Soekarno bapak proklamator Indonesia jauh-jauh hari memberi lampu hijau untuk Indonesia. Katanya, bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal sejarahnya.
Soekarno benar. Ia tahu rahasia menjadi bangsa yang besar. Italia menjadi bangsa yang besar karena mengenal sejarah mereka. Bagi orang Italia, sejarah bukan saja untuk dikagumi tetapi dipahami, dicerna, dianalisis, diteliti, bahkan dimanfaatkan untuk kepentingan bangsa Italia dan dunia.
Orang Italia pun tidak main-main dengan pencarian akan sejarah bangsa mereka. Salah satu bentuk pencarian itu adalah sejarah makanan Italia yang terkenal yakni La Pasta. Jenis makanan ini rupanya mampu menyatukan bangsa Italia.
Jika Indonesia khususnya DKI Jakarta, Jawa Barat, dan DIY terpisah karena perbedaan agama, Italia justru bersatu karena makanan. Di sini memang Indonesia dan Italia berbeda.
Bagi ketiga daerah provinsi di Indonesia ini, agama (dan bukan manusia) menjadi pusat kehidupan. Setidaknya jika dianalisis dari situasi kehidupan sosial-agama akhir-akhir ini. Cara pandang seperti ini melahirkan konsep agama yang super-power, autoreferensial, dan mengabaikan manusia. Hasil akhirnya bukan saja memutlakkan kebenaran sebuah agama tetapi juga menempatkan Tuhan atau Yang Mahatinggi sejajar dengan manusia.
Cara pandang seperti ini berbahaya bagi kelangsungan hidup berbangsa yang majemuk dari segi sosial-agama. Dan, saya yakin cara pandang ini keliru. Manusia tidak akan mencapai kebesaran dari Allah. Allah tetap akan lebih besar dan manusia tidak mampu memahaminya secara total. Jika Allah saja besar, untuk apa manusia membelanya? Â
Tentunya kelompok yang mempunyai cara pandang ini tidak mengonsumsi La Pasta ala Italia sebagai makanan pokoknya. Dan, daripada sibuk mengurus mereka yang membingungkan kehidupan banyak rakyat Indonesia, lebih baik kita bicarakan La Pasta.
La Pastamenjadi simbol makanan Italia di dalam dan luar negeri sejak abad yang lalu (1900-an). Simbol makanan ini rupanya bukan menjadi sesuatu yang terkenal untuk seluruh wilayah Italia. La Pastamenjadi makanan pokok hanya di beberapa wilayah saja seperti la Campania(Napoli), la Liguria (Genova) dan Sicilia. Di wilayah lainnya La Pasta tidak menjadi makanan pokok.
Ada banyak alasan mengapa La Pasta tidak menjadi makanan pokok. Daftarnya panjang jika dibuat tabelnya. Tetapi, alasan yang paling utama adalah cara pembuatannya. Rupanya butuh waktu dan tenaga untuk menghasilkan La Pasta yang enak. Karena panjangnya proses pembuatan ini, La Pasta pun hanya dikonsumsi dalam momen khusus saja seperti pesta pembaptisan anak, pesta pernikahan, pesta pergantian tahun dan pesta khusus lainnya.
La Pasta yang dikonsumsi saat itu memang dibuat dari bahan yang sulit diolah. Bayangkan bahan pokoknya adalah tepung gandum (farina di grano) yang harganya mahal dan berkualitas tinggi. Pengolahannya pun membutuhkan tenaga, waktu, dan kesabaran. Misalnya menambah beberapa resep tambahan ke dalam tepung gandum lalu membuatnya menjadi sebuah adonan yang kental, kemudian memilahnya dari air dengan kadar dan jumlah tertentu.
Pekerjaan ini membutuhkan kesabaran dan ketelitian dalam waktu yang lama. Semua metode ini menjadi kenangan indah saat ini. Kesabaran yang ada saat itu rupanya diambilalih oleh mesin berteknologi saat ini. Dalam mesin pengolah, kesabaran itu pun tidak dihiraukan lagi. Kesabaran itu diganti oleh cara kerja cepat, tepat, dan otomatis. Tentu saja kualitasnya jauh berbeda dengan cara kerja manual. Tetapi, jika pekerja mengatur mesinnya dengan baik, hasilnya pun tidak kalah dengan yang dibuat secara manual.
La Pasta dalam perjalanannya bukan saja menjadi makanan pokok orang Italia. La Pastarupanya ikut menemani orang Italia yang pergi keluar negeri dan mencari pekerjaan serta kehidupan yang layak di sana. Prancis, Amerika Serikat, dan Amerika Latin menjadi tempat pelabuhan bagi orang Italia. Imigrasi besar-besaran pun terjadi. La Pastapun ikut berimigrasi bersama orang Italia sekitar akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19.
Keberhasilan La Pasta di tanah rantau ini berlanjut ketika La Pasta pulang ke Italia pada tahun 1950-an. Pada tahun-tahun itu, La Pasta mulai dikonsumsi di beberapa kota Italia seperti Venezia, Milano, Napoli dan Catania. Di daerah ini, La Pasta menjadi makanan pokok yang dikonsumsi saat makan siang atau makan malam.
Saat ini, La Pasta menjadi simbol makanan Italia dan juga menjadi simbol makanan enak dan sehat untuk seluruh dunia. Jadi, bukan saja untuk Italia tetapi juga untuk dunia. Italia dalam hal ini memberi sumbangsih untuk perkembangan dunia makanan di tingkat internasional. Dengan kesuksesan ini, Italia bukan saja mengonsumsi La Pasta tetapi juga memproduksi dan mengekspornya keluar negeri.
Orang Italia saat ini rata-rata mengonsumsi 24 kg La Pasta dalam setahun. Jumlah ini tentunya biasa bagi orang Italia sebagai pengonsumsi primer pasta. Tetapi, menjadi besar sekali ketika dibandingkan dengan pengonsumsi primer di luar Italia. Orang Russia yang dikategorikan sebagai bangsa pengonsumsi La Pasta terbanyak di luar Italia hanya mampu mencapai angka 1/3 dari jumlah konsumsi di Italia. Jadi, di Rusia, rata-rata konsumsi La Pasta untuk satu orang dalam setahun adalah 8 kg.
Makin banyak pengonsumsi La Pasta, makin banyak juga pembuatnya. Pada Hari Pasta Sedunia (World Pasta Day) tanggal 25 Oktober yang lalu terdapat 200 pembuat (producer) pasta dari seluruh dunia. Mereka berkumpul di kota Mosko-Rusia untuk memamerkan produksi mereka.
Hari Pasta Sedunia dibentuk pertama kali pada tahun 1998. Saat itu, sekitar 30 negara pengonsumsi La Pasta ikut berpartisipasi. Pengonsumsi di sini maksudnya mereka yang makan sekitar 1 kg setiap tahun untuk berbagai jenis La Pasta misalnya spaghetti, maccheroni e pennette. Tahun ini, jumlah pengonsumsi bertambah menjadi 52 negara. Italia pun menambah produksinya menjadi 3.200.000 ton pada tahun 2015 yang lalu. Jumlah itu setara dengan sekitar 4,5 miliar euro.
Kapan ya makanan Indonesia juga menjadi buah bibir dunia karena kualitasnya?
Boro-boro bicara tentang makanan, masalah agama saja menjadi perdebatan yang panjang. Indonesia memang sulit untuk maju jika mengingkari kata-kata Bapak Proklamator tadi. Padahal, orang luar mengangumi buah pikiran Soekarno dan juga mengagumi filosofi Pancasila yang diletakkan oleh pendiri bangsa ini.
Akhirnya, jika bangsa Indonesia tidak mau mengikuti jejak pencarian sejarahnya, perdebatan soal agama dan perdebatan soal siapa yang benar pun akan terus berlangsung. Dan, orang luar negeri terus bertanya, kapan ya warga Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta bekerja? Kok demo melulu?
Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.
PRM, 10/12/2016
Gordi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI