jalan Salib Yesus. Paus Fransiskus memimpin langsung perayaan malam ini. Suasana sunyi pun langsung dimulai pada pukul 9 malam waktu Roma. Di sekitar koloseo, penjagaan dari pihak keamanan pun ketat. Sejak pukul 13.00 hari Jumat tadi, jalan-jalan dan obyek wisata di sekitar sudah ditutup untuk umum. Penutupan ini sekaligus menegaskan betapa pentingnya upacara malam Jumat ini. Tingkat keamanan menjadi tujuan utama dari penjagaan ini.
Dengan ini, perayaan ini pun berlangsung aman. Suasana nyaman inilah yang dialami oleh warga Roma dan wisatawan manca negara yang ikut dalam perayaan ini. Dari ke-14 perhentian dalam Jalan Salib ini, hampir semuanya diwakilkan oleh banyak orang dari seluruh dunia. Mereka mendapat jatah untuk membawa Salib di setiap perhentian.
Dari Asia misalnya ada suster dari India, sepasang anak muda dari Cina. Dari Afrika juga demikian, ada suster dan anak muda dari Mesir dan seorang pastor dari Israel. Dari Amerika Latin, ada anak muda dari Kolumbia. Dari Eropa bervariasi, mulai dari penyandang disabilitas dari Italia sampai pasangan muda dari Prancis, Portugal, dan Polandia.
Perwakilan dari berbagai negara ini dipilih karena berbagai alasan. Untuk Kolombia dan Mesir misalnya karena menjadi tempat kunjungan Paus Fransiskus nanti. Demikian juga dengan Israel yang punya ikatan spiritual dengan kota Roma. Perayaan Jalan Salib ini memang mempunyai ikatan bukan saja soal tempat dan sejarah tetapi juga spiritual.
Selain masalah ini, tema menarik dalam meditasi Jalan Salib ini adalah tentang perempuan. Tema ini kiranya tidak asing sebab penulis meditasi jalan salib adalah seorang perempuan: Anne-Marie Pelletier (70 tahun) dari Prancis. Doktor Kitab Suci yang mengajar ermeneutica biblica (tafsir Kitab Suci) di Collรจge des Bernardins di kota Paris ini dipilih langsung oleh Paus Fransiskus.
Paus kiranya tidak asal pilih. Pelletier memang bukan sekadar Teolog dan Ahli Kitab Suci. Selain sebagai seorang istri dan Ibu dari 3 anak, dia adalah pemenang hadiah il Premio Ratzinger pada 2014 yang lalu. Hadiah ini diberikan pada para Teolog berprestasi dari seluruh dunia. Jangan heran jika nama Josef Ratzinger sebagai Filsuf dan Teolog kondang abad ini sengaja disematkan dalam hadiah berprestisius ini. Pelletier adalah satu dari para teolog berprestasi ini.
Sebagai seorang Ibu, Pelletier pun ikut merefleksikan masalah kaum perempuan saat ini. Pada perhentian ke-7 (Yesus dan para Perempuan Yerusalem), Pelletier menulis tentang tangisan. Perempuan Yerusalem pada saat itu memang menangis melihat Yesus yang memikul salib dalam keadaan tanpa berpakaian. Tangisan seperti iniโtulis Pelletierโmasih terjadi saat ini. Misalnya, tangisan anak-anak yang diteror, tangisan anak yang terluka di tempat penampungan sambil mencari sang ibu yang hilang, tangis karena kesepian dari para orang sakit, juga tangisan penderitaan lainnya. Kita semua kiranya sepakat dengan Pelletier bahwa masih banyak bentuk tangisan lainnya di dunia yang tidak aman ini.
Memang, tangisan dan penderitaan sudah sejak lama ada, dan akan selalu ada bersama kita. Pengkhotbah dari Tahta Suci Vatikan Pastor Raniero Cantalamessa mengingatkan tema ini pada acara kenangan akan penderitaan Yesus pada Jumat sore hari di Vatikan. Pastor Cantalamessa mengatakan, โKematian yang kejam seperti yang Yesus alami tidak jauh berbeda dengan berita tentang kematian yang mewarnai koran dan TV seperti yang terjadi dengan anak-anak Siria, kematian 38 orang Kristen Koptik Mesir pada Minggu Palma kemarin.โ
Jarak yang jauh (2000 tahun) antara keduanya seolah-olah menjadi dekat. Peristiwa yang lama itu seolah-olah baru terjadi kemarin. Ini terjadi karenaโtegas Pastor Cantalamessaโsejarah kehidupan kita tidak lepas dari penderitaan dan tangisan karena kekejaman dunia. Kekejaman ini juga yang selalu dikenang setiap kali kita mengadakan upacara Jalan Salib pada setiap Jumat Agung dalam tradisi Gereja Katolik.
Di balik sisa bangunan kuno di Koloseo Roma, kekejaman yang dialami Yesus itu terus direfleksikan dan dikenangkan. Paus Fransiskus berada di tempat ini untuk kesekian kalinya sejak 2013 yang lalu. Perayaan Jalan Salib di Koloseo Roma ini memang punya sejarah yang menarik sesuai perjalanan pastoral dari beberapa Paus dalam Gereja Katolik Roma.
Dalam perjalanan selanjutnya, tradisi Jalan Salib di Koloseo ini mengalami pasang surut. Dari tahun 1750, tradisi ini berjalan sampai pada masa persatuan Italia atau dikenal sebagai lโUnitร dellโItalia (17 Maret 1861). Usia tradisi ini lebih dari 1 abad. Munculnya persatuan Italia ini rupanya mengaburkan tradisi Jalan Salib. Salib yang dipasang dan ke-14 pemberhentian yang sudah terpaku di kompleks Koloseo pun ikut hilang jejaknya. Salib dibawa kembali ke dalam Vatikan sebab sejak saat itu, para Paus juga melanjutkan tradisi Jalan Salib dalam lingkungan negara Vatikan.
Tradisi Jalan salib di Koloseo muncul lagi pada zaman Paus Yohanes XXIII, tepatnya pada 1959. Sayang, tradisi ini bak bunga di musim panas, cepat layu. Hanya beberapa tahun saja lalu hilang lagi. Paus Paulus VI pada 1965 menghidupkan kembali tradisi yang sempat padam ini. Pada tahun yang sama, acara Jalan Salib pun mulai disiarkan melalui program eurovisionedari RAI Italia. Program ini dikembangkan sayapnya dengan mondivisione pada tahun 1977. Sejak saat ini, dunia pun bisa menikmati tradisi ini melalui layar kaca yang tersebar di berbagai penjuru.
Dengan siaran ini, tradisi Jalan Salib ini pun mulai dikenal oleh banyak orang. Para partisipan pun ikut bertambah. Bukan terbatas pada warga Roma dan Italia tetapi juga para turis dari berbagai negara. Dengan situasi ini, Paus Yohanes Paulus II menyadari bahwa penulis meditasi pun hendaknya dipercayakan kepada berbagai kalangan.
Dari pilihan ini, bisa dilihat bahwa tradisi Jalan Salib ini mengalami perkembangan yang amat bagus. Munculnya berbagai tokoh yang menulis meditasi membuat upacara Jalan Salib ini menjadi milik semua orang. Seperti Koloseo Roma yang terbuka bagi semua orang, upacara Jalan Salib ini pun tidak tertutup hanya untuk negara Vatikan saja. Yesus dulu menghidupi poenderitaannya di Yerusalem dan sekitarnya. Saat ini, penderitaan Yesus itu dipindahkan di berbagai tempat termasuk di Koloseo Roma. Dengan tradisi Jalan Salib ini, Yesus pun tampak seperti disalibkan di Koloseo Roma.
Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.
PRM, 15/4/2017
Gordi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H