Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita è bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Puasa Katolik: Ampun Seribu Ampun

2 Maret 2017   06:09 Diperbarui: 4 Maret 2017   14:00 5197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Manusia dari debu, Abu di dahi pada Rabu Abu, FOTO: cantualeantonianum.com

Manusia hanyalah sebuah butiran debu sehingga mestinya ringan. Kalau menjadi berat, boleh jadi manusia itu menampung debu lain yang tak berguna. Debu yang kotor biasanya lengket dan akan menjadi tebal. Ketebalan ini membuat debu menjadi makin berat.

Paus Fransiskus mengoleskan Abu di dahi umat pada Rabu Abu sebagai awal masa puasa, FOTO: globalplus.thearda.com
Paus Fransiskus mengoleskan Abu di dahi umat pada Rabu Abu sebagai awal masa puasa, FOTO: globalplus.thearda.com
Dalam Gereja Katolik, masa puasa sering diidentikkan dengan masa untuk berubah. Dalam bahasa rohaninya disebut masa untuk bertobat. Perubahan inilah yang diperjuangkan oleh umat Katolik selama 40 hari. Berubah terutama dari yang buruk menjadi yang baik. Maka, perubahan yang utama adalah yang berasal dari diri sendiri. Masa puasa dengan demikian bukan masa untuk menunjuk pada orang lain tetapi terutama dan pertama-tama menunjuk pada diri sendiri.

Inilah perubahan yang asli dan murni. Karena asli dan murni, umat Katolik pun tidak boleh melarang orang lain untuk tidak menjual makanan yang enak dan menggoda selama masa puasa. Puasanya akan makin baik jika Anda melihat makanan itu dan tidak tergoda untuk memakanannya dengan penuh nafsu. Ini bukan puasa. Ini namanya membatasi kebebasan orang lain. Dan, ini tentu saja bertolak belakang dengan nilai masa puasa yakni berjalan menuju pembebasan.

Di Italia—negara bermayoritas Katolik—tidak ada larangan menjual makanan selama masa puasa. Mereka tahu, kalau ada larangan, roda perekonomian berhenti berputar. Gereja Katolik sendiri memang tidak melarang hal ini. Malahan, Gereja memberi kebebasan pada umatnya untuk menikmati semuanya ini dalam semangat berpuasa. Maksudnya, Anda tetap berpuasa dalam situasi seperti ini. Sebab, bukan mereka yang berpuasa tetapi Anda, sehingga Anda mesti menyesuaikan diri dengan mereka, dan bukan sebaliknya. Menarik sekali.

Perubahan erat kaitannya dengan pengharapan. Hanya mereka yang punya harapan-lah yang biasa berubah. Atau sebaliknya, orang yang mau berubah adalah orang yang memiliki pengharapan. Maka, seberat apa pun kesalahan itu, selalu ada kemungkinan untuk dimaafkan. Inilah pengharapan. Lagu di atas tadi—khususnya bait ke-2—menggambarkan pengharapan ini. Manusia memohon ampun atas kesalahannya dan pada akhirnya dia akan kembali pada jalan yang Tuhan tunjukkan.

Pengharapan ini menjadi salah satu tema penting dalam puasa umat Katolik. Paus Fransiskus dalam audiensi Rabu-an kemarin menyinggung soal ini. Paus bilang bahwa masa puasa adalah sebuah jalan pengharapan. Jalan ini kadang berat. Bayangkan selama 40 hari, umat Katolik mesti berpuasa. Puasa ini konkretnya dalam 3 bentuk yakni berpantang, berdoa, dan memberi sedekah. Berpantang di sini tidak terkait dengan larangan minum dan makan ini atau itu. Pantang yang dianjurkan oleh Gereja Katolik adalah pantang makan daging terutama sekali pada Rabu Abu (awal masa puasa) dan Jumat Agung (jelang akhir).

Billy Ray Harris, seorang pengemis di Kansas City, FOTO: scuolazoo.com
Billy Ray Harris, seorang pengemis di Kansas City, FOTO: scuolazoo.com
Namun, pantang dalam bentuk lainnya bisa dipilih sendiri. Asal niatnya jelas untuk berubah. Maka, umat Katolik pun misalnya bisa pilih pantang rokok selama masa puasa, pantang makanan tertentu yang paling ia sukai, pantang judi—jika ia penjudi. Pantang di sini bertujuan agar dia menyadari keadaannya dan berubah ke jalan yang baik. Maka, inti dari pantang adalah kembali menjadi diri sendiri yang berubah. Pantang—dengan demikian—bukan sekadar tidak berbuat ini dan itu tetapi lebih pada motif mengapa saya mesti menanggalkan kebiasaan ini dan itu.

Hal yang sama berlaku untuk berdoa dan bersedekah. Berdoa mestinya ditingkatkan selama masa puasa. Jika selama ini mungkin hanya berdoa untuk diri sendiri, di masa puasa diusahakan berdoa juga untuk orang lain, untuk negara, dunia, gereja, warga yang terkena bencana, yang kelaparan, yang susah mendapat layanan pendidikan, yang terkena gizi buruk, yang hidup dalam peperangan, dan sebagainya. Berdoa model ini tidak berpusat pada diri sendiri tetapi pada orang lain. Oleh karena itu, doa ini mesti lahir dari lubuk hati yang paling dalam.

Bersedekah juga menjadi satu dari tiga hal yang dianjurkan selama masa puasa. Bersedekah di sini lebih berarti memerhatikan keadaan orang lain. Jika dalam berdoa, perhatian ini terutama dijiwai dengan doa, dalam bersedekah perhatian ini menjadi nyata. Maka, memberi—sebesar atau sekecil apa pun—menjadi amat penting. Bersedekah—dengan demikian—bukan terutama pada jumlah bantuan tetapi pada kerelaan hati untuk memberi.

Rasa-rasanya puasa seperti ini sulit sekali. Umat Katolik pun tentunya merasakan sulitnya. Maka, jika Anda tidak ingin merasakan keadaan yang sulit, jangan memilih menjadi orang Katolik. Kesulitan ini rasa-rasanya seperti berjalan dalam gelap. Paus Fransiskus pun menggambarkan kesulitan ini seperti berjalan dalam kegelapan. Tetapi—menurut Paus—di ujung jalan ini ada terang. Itulah sebabnya, Paus menamai masa puasa sebagai masa pengharapan.

Pengaharapan ini—lanjut Paus Fransiskus—nyata dalam perjalanan dari gelap menuju terang. Dalam sejarahnya, masa puasa 40 hari ini mau menggambarkan perjalanan umat Israel menuju Tanah Terjanji. Umat Israel—sebagaimana diceritakan dalam Perjanjian Lama—bahkan berjalan lebih dari 40 hari. Perjalanan mereka disimbolkan dengan angka 40 tahun. Ini berarti makin lama lagi. Ini memang hanya angka simbolis saja. Maka, Gereja Katolik memilih untuk menyimbolkannya juga dengan 40 hari dalam setiap tahunnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun