Setiap prajurit perang mempunyai alasan yang tulus untuk melakukan peperangan.Ada prajurit yang berperang demi membela negara atau daerah atau kerajaannya.
Niat ini memang tidak selalu tulus. Ada juga niat yang dipaksakan karena dibayar dengan uang. Lihatlah banyak prajurit perang di Afrika yang dipaksakan untuk berperang. Mereka dicuci otaknya agar melihat semua orang sebagai musuh. Tak kenal itu keluarga dan ras mereka. Semuanya musuh yang harus dihabiskan.
Perang di Eropa selalu menjadi bahan yang menarik untuk ditelusuri sejarahnya. Jika Anda belum akrab dengan sejarah perang Eropa, saya anjurkan untuk membaca buku PERANG EROPA, 3 jilid. Buku ini menarik karena ditulis dengan gaya tutur. Ditulis oleh satu dari dua pendiri KOMPAS, Pak Petrus Kanisius Ojong.
Seperti buku perang serupa yakni PERANG PASIFIK, buku ini menjadi incaran banyak penggemar buku sejarah. Saya memburu buku ini di perpustakaan kampus di Jakarta dulu. Sayang, saya hanya berhasil membaca jilid 1, dengan tebal hampir 500-an halaman.
Dua jilid berikutnya saya baca di Yogyakarta setelah kuliah di Jakarta berakhir. Itu pun saya titip di teman mahasiswa Universitas Sanata Dharma agar bisa meminjamkannya di perpustakaan kampus mereka.
Di Italia, perang menjadi bagian dari sejarah. Bukan saja perang melawan bangsa lain tetapi juga perang antara kerajaan di wilayah Italia. Perang ini berlangsung berabad-abad sebelum terjadinya peristiwa kemerdekaan (liberazione) pada 1946 yang lalu. Saat itu Italia bebas dari genggaman kaum fasis dan nazi.
Dalam buku PERANG EROPA, PK Ojong mendeskripsikan situasi perang Eropa. Banyak prajurit yang berjuang mempertahankan daerah kekuasannya. Ada yang gugur di medan perang, ada pula yang terus bergerilia agar daerah mereka tetap terjaga.
Situasi semacam ini ditemukan juga di kota-kota di Italia. Di setiap kota ada daftar para prajurit perang. Di Parma, sampai saat ini, masyarakat masih mengingat dengan baik situasi kejamnya perang itu.
Bahkan, beberapa kali saya mendengar langsung kisah heroik mereka saat itu. Dibawa keluar Italia oleh prajurit dari Jerman, menjadi pesuruh sampai ke Inggris, lalu kembali ke Italia. Terus menggelorakan semangat juang mempertahankan tanah airnya.
Betapa mereka menderita demi misi yang tulus itu. Mereka rela mati demi kota mereka. Mereka berjuang sampai tetes darah membasahi tanah kelahiran mereka. Mereka tidak ingin dianggap kalah sebelum bertanding. Mereka ingin menang di atas tanah sendiri.
Jasa mereka besar dan pantas dihormati dan bukan dikenang saja. Di Parma, bentuk penghormatan ini tidak main-main. Ada patung besar berada di tengah taman kota (Piazza della pace) untuk mengenang jasa mereka. Patung itu dikenal dengan sebutan Il monumento al partigiano.
Monumen di kota Parma ini menggambarkan seorang prajurit perang dari kelompok berpistol Sten. Rupanya para prajurit ini dikelompokkan dalam berbagai kelas sesuia senjata yang mereka gunakan. Senjata atau pistol Sten rupanya berasal dari Inggris.
Senjata ini biasanya dililitkan di pinggang prajurit. Meniru para tentara Inggris dalam perang dunia kedua. Senjata Sten ini menjadi berkembang penggunaannya setelah perang dunia kedua tepatnya setelah 1940. Italia adalah salah satu negara yeng menggunakan senjata ini.
Nama Sten diambil dari dua penemunya yakni Jenderal Reginald Shepherd dan Harold Turpin dan juga kota produksinya yakni Enfiel (Inggris).
Monumen prajurit Sten ini berdiri tegak saat ini di kota Parma berkat jasa pemerhati partigiani(prajurit perang) di kota Parma. Mereka inilah yang ingin menhadirkan sebuah monumen untuk mengenang jasa para prajurit yang berperang melawan kaum nazi dan fasis di kota Parma.
Mereka membuat usulan sejak tahun 1951, tepat 5 tahun sebelum monumen ini diresmikan. Promotornya adalah salah satu dari pemerhati prajurit di kota Parma Piero Campanini. Dialah yang memperjuangkan proposal pembuatan monumen ini sampai di tingkat negara. Dia pun berbicara dengan para petinggi negara di Italia saat itu seperti Kepala Negara Luigi Einaudi, Ketua DPR Enrico De Nicola, dan beberapa petinggi lainnya seperti Giovanni Gronchi dan Alcide De Gasperi.
Selain mereka, di kota Parma sendiri ada dukungan penuh dari warga dan pemerintah. Dari pihak pemerintah ada wali kota Parma Giacomo Ferrari (mantan prajurit partigiano) dan Primo Savani (mantan prajurit partigianodan mantan ketua pejuang melawan kaum nazi).
Sebagai tindak lanjut, petinggi pemerintah di kota Parma memilih pemahat Marino Mazzacuratie dan arsitek Guglielmo Lusignoli. Mereka dua inilah yang merealisasikan monumen gagah ini. Marino membuat 2 patung sekaligus. Satu berdiri dengan gagah dan satunya terkapar di tanah.
Momen ini seolah-olah menjadi hidup kembali sejak monumen ini diresmikan pada 30 Juni 1956 yang lalu. Ingatan kuat ini kiranya tidak terlepas dari peristiwa 10 tahun sebelumnya 1946 saat Italia bebas dari genggaman kaum nazi dan fasis. Parma termasuk salah satu basis dari kaum fasis saat itu.
Monumen ini penting bagi warga Parma saat itu dan juga saat ini. Saat ini warga Parma terus mengenang dan membaca baik-baik sejarah kota mereka lewat patung ini. Jangan heran juga jika saat peresmiannya, hadir kepala pemerintahan Italia dari Roma yakni Giovanni Gronchi dan juga para petinggi di tingkat provinsi dan kota madya Parma.
Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.
PRM, 30/10/2016
Gordi