Betapa menderitanya hidup tanpa tangan. Bahkan, kehilangan satu jari pun, membuat seluruh tubuh ikut menderita. Tangan memang berperan penting dalam hidup sehari-hari namun apa jadinya jika kehilangan tangan?
Kehilangan tangan memang membuat penderitaan makin besar. Untuk yang biasa bekerja dengan tangan, tak ada cara lain selain membuat tangan palsu. Tangan iniโmeskipun palsu alias buatanโcukup bisa menopang dalam pekerjaan.
Beda dengan mereka yang dari lahir memang tak bertangan. Mereka ini tentunya dianugerahi sarana lain untuk menggantikan peran tangan. Lihatlah beberapa video terkenal di youtube yang menceritakan kehidupan mereka yang tak bertangan tetapi bisa menyaup nasi dan menggosok gigi.
Ide membuat tangan palsu rupanya ide indah untuk diterapkan. Ide ini juga yang dikerjakan oleh sebuah komunitas internasional bernama e-NABLE. Komunitas e-NABLE mau menghadiahkan tangan untuk mereka yang tak bertangan. Mottonya dederhana yakni saya berikan satu tangan, atau saya buatkan satu tangan untukmu.
Untuk merealisasikan idenya, komunitas e-NABLE mengajak terutama kaum muda. Saat ini, komunitas ini mempunyai sekitar 7.000 relawan di 45 negara. Komunitas ini memang ingin menggugah kaum muda untuk memberikan tangan kepada mereka yang tak bertangan.
Tangan yang mereka hasilkan memang bukan tangan manusia yang hidup. Tangan ituโsesuai namanyaโhanya tangan palsu. Tapi, tangan palsu itu bekerja sesuai keinginan pemiliknya. Tangan palsu itu memang dibuat atau diproduksi oleh kaum muda yang punya kemauan hati yang baik untuk membantu mereka yang tak bertangan.
Misi e-NABLE sebenarnya lahir dari situasi ini. Misi ini jadi nyata berkat bantuan Ivan Owen. Dialah pencentus dan penemu ide pembuatan tangan ini. Dia juga yang membuat misi saya beri satu tangan untukmu menjadi tersebar ke seluruh dunia.
Kisahnya pun unik. Tahun 2011 yang lalu, dia ingin membantu seorang pengrajin dari Afrika Selatan untuk mendesain tangan. Dia memang membantu membuatkan tangan itu dari bahan plastik. Dia mendesain modelnya di komputer lalu mencetaknya dengan mesin cetak 3 dimensi alias 3D.
Jasa Ivan tidak berhenti di sini. Ivan berpikir jauh ke depan. Ia tidak saja ingin membantu kenalannya yang pengrajin itu. Pikirannya melayang jauh ke mereka yang keadaannya serupa dengan pengrajin itu. Maka, Ivan pun mempublikasikan cara mendesain model tangan yang ia buat di internet. Ia pikir, mungkin hal ini bisa membantu mereka yang membutuhkan tangan buatan dari bahan plastik. Desain tangan inilah yang kemudian menyebar di seluruh dunia dan dipakai oleh banyak relawan untuk mencetak tangan buatan dengan mesin cetak 3D.
Dari relawan di 45 negaraโada yang bilang sudah 50 negaraโini muncul sekitar 2000 tangan buatan sampai saat ini. Sebagian besar dari jumlah ini adalah tangan-tangan untuk anak-anak. Merekalah kiranya yang paling banyak membutuhkan tangan buatan.
Selain model yang sudah dibuatkan, harganya juga terjangkau. Wong bahannya dari plastik, harganya bisa ditaksir. Hanya ongkos mesin cetak 3D yang kiranya mahal. Juga dengan lama waktu tunggunya. Tetapi, jika ada lebih dari satu mesin cetak, pekerjaan ini menjadi lebih mudah lagi.
Saat ini, mesin cetak 3D mungkin belum begitu banyak peredarannya. Tetapi, kegunaannya justru mendesak. Bahkan, di beberapa kota besar di dunia, mesin cetak 3D ini juga dibutuhkan di rumah sakit. Beberapa dokter yang berduit bahkan menyelipkan di saku baju mereka, mesin cetak 3D ini. Jika sewaktu-waktu mereka butuh tinggal digunakan saja. Mesin cetak ini misalnya bisa mencetak bulu mata palsu, dan beberapa jenis barang lainnya.
Karena kemudahannya ini, misi e-nable communityini cepat menyebar. Konon, untuk merealisasikannya tidak butuh kantor khusus. Ruang kerja dan gedung sekolah pun bisa. Ini yang terjadi di Amerika Serikat dari hasil kerja sekelompok anak sekolah di sebuah sekolah.
Sekelompok anak-anak pramuka di kota Irmo, di negara bagian Carolina Selatan, AS misalnya membuatkan tangan palsu untuk teman kelas mereka. Mereka belajar menggunakan new technology lalu membuatkan percobaan. Dibantu oleh sang guru Profesor Craft dan dengan bantuan komunitas e-NABLE, mereka menghasilkan satu tangan untuk Alyssa, teman mereka. Tangan itu pun dibuat dengan warna kesukaan yang dipilih oleh Alyssa. Dengan itu, Alyssa pun bisa memegang buku.
Anak-anak rupanya tak ingin kalah. Mereka ingin meraih yang lebih. Demikian juga dengan misi membuat tangan. Misi ini bahkan menjadi proyek mereka. Bukan saja berhenti menjadi sebuah proyek. Mereka juga ikut mempresentasikan proyek ini dalam ajang kompetisi sekolah-sekolah di 16 negara bagian di AS. Alhasil, proyek bernama Proshetic Kids ini berhasil memenangkan kompetisi. Hasil yang memuaskan sampai-sampai anak-anak ini berkomentar, โKemenangan ini menjadi sebuah motivasi bagi kami untuk terus melanjutkan proyek kami, memproduksi lebih banyak tangan untuk orang lain yang membutuhkan.โ
Andai proyek dari anak-anak di AS ini berjangkit ke anak-anak di Indonesia misalnya di Jakarta, boleh jadi tidak ada lagi anak-anak jalanan di Jakarta. Proyek seperti ini akan membuat anak-anak Jakartaโdan anak-anak Indonesia pada umumnyaโberlatih untuk peka terhadap orang lain. Sifat peka itu mesti ditanam dalam kehidupan dan tidak melulu diajarkan di buku lalu hilang begitu saja.
Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.
PRM, 21/12/2016
Gordi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H