Siapa yang berteman dengan buku, tidak akan merasa sepi. Dari ruang kelas sampai rumah sakit bahkan di kamar mandi pun. Fantasinya juga menembus dinding tembok dan melalang buana jauh di angkasa. Meski, dia tetap tinggal dalam tempat yang sama.
Kredo ini adalah gambaran yang disematkan pada seorang pecinta buku di kota Palermo, Italia Selatan. Dia memang hobi membaca. Buku adalah teman hidupnya. Kata mamanya, sejak kecil dia sudah bisa membaca. Jangan heran jika saat mulai sekolah, dia jauh lebih maju dari teman sebayanya.
Namanya Gioele Ciulla (10), siswa SD di pinggiran kota Palermo. Usianya yang masih kanak-kanak ini tidak sebanding dengan kemampuannya yang terbilang dewasa. Rupanya Gioele adalah seorang motivator bagi teman-temannya. Dia membuat paling tidak lebih dari sekali perlombaan membaca puisi, menulis, dan membawakan teater di sekolahnya. Kekreatifannya ini mengundang pujian yang tinggi dari para gurunya.
Illuminata Sabella, salah satu gurunya, memuji kehebatan Gioele. Katanya, “Tahun lalu, Gioele menjadi koordinator untuk perlombaan membaca puisi, dansa, teater, dan juga pesta akhir tahun ajaran di sekolah untuk kelas IV SD.” Ini berarti Gioele memegang peranan penting. Peranan yang membuat guru dan teman kelasnya ikut berpartisipasi. Jiwa sosial ini rupanya tumbuh juga dalam diri anak SD ini.
Gioele mulai masuk SD di kota Palermo pada umur 6 tahun. Di Italia—pada umumnya—usia SD berkisar 6-11 tahun. Rentang waktunya hanya 5 tahun. jadi, hanya ada kelas 1-5 SD. Sebelumnya, Gioele dan orang tuanya Giuseppe dan Annunziata tinggal di kota Udine, Italia Utara.
Bakat Gioele yang luar biasa ini tumbuh dengan bantuan sang Mama dan juga sang Gurunya di sekolah. Mama menemaninya di rumah sakit sambil membaca buku. Demikian juga dengan Gurunya. Malahan, Gioele menyuruh Guru ini membakan beberapa volume buku baru. Gioele ingin melahap buku ini sambil berbaring di rumah sakit.
Cinta akan buku rupanya membuat Gioele tak tampak seperti orang sakit. Dari rumah sakit, ia berkomunikasi dengan teman kelasnya. Kunjungan dari teman-teman pun datang. Dalam kunjungan ini, mereka menceritakan perkembangan di kelas. Mereka semua ingat, Gioele-lah yang mencetuskan ide membuat lomba di kelas. Gioele ingin membagikan bakat membacanya ini pada teman-teman kelasnya. Gioele memulainya dengan lomba bermain kata, bercerita, dan membuat drama bertema budaya.
Ide lomba ini diteruskan oleh sang Guru. Guru yang merasa tersentuh dengan inisiatif Gioele ini berusaha melanjutkan lomba ini. Ia pun mulai membiasakan anak-anak SD sejak kelas 1 untuk membaca buku, meransang rasa ingin tahu, mengunjungi perpustakaan dan toko buku. Tantangannya memang besar—kata sang Guru.
Kegiatan ini boleh dibilang sisi lain dari kehidupan sosial anak-anak saat ini. Guru ini mengakui jika di sisi sebelahnya ada kecenderungan siswa SD untuk berselancar dengan dunia maya. Maka, pilihan untuk membaca dan mengunjungi perpustakaan pun ditantang dengan pilihan untuk bermain hp, komputer dan berbagai bentuk jaringan sosial lainnya.
Sang guru tidak mau menyerah. Ia terkesima dengan inisiatif Gioele. Baginya, Gioele adalah pencetus dari semua ini. Ia tidak ingin mengabaikan inisiatif yang amat berharga ini.
Gioele sendiri merasa terbantu dengan kehadiran sang Guru yang mendukung inisiatifnya. Suatu hari, ia—dengan nada semangat dan senang—berkata pada sang Guru, “Kamu selalu menyambut saya dengan senyum. Itulah sebabnya, saya datang ke sekolah dengan rasa bahagia yang luar biasa.”
Pesan ini membuatnya sedih dan merasa kehilangan. Siapa yang tidak sedih jika ditinggalkan oleh orang yang dicintai? Perasaan inilah yang dirasakan oleh sang Guru. Ia mencintai muridnya yang menderita sakit fisik ini. Bersama murid-muridnya, sang Guru membuat lagu dan pesan untuk Gioele. “Kami merindukanmu. Kamu adalah contoh bagi kami semua.” Inilah isi pesan mereka untuk sang Pencetus, Gioele.
Gioele kini telah tiada namun jejaknya masih ada. Ia berhasil menghidupkan semangat baca pada teman-teman kelasnya. Di usianya yang singkat itu, Gioele membagikan bakat luar biasanya. Meski fisiknya sakit, jiwanya sehat dan penuh semangat. Gioele mampu menularkan virus cinta buku pada teman sebayannya.
Virus cinta buku ini pun kini tersebar di berbagai penjuru di sekolahnya. Virus ini makin hari makin bertumbuh. Bukan menjadi rusak tetapi menjadi kabar baik. Virus ini kini menjadi pusat ilmu. Ya, sekolah dan teman-teman Gioele mendirikan sebuah perpustakaan di sekolah. Perpustakaan yang bernama Rosolino Pilo di Palermo ini didedikasikan untuk Gioele. Perpustakaan sekolah ini pun menggemakan semangat yang ditularkan Gioele pada teman-temannya.
Gioele kiranya tersenyum dari surga melihat perpustakaan yang dibangun oleh teman-temannya ini. Dia bahagia di sekolah bersama mereka dan kini bahagia itu terus berlanjut di surga. Teman-temannya ikut bahagia melihat mimpi Gioele jadi nyata. Gioele-lah yang memulai. Sayangnya, sang pencetus cilik itu pergi duluan. Untung saja, dia meninggalkan jejak semangat yang menghidupkan dunia baca di kalangan teman-temannya.
Semoga Gioele cilik juga pada suatu saat menjadi milik negara Indonesia. Semoga muncul banyak Mama dan Guru baru di Indonesia yang bukan saja menonton anaknya membaca buku tetapi juga memberinya semangat termasuk ketika anaknya dalam penderitaan. Buku memang mesti menjadi bensin yang menggerakkan mobil pendidikan Indonesia.
Selamat jalan dan Terima kasih Giole cilik.
Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.
PRM, 25/2/2017
Gordi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H