Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita รจ bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Harapan di Tengah Sulitnya Situasi Anak dan Perempuan Saat Ini

11 Oktober 2016   20:44 Diperbarui: 12 Oktober 2016   20:26 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin tidak banyak yang tahu atau tidak sadar jika hari ini sangat spesial. Tanggal 11 Oktober adalah International Day of the Girl Child.ย Untuk lebih mudahnya cukup disebut Hari Internasional untuk Menghormati Anak-anak dan Kaum Perempuan.

Terjemahannya mungkin tidak begitu pas. Tetapi kalimat itu cukup bisa membantu memahami esensi dari hari ini. Dalam bahasa Italia terjemahannya cukup bagus. Orang Italia menamakan hari ini sebagai giornata mondiale delle bambineย (bambine artinya anak-anak perempuan) e delle ragazzeย (ragazze artinya remaja perempuan).

Lembaga internasional seperti PBB adalah pelopor hari khusus ini. Ban Ki-moon pun ikut berkontribusi di hari khusus ini. Dalam pesannya, dia mendukung upaya untuk menghormati anak-anak perempuan dan remaja perempuan.

Dua kelompok iniโ€”juga kaum wanita pada umumnyaโ€”selalu menjadi korban kebengisan perang pada abad XXI ini. Koran anak dalam bahasa Italia POPOTUS edisi hari ini melaporkan beberapa data tentang keprihatinan terhadap situasi perempuan dan anak serta remaja perempuan saat ini.

Situasi yang sulit itu misalnya yang dialami oleh 68 juta perempuan yang hidup di negara-negara berkonflik. Beberapa di antara negara tersebut adalah Siria, Irak, Nigeria, dan Republik Demokratik Kongo. Yang lainnya di Asia seperti di India. Juga di Amerika Latin seperti di Peru.

Di Siria, banyak anak perempuan yang menikah dengan lelaki yang lebih tua atau kakek-kakek. Pernikahan ini berlangsung baik secara paksa di tempat pengungsian maupun yang didukung oleh orang tua mereka. Orang tua merelakan anaknya menikah demi melindungi diri dari ancaman pihak luar.

Situasi seperti ini juga terjadi di daerah Mosul-Iraq dan Raqqa-Siria. Di daerah ini, anak-anak dijual lalu dibeli oleh kaum militer. Selanjutnya anak-anak itu seperti piala bergilir, dijual-belikan lagi. Sungguh sadis.

Di Nigeria dengan kelompok ekstremisnya seperti Boko Haram lain lagi. Di sini, anak-anak dilarang ke sekolah. Bahkan kelompok ekstremis ini memanipulasi ajaran agama Islam agar mereka bisa menguasai sekolah-sekolah agama dan memperoleh anak-anak remaja perempuan ini. Anak-anak ini pada akhirnya menjadi budak.

FOTO: ilfattoquotidiano.it
FOTO: ilfattoquotidiano.it
Anak-anak perempuan di Republik Demokratik Kongo malah menerima perlakuan yang tidak senonoh. Ada yang diperlakukan secara kasar. Pelakunya baik berupa militer ilegal maupun legal. Sayang sekali situasi saudari kita di negeri ini.

Situasi seperti ini ditemukan juga di Amerika Latin. Organisai internasional asal Itali Terre des Hommes Italia membantu seorang anak perempuan asal Peru keluar dari zona berbahaya ini. Isabella, 14 tahun, nama anak itu. Dia pada awalnya menjadi harapan keluarga. Dia pun akhirnya sampai di Ibu Kota, Lima. Di sini harapannya pupus menjadi derita. Dia dipekerjakan sebagai pekerja rumah tangga. Setiap kesalahannya pun menjadi alasan untuk menghukumnya. Oleh organisasi Italia ini, Isabella diselamatkan.

Isabella beruntung ketimbang beberapa teman lainnya seperti Rubina, Maria Luisa, Tonia dan banyak lagi. Mereka ini belum berhasil keluar dari zona berbahaya ini. Semoga suatu saat mereka mengikuti jejak Isabella.

Isabella memang hanya satu dari 68 juta anak perempuan di seluruh dunia yang diperlakukan seperti budak. Selain budak, anak perempuan juga diwajibkan untuk menikah pada usia kecil. Kelompok ini berjumlah 70 juta anak. Tentu kita tidak ingin makin rugi lagi. Semoga angka ini berkurang setiap tahun. Untuk itulah PBB menetapkan 11 Oktober sebagai peringatan untuk melihat kembali situasi anak dan kaum perempuan pada umumnya.

Saat ini, situasi mereka amat sedih. Situasi ini seolah-olah dikontrol oleh hukum alam yang bebal seperti ini: makin besar angka kemiskinan, makin kecil peluang untuk bekerja bagi anak perempuan. Hukum bebal inilah yang memenuhi prediksi dan pikiran banyak keluarga di seluruh dunia.

Anak-anak perempuan seharusnya berbahagia seperti ini, FOTO: childsrights.org/en
Anak-anak perempuan seharusnya berbahagia seperti ini, FOTO: childsrights.org/en
Mereka pun pada akhirnya memilih anak laki-laki sebagai penopang bekerja. Anak perempuan sebagai konsekuensinya, kurang dipercaya dan dianggap kaum lemah. Karena lemah, mereka dipercaya untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan perawatan kaum tua atau kaum disable.

Dalam hal ini, PBB melaporkan bahwa di Asia Selatan, Afrika dan Timur Tengah, anak-anak perempuan berumur 5-14 tahun menghabiskan sekitar 40% dari waktu mereka untuk membersihkan rumah, menyiangi rumput, mengambil air di sumber air yang jauh dari rumah. Beban ini lebih besar ketimbang beban yang dipikul oleh kaum lelaki pada rentang umur yang sama. Sebagai konsekuensinya, anak perempuan memiliki waktu belajar lebih sedikit ketimbang anak lelaki.

Masihkah keadaan ini akan terus berlanjut? Ataukah ada harapan untuk mengubahnya ke arah yang lebih baik?

PBB melalui Unicef-nya memberi harapan ke arah yang lebih baik. Unicef terus mengharapkan dukungan publik internasional sekaligus berterima kasih kepada yang sudah berkontribusi untuk menyadarkan semua orang akan situasi sulit ini. Dalam laporannya, ada harapan positif tentang situasi kaum perempuan dan anak-anak.

Di Asia misalnya seperti India, kasus menikah di bawah umur turun dari 50% ke 43% dalam kurun waktu belasan tahun belakangan. Tahun 1992-1993 misalnya banyak yang menikah di bawah usia 18 tahun. Tahun 2008, angka ini berkurang.

Hal yang sama terjadi di Bangladesh, Burkina Faso, Gibuti, Etiopia, Senegal, dan Somalia.

Angka ini masih terus diperbarui di banyak negara. Unicef juga masih mengusahakan perbaikan situasi untuk 12 juta anak-anak perempuan di seluruh dunia yang bekerja selama 12-18 jam sehari. Waktu untuk belajar dan bermain bagi kelompok ini tidak ada. Masa depan bagi mereka hampir pupus jika tidak berubah. Bukan hanya mereka, masa depan masyarakat juga akan menjadi buruk.

Cara untuk mengubah situasi ini menurut Unicef adalah dengan memperbarui hukum di beberapa negara yang tidak berpihak pada anak-anak perempuan, menghilangkan kemiskinan, dan mengusahakan pendidikan bagi anak-anak perempuan. Ban Kii-moon dalam pesannya tahun ini mengatakan bahwa PBB terus bekerja dan memperkirakan di tahun 2030, semua anak perempuan mendapat pendidikan.

Semoga ini menjadi nyata kelak dan dimulai sejak saat ini juga.

Selamat hari anak perempuan sedunia.

Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.

PRM, 11/10/2016

Gordi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun