Indonesia hari-hari ini dilanda berita tentang isu ‘hoax’. Kabar yang tidak jelas seperti ini merajalela di situs maya dan cerita warga. Kata ‘hoax’ pun menjadi lebih tenar ketimbang suasana pilkada DKI yang tampaknya mendominasi media Indonesia beberapa bulan belakangan.
Masih dalam jalur dunia maya, di belahan dunia lain dirayakan Safer Internet Day 2017Â (SID). Tahun ini hari spesial itu jatuh pada 7 Februari kemarin. Sejak diprakarsai berdirinya pada tahun 2004 oleh Uni Eropa, SDI pun dirayakan setiap hari kedua pada minggu kedua di bulan kedua (Februari) setiap tahun.
Seperti namanya, SID bertujuan untuk menjadikan internet sebagai tempat yang aman. Tujuan ini kiranya berkaca pada dunia nyata yang aman. Seperti dunia nyata, dunia maya pun mesti aman. Keamanan dunia maya inilah yang diinginkan oleh sekitar 100 kota di negara-negara Eropa.
Dari 100 kota ini, SID kini melebar menjadi mendunia alias internasional. Entah Indonesia juga merayakan ISD ini atau mungkin sudah ada hari khusus. Maklum, pembaruan berita tentang ini belum ada sejak jauh dari Tanah Air.
Di Italia, SID betul-betul dijadikan momen khusus untuk memberi pelajaran pada masyarakat. Tahun ini titik pusatnya adalah pendidikan berinternet pada anak-anak dan remaja. Pilihan ini bukan tanpa dasar. Kasus cyberbullismo masih menjadi momok yang menakutkan di kalangan remaja dan anak-anak Italia.
Karena berkaitan dengan anak-anak dan remaja, Pemerintah Italia menggandeng pihak-pihak yang berkaitan dengan kehidupan mereka. Dari pemerintah sendiri, ada MIUR alias Ministero dell'Istruzione, dell'Università e della Ricerca. Semacam, Kementrian Pendidikan Universitas dan Penelitian di Indonesia.
Selain MURI, ujung tombak lain adalah lembaga yang berkaitan dengan pendidikan anak-anak dan remaja seperti : l'Autorità garante per l'infanzia e l'adolescenza, la Polizia Postale e delle Comunicazioni. Ada juga beberapa lembaga lain seperti Save the Children Italia, Telefono Azzurro, la Cooperativa E.D.I., Universitas La Sapienza di Roma, Universitas Kota Firenze (l'Università degli Studi di Firenze), situs Skuola.net dan lembaga  il Movimento Difesa del Cittadino.
Masing-masing lembaga ini memberikan kontribusinya pada SID setiap tahun. Tahun ini misalnya Telefono Azzurrodan Doxa Kids membuat penelitian tentang persiapan orang tua menghadapi anak-anak yang ‘doyan’ dunia maya. Para orang tua rupanya belum siap. Mereka bahkan tidak tahu, hal-hal mana yang tidak boleh dilakukan oleh anak-anak saat berselancar di dunia maya. Banyak juga yang sama sekali jarang menemani sang anak saat mereka berselancar di dunia maya.
Situasi seperti ini tentu saja bisa membawa akibat buruk pada anak. Kalau orang tuanya saja tak tahu mana yang baik dan buruk di dunia maya, bagaimana mereka bisa mengarahkan anak-anak saat berselancar di internet. Situasi ini diperparah—masih menurut penelitian TA dan DK—dengan pendapat anak-anak bahwa tidak ada kaitan antara dunia maya dan dunia nyata. Mereka masih yakin bahwa perilaku di dunia maya tidak berdampak pada perilaku di dunia nyata. Ini tentu saja keliru. Yang terjadi di dunia maya bisa berdampak pada dunia nyata.
Untunglah pendapat ini hanya diakui oleh sedikit saja (12%) dari anak-anak pada umumnya. Pada umumnya tetap menganggap bahwa masih ada kaitan antara dunia maya dan dunia nyata.
Akibat dari pendapat ini, masih banyak anak dan remaja di Italia yang belum tahu syarat menjadi penjelajah di dunia maya. Aturan tentang batas umur masih diabaikan. Masih ada kasus penipuan umur anak. Polisi dan beberapa lembaga lainnya masih menyusun peraturan agar aturan diterapkan dengan baik. Harapannya, tidak ada lagi yang memanipulasi umur anak saat masuk dan membuat akun di dunia maya.
Di Italia, masih jelas peraturan tentang berselancar di dunia maya. Batas bawah umur adalah 14 tahun. Jadi, anak-anak yang belum genap 14 tahun, tidak diperkenankan menjelajah di internet.
Hadirnya berbagai jenis teknologi canggih dan mudah dipakai saat ini membuat godaan untuk mengabaikan peraturan ini makin besar. Ponsel pintar misalnya mudah didapatkan. Orang tua pun tak segan-segan memberikan hadiah pada anak-anak 13 tahun ke bawah. Masalah ini masih diperparah lagi dengan ketidaktahuan orang tua dalam mendidik anak-anak mereka berselancar di dunia maya.
Kejadian ini di satu sisi menjadi dampak dari ketidaktahuan orang tua. Menurut pihak kepolisian, sekitar 81% orang tua mempunyai pengetahuan yang minim tentang relasi anak dan dunia maya. Sementara dari pihak sekolah juga ada kesulitan. Sekitar 49% kepala sekolah mengatakan sulit mengawasi pergerakan anak-anak didik mereka di dunia maya.
Banyaknya kasus ini tentu membuat banyak pihak menjadi resah dan gelisah. Agar keluar dari rasa ini, mereka pun membuat satu solusi baru berupa program un nodo blu atau simpul baru. Program ini resmi berlaku sejak 7 Februari kemarin. Dengan adanya simpul ini, orang tua, sekolah, dan kepolisian bisa bersatu mengawasi anak-anak di dunia maya.
Jauh sebelum Nodo blu sebenarnya sudah ada program lainnya. Di salah satu sekolah menengah atas Istituto tecnico Galilei-Costa di Lecce (Italia Selatan), lahir program MaBasta akronim dari Movimento anti Bullismo animato da studenti adolescenti (gerakan anti bulying yang diprakarsai oleh siswa-i SMA).
Program ini sudah berkembang bahkan di halaman facebook sudah ada 23 ribu jumlah like. Karena banyaknya siswa dan orang tua yang berbagi di halaman facebook ini, pihak sekolah pun membuat situs web Sbam, Stop Bullying Adopt Music. Situs yang dikelola oleh pelajar SMA bersama guru mereka ini dikunjungi banyak orang. Sekitar 80 sekolah pernah masuk dan berbagi cerita di sini. Saat ini, program ini pun bukan saja sebatas di facebook dan situs tetapi lahir juga dalam bentuk start up. Lahirnya media terakhir ini menjadi bukti bahwa program ini mesti berkembang sesuai keadaan pelajar saat ini.
Isu-isu ‘hoax’ di Indonesia bisa jadi terjadi sebagai salah satu akibat dari kekurangpahaman warga dalam berinteraksi di dunia maya. Pendapat ini tidak menghapus pendapat lain yang mengatakan isu ‘hoax’ lahir dari kurangnya kepekaan literasi warga. Ini juga kiranya menjadi satu masukan.
Sayangnya Indonesia belum mempunyai penelitian yang serius tentang isu-isu semacam ini. Keadaan ini juga melahirkan situasi sensitif akan satu perubahan di dunia maya. Bahkan, tak jarang bahaya radikalisme yang tertutup. Sebaiknya warga Indonesia paham tentang perkembangan dunia maya dengan baik. Dan lebih penting lagi, bukan soal paham tetapi mesti beretika dengan baik juga.
Dan, kalau belum paham juga, jangan jadikan lambang Palang Merah sebagai alat untuk mencari-cari masalah. Ya, wong namanya Palang kok otomatis berbentuk seperti salib atau tanda positif dalam bidang matematika.
Kalau tidak tahu sejarah, jangan coba-coba ungkit dan jadikan itu sebagai masalah. Sebaiknya baca dulu sejarahnya. Mosok belum baca sejarahnya, berani-beraninya mengkritik. Wong Palang Merah sudah lahir sebelum Anda lahir kok, sekarang masih anak baru gede saja berani-beraninya kritik.
Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.
PRM, 9/2/2017
Gordi
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H