Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita è bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Anak yang Bandel, Orang Tua yang Dihukum

1 Februari 2017   12:30 Diperbarui: 1 Februari 2017   16:55 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Basilika tampak dari samping, FOTO: vicenzatoday.it

Aneh tapi nyata. Anak yang bandel, orang tua kena hukuman.Tampak membingungkan, tapi siapa sangka ini adalah bentuk pendidikan. Bermodalkan konsep anak tak bersalah, orang tua sebagai pendidik akan diuji.

Inilah yang terjadi di Italia. Hukum tidak bisa dipermainkan. Bukan karena masih anak-anak, hukum seolah-olah lunak dan tumpul. Tidak! Hukum tetap pada fungsinya dan bukan ‘diabu-abukan’. Jadi ingat hukuman pada seorang nenek pencuri beberapa biji cokelat di kebun yang diduga milik perusahaan negara Indonesia beberapa tahun lalu. Pada kasus ini, hukum benar-benar tumpul untuk orang besar.

Di Italia, hukum itu tetap runcing. Tidak ada alasan usia dan sebagainya. Asal salah, wajib dihukum. Bukan karena suara mayoritas, hukum seolah-olah dibuat-buat. Hukum berlaku untuk semua warga negara. Dengan pemberlakuan semacam ini, hukum pun tetap berwibawa di mata masyarakat. Bukan hukum yang seperti dagangan di pasar, dijual-belikan oleh pemilik modal yang besar.

Dengan prinsip hukum berwibawa seperti ini, anak-anak berusia 11-14 tahun di Kota Vicenza-Italia juga dihukum. Mereka sama sekali tidak dikecualikan untuk menghindar dari hukum. Wali kota Vicenza adalah ujung tombak penegakan hukum ini.

Anak-anak ini terjerat hukum karena perbuatan mereka yang tidak terpuji. Sekitar sebulan yang lalu, mereka merusak salah satu gedung berharga di Kota Vicenza. Gedung kebanggaan warga Vicenza ini adalah Basilica Palladiana.

Gedung Basilika beratap hijau, FOTO: viaggioinitaliae.blogspot.com
Gedung Basilika beratap hijau, FOTO: viaggioinitaliae.blogspot.com
Basilika ini termasuk bangunan tua di Kota Vicenza. Dibangun pada abad XVI-XVII atau tepatnya pada 1549-1614 oleh arsitek Andrea Palladio. Palladio (1508-1580) adalah arsitek kenamaan dari Republik Venezia. Karya-karya terakhirnya tersebar di berbagai kota di Regione Venetto termasuk di Kota Vicenza. Nama Basilika ‘Palladiana’ pun muncul untuk mengenang sang arsitek ini. Nama ini diberikan atas jasanya dalam pembuatan basilika ini. Saat ini basilika ini digunakan sebagai tempat pementasan teater, dan pameran seni serta karya arsitek.  

Di gedung yang terletak di pusat kota ini, anak-anak ini berusik. Mereka menyemprot dinding basilika dengan spray colorati. Zat spray ini agak sulit dihilangkan. Bekas semprotan berwarna merah, biru tua dan ungu itu pun masih membekas kuat. Berbagai upaya untuk menghapusnya agar warna dinding kembali ke warna asli. Pada akhirnya memang berhasil namun dengan biaya yang mahal.

Biaya ini menjadi salah satu pertimbangan dari Wali Kota Vicenza untuk menghukum anak-anak ini. Entah apa yang ada di benak 6 anak perempuan dan 2 anak laki-laki ini. Mereka melakukan itu tanpa pikir panjang. Mungkin untuk bersenang-senang. Sayangnya, mereka melakukan itu di gedung yang menjadi salah satu Situs Warisan Dunia dari UNESCO pada 1994 yang lalu.

Berbagai penghargaan lain juga disematkan pada basilika ini. Misalnya diakui sebagai gedung Monumen Nasional Italia pada 2014 yang lalu dari Presiden Italia Giorgio Napolitano (2006-2015). Penghargaan yang diberikan di Roma pada 14 April ini menjadi bentuk pengakuan akan keindahan basilika yang direnovasi pada 2007-2012 ini. Dari Uni Eropa pada tahun yang sama, penghargaan sebagai Situs Warisan Budaya Eropa melalui penghargaan concorso Europa Nostra disematkan pada basilika ini. Penghargaan ini diberikan di Kota Vienna-Austria pada 5 Mei 2014 oleh Presiden Europa Nostra Placido Domingo.

Kata-kata yang tidak bagus untuk dipamerkan di tempat umum, FOTO: vvox.it
Kata-kata yang tidak bagus untuk dipamerkan di tempat umum, FOTO: vvox.it
Amat disayangkan, gedung sebagus ini dirusak dengan semprotan zat yang merusak. Warga Kota Vicenza menganggap tindakan seperti ini sebagai perusak yang kejam alias vandalisme. Kata ‘vandal’ dulunya disematkan pada suku bangsa di Jerman Timur yang menyerang tentara Romawi. Mereka kemudian membangun permukiman di daerah Afrika Utara di dekat Kota Kartago. Sebutan ‘vandal’ melekat pada mereka karena tindakannya yang kejam dan brutal. 

Tindakan bernuansa ‘vandal’ seperti ini memang lazim disematkan pada pelaku perusak dinding tembok. Perusakan seperti ini juga sering terjadi di Indonesia, termasuk di tembok jalan atau rumah bahkan gerbang sekolah. Gara-gara tindakan yang dianggap vandalisme ini, anak-anak ini diperiksa di pengadilan untuk anak-anak di Kota Venezia. Di sini, mereka diberi pelajaran agar mengubah perilakunya dan diberi pengertian yang jelas bahwa tindakan ini tidak bagus. Tindakan ini merusak keindahan seni dan arsitek sebuah gedung.

Tidak berhenti di sini, tindakan anak-anak ini juga berujung pada kewajiban yang harus dipenuhi oleh orang tua mereka, yakni membayar biaya pelanggaran alias ‘multa’ masing-masing sebesar 500 euro (sekitar Rp. 4.500.000). Biaya ini terhitung besar untuk kesalahan kecil ini. Tetapi, biaya ini ditetapkan sesuai dengan kerugian dari tindakan itu. Biaya untuk mengembalikan warna semula juga cukup besar.

Gedung ini adalah tempat pameran seni dan karya arsitekstur di Vicenza, FOTO: storiaarte.it
Gedung ini adalah tempat pameran seni dan karya arsitekstur di Vicenza, FOTO: storiaarte.it
Tindakan anak-anak ini menjadi pelajaran berharga untuk orang tua. Banyak orang tua yang belum memahami bahwa merekalah pendidik yang utama dan pertama. Pendidikan anak-anak tidak sepenuhnya diberikan kepada guru di sekolah atau pendamping di asrama. Orang tua mesti turun tangan sebagai pendidik yang pertama dan utama.

Di Italia, kesadaran seperti ini masih kuat. Untuk kasus yang baru saja terjadi, orang tua dari keenam anak tidak keberatan. Mereka tidak menolak untuk membayar denda dan merelakan anak-anak mereka diperiksa di Pengadilan Anak. Mereka pun sepenuhnya menyadari kesalahan anak-anak mereka.

Kesadaran seperti ini yang pernah saya dengar dari salah satu orang tua dari anak-anak di Kota Parma. Suatu sore, saya menjumpai sang Mama yang sedang mengantar anak laki-lakinya yang berusia sekitar 16-17 tahun. Rumahnya agak jauh dari tempat kegiatan kami. Setelah dia bertanya tentang berakhirnya kegiatan, dia pamit pulang.

Saat dia kembali untuk menjemput sang anak, saya pun bertanya padanya. Mengapa Anda tidak membiarkan putra Anda pulang bersama temannya, dia sudah besar. Jawabannya mengejutkan saya. Gordi—katanya—dia belum cukup umur untuk pulang sendiri. Dia tampak besar fisiknya tetapi secara hukum masih di bawah umur.

“Di bawah umur?” lanjut saya.

“Kalau terjadi sesuatu dalam perjalanan pulang, saya yang kena hukuman dari polisi. Saya akan dinilai tidak bertanggung jawab pada anak saya,” sambungnya.

Gedung Basilika tampak dari samping, FOTO: vicenzatoday.it
Gedung Basilika tampak dari samping, FOTO: vicenzatoday.it
Saya kaget sambil berusaha memahami penjelasannya. Rupanya, anak-anak di bawah 18 tahun masih di bawah pengawasan orang tua. Saya pun jadi paham mengapa saya harus meminta izin pada orang tua mereka, saat kami mengadakan kegiatan di luar kota. Padahal mereka sudah besar. Beda negara, beda kebiasaan. Beda tempat, beda cara mendidik.

Andai orang tua di Indonesia juga memiliki kesadaran seperti ini, betapa indahnya melihat pendidikan yang lengkap, di rumah dan di sekolah. Dengan sistem ini, orang tua pun ikut pusing seperti para guru di sekolah dalam mendidik anak-anak (didikan) mereka.

Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.

PRM, 1/2/2017

Gordi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun